Membaca Riwayat Islam Nusantara dari Kacamata Sufisme

 Membaca Riwayat Islam Nusantara dari Kacamata Sufisme

Khazanah Penyair Palestina: Tawfiq Ziad

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kita menyadari bahwa ada sekian literatur yang membahas-bahasakan masuknya ajaran Islam ke negeri ini. Literatur-literatur itu ditulis oleh banyak pihak, baik akademisi dan peneliti dalam negeri maupun para pendatang dari belahan wilayah lain.

Kita bisa membaca lantas membandingkannya untuk memperoleh pemahaman yang utuh, ihwal masuknya ajaran Islam di negeri ini.

Dua Wajah Sufisme

Sekian literatur itu melulu menarasikan sufisme dalam dua wajah berbeda. Di satu sisi tasawuf yang diwakili oleh Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang yang ditolak keberadaannya.

Hal ini ditengarahi karena ajaran yang disebarkan oleh Syekh Siti Jenar dapat memicu kesalahpahaman dalam memahami Islam, terutama bagi masyarakat yang masih awam.

Kemudian di sisi lain, ajaran tasawuf yang dibawa oleh Sunan Kalijaga misalnya, yang mengadaptasi budaya dan tradisi setempat dinilai sebagai strategi dakwah yang berhasil.

Dakwah yang banyak diinterpretasikan sebagai bentuk dakwah Islam berwajah ramah.

Dua Mode Dakwah; Kompromis dan Non-Kompromis

Dari pembacaan semacam ini, Simuh dalam bukunya Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (1995) mencatat, ada dua mode dakwah berdasarkan dari sisi interaksinya dengan masyarakat setempat; kompromis dan non-kompromis.

Tentu saja, dua mode dakwah ini memiliki titik tekan dan celahnya masing-masing.

Terkait mode dakwah kompromis, kedatangan Islam memadukan ajarannya dengan tradisi dan budaya setempat.

Simuh mencatat produknya sebagai bentuk Islam yang sinkretis. Baginya, bentuk mode dakwah ini kadang kala terlalu menyimpang dengan ajaran kemurnian Islam dari tanah padang pasir.

Pendapat ini banyak menuai kritik dari peneliti maupun pengkaji Islam belakangan.

Kebanyakan kritik ditujukan pada pernyataan produk Islam yang dihasilkan, bukan pada mode dakwah yang kompromis tersebut.

Sekian data dibabar demi menarasikan ulang bahwa, Islam yang mengakomodasi budaya setempat bukan sebagai ajaran Islam yang sinkretis.

Esensi ajarannya tetap sama, hanya ekspresi keberislamannya yang bervariasi tergantung pada lokasi ajaran tersebut didakwahkan.

Dalam hal ini, gaya dakwah sufi yang ditunaikan Sunan Kalijaga jadi penguat argumentasi.

Sedangkan mode dakwah non-kompromis diartikan sebagai dakwah yang membedakan secara tegas dan jelas hal-hal yang islami dan tidak islami.

Istilah yang tegas semacam mukmin-kafir, Islam-musryik, halal-haram, dan semacamnya lumrah dilabelkan pada liyan.

Kita bisa membaca mode dakwah non-kompromis ini hanya bisa menerima tradisi dan kebudayaan yang selaras dengan ajaran Islam.

Tentu saja mode dakwah non-kompromis banyak memicu polemik.

Maka lumrah bila sebagian literatur sejarah masuknya Islam di negeri ini, mencatat ada beberapa konflik dan meletusnya peperangan yang terjadi sebelum Islam menancapkan akarnya.

Lantas, Bagaimana dengan Sufisme?

Gaya dakwah sufisme tentu saja lebih selaras dengan dakwah kompromis.

Maka dari itu, ajaran Islam lebih dulu merangsek masuk di masyarakat akar rumput, bukan kalangan istana kerajaan.

Purwadi dalam artikelnya Kearifan Sufisme Dalam Islamisasi Jawa (2011) berpendapat,

“… ditambah dengan watak toleran orang-orang sufi dalam menghadapi perbedaan pandangan yang berkaitan dengan tradisi dan kepercayaan lokal.”

Di sini, sufisme menarik masyarakat melalui dakwah yang ramah.

Penelitian Purwadi menunjukkan diterimanya ajaran Islam melalui pintu sufisme ini, ditengarahi oleh jenuhnya masyarakat akar rumput pada sistem kasta.

Kita tahu, Agama Hindu dengan perbedaan kastanya cukup dominan sebelum ajaran Islam masuk.

Masyarakat awam tidak diperbolehkan mengakses kitab suci secara langsung.

Berbeda dengan Islam, siapa saja termasuk masih awam sekalipun sudah diperkenalkan dengan ayat-ayat di kitab suci Alquran.

Mudahnya mengakses kitab suci ini ternyata juga didukung dengan basis ajaran Islam yang mendominasi wilayah pesisir-pelabuhan.

Di situ sekian ulama, baik yang berdagang maupun yang berdakwah bersua dengan masyarakat setempat.

Dalam banyak literatur kita malah membaca ada ulama yang menikah, beranak-pinak, dan menetap jauh dari kampung halamannya.

Beberapanya lagi memilih jalan pendidikan dengan mendirikan lembaga pengajaran agama Islam.

Di masa-masa ini proses pembelajaran Islam dalam arti luas terjadi dari berbagai sisi; sosial, budaya, politik, dan tentu saja ekonomi.

Narasi masuknya Islam melalui pintu sufisme ini saya rasa menjadi bukti, bahwa ajaran Islam yang masuk tidak hanya mengandalkan satu sisi saja.

Narasi ini hanya salah satu diantara sekian narasi yang perlu kita gabung, olah, bandingkan, dan kritisi. []

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *