Memaknai Ulang Prinsip Sam’un wa Tha’atun yang Tercederai

 Memaknai Ulang Prinsip Sam’un wa Tha’atun yang Tercederai

 Menjadi Remaja yang Tumbuh dalam Keimanan (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Belakangan ini beranda media sosial kita dipenuhi oleh terungkapnya kasus pelecehan seksual, khususnya yang terjadi di pesantren.

Mengingat pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan, tak heran bila kasus pelecehan seksual yang terjadi di dalamnya terus jadi sorotan.

Selama ini kita tahu bahwa pesantren selalu memberi tabir pertemuan antara laki-laki dengan perempuan.

Jangankan dalam aktivitas sehari-hari, dalam proses belajar-mengajar pun santri putra dipisah dengan santri putri.

Ini menunjukkan bahwa pesantren benar-benar menjaga orang-orang di dalamnya dari zina (yang dalam Alquran digambarkan sebagai sebuah perbuatan keji dan jalan yang buruk).

Namun munculnya kasus pelecehan seksual di beberapa pesantren akhir-akhir ini telah meluluhlantakkan citra baik pesantren di mata masyarakat.

‘Nila setitik, rusak susu sebelanga’ begitu kira-kira ungkapan yang mewakili keadaan pesantren hari ini.

Kasus pelecehan seksual memang hanya terjadi pada beberapa pesantren, tapi imbasnya harus ditanggung oleh seluruh pesantren yang ada.

Mirisnya lagi, oknum pelaku pelecehan seksual di pesantren adalah seorang putra kiai, di pesantren lain malah pelakunya adalah si pemilik pesantren sendiri.

Para oknum tersebut jelas telah mencederai relasi antara santri dan kiai yang telah terjalin dalam jangka waktu yang begitu lama.

Relasi itu lantas melahirkan sebuah prinsip bagi santri yang masyhur disebut prinsip sam’un wa tha’atun (mendengar dan taat).

Prinsip sam’un wa tha’atun merupakan bentuk tawadhu’ santri pada sosok kiai, sosok yang telah memberikan bimbingan dan asuhan.

Prinsip ini merupakan salah satu adab yang wajib dimiliki seluruh santri.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren tak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan (keagamaan), tapi juga menempa karakter/kepribadian para santri.

Penempaan karakter tersebut merupakan implementasi dari pengajaran ilmu pengetahuan.

Sementara itu, prinsip sam’un wa tha’atun menjadi salah satu jalan untuk mengimplementasikannya.

Prinsip sam’un wa tha’atun telah membawa pesantren bertahan dalam menghadapi maraknya dekadensi moral.

Beberapa orang beranggapan bahwa prinsip sam’un wa tha’atun adalah sesuatu yang berlebihan dan merupakan wujud pengkultusan terhadap sosok kiai.

Saya rasa tidak demikian. Alih-alih disebut sebagai wujud pengkultusan kiai, prinsip sam’un wa tha’atun lebih tepat disebut sebagai bentuk kerendahan hati para santri.

Secara garis besar, prinsip ini berkaitan dengan proses pemberian ilmu dari kiai kepada santri.

Dalam banyak momen, kurikulum pesantren selalu menyebut bahwa ilmu hanya bisa didapat oleh mereka yang rendah hati.

Ilmu tidak akan meresap pada orang-orang yang hatinya penuh oleh sifat arogan.

Sebab, mereka yang arogan selalu merasa lebih mengetahui daripada orang lain meskipun toh orang lain itu adalah sang guru atau kiai.

Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa lantaran prinsip sam’un wa tha’atun para santri akan membuka diri terhadap ilmu dan hikmah dari sang kiai.

Selain apa yang telah disebut di atas, prinsip sam’un wa tha’atun juga merupakan upaya kaum pesantren dalam merawat tradisi para intelektual muslim.

Terdapat satu kisah dari Harun al-Rasyid kaitannya dengan hal tersebut.

Saat itu Harun al-Rasyid mengirimkan anaknya untuk berguru ilmu dan budi pekerti kepada Imam al-Ashma’i.

Pada satu kesempatan, Harun al-Rasyid melihat anaknya tengah mengguyurkan air di kedua kaki gurunya untuk berwudlu.

Pemandangan tersebut ternyata membuat Harun al-Rasyid tak terima.

Ia lantas menemui Imam al-Ashma’i dan menegurnya.

Menurut Harun al-Rasyid mestinya Imam al-Ashma’i menyuruh anaknya menggunakan satu tangan untuk mengguyurkan air dan menggunakan tangan lainnya untuk membasuh kakinya.

Tradisi semacam inilah yang coba dirawat oleh kaum pesantren melalui prinsip sam’un wa tha’atun.

Namun, apa jadinya jika prinsip di atas justru dimanfaatkan oleh sebagian pihak demi kepuasannya sendiri?

Seperti fenomena pelecehan seksual di sebagian pesantren beberapa waktu belakangan. Dalam pengamatan saya, para pelaku telah memanfaatkan (dan mencederai) prinsip sam’un wa tha’atun.

Mereka mengatasnamakan diri sebagai ustaz, putra kiai, hingga pengasuh/pendiri pesantren demi melancarkan aksinya.

Para pelaku memperdaya korban dengan melegitimasi perbuatan bejatnya dalam balutan agama, khusunya yang berkaitan dengan prinsip sam’un wa tha’atun.

Dalam posisi ini, para korban jelas kesulitan mengelak, apalagi melawan.

Terdapat ketimpangan relasi kuasa yang kuat di antara korban dan pelaku.

Pasalnya, para pelaku menggunakan prinsip sam’un wa tha’atun sebagai ancaman. Mulai dari ilmu yang tidak akan bermanfaat, tidak mendapat ridha sang guru atau kiai, hingga tidak mendapat limpahan barokah.

Korban yang notabene adalah seorang santri, di sini menghadapi situasi yang dilematis baginya.

Pertanyaannya sekarang, apa konsekuensi yang akan diterima pesantren di masa mendatang ketika prinsip sam’un wa tha’atun yang selalu dijaga kini justru tercederai?

Jelas seluruh pesantren akan menerima dampak dari hal tersebut.

Kredibilitas pesantren sebagai lembaga pendidikan akan diragukan oleh publik.

Orang-orang akan bertanya ketika bertemu dengan sebuah pesantren,

“Benarkah ini tempat untuk belajar agama? Atau ini justru tempat bersembunyi para pelaku kejahatan seksual yang berkedok ustaz/kiai?”

Masyarakat akan berpikir berulang kali ketika hendak mengirimkan anaknya ke pesantren.

Bukan tanpa alasan, ketakutan itu muncul disebabkan maraknya kasus pelecehan seksual di beberapa pesantren.

Para orang tua tentu akan berupaya keras melindungi anaknya dari hal tersebut.

Seandainya kasus pelecehan seksual terus bermunculan di beberapa pesantren, maka jangan heran bila di masa depan nanti pesantren akan sepi dari para santri.

Musababnya adalah pesantren tak lagi dipandang sebagai tempat yang aman untuk menuntut ilmu.

Pesantren justru akan dilihat sebagai sarang kejahatan seksual. Masa depan semacam ini tentu tak boleh dibiarkan terjadi.

Pesantren harus mengambil langkah tegas untuk menjaga eksistensi kredibilitasnya di mata masyarakat

Pesantren tak boleh diam saja terhadap kasus pelecehan seksual yang belakangan terjadi.

Ada sebuah risiko yang sangat besar bila pesantren hanya diam saja atas hal itu.

Pesantren kini dihadapkan pada dua masalah besar. Pertama, tantangan dari digitalisasi zaman dan kedua, problematika pelecehan seksual di beberapa pesantren.

Masalah pertama dapat dihadapi salah satunya dengan para santri yang melek teknologi. Nah, untuk masalah kedua sendiri sedikit kompleks.

Sebab pesantren dituntut mampu membuktikan diri bahwa ia merupakan sebuah lembaga pendidikan yang terpercaya dan memang benar-benar menerapkan amar ma’ruf-nahi munkar dalam kesehariannya.

Saya harap pesantren dapat terus bertahan meski gelombang ujian terus berdatangan. Sebab, tanpa adanya pesantren, tak menutup kemungkinan sanad keagamaan juga akan turut hilang. Wallahu A’lam.

Mohammad Azharudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *