Memaknai Ramadhan Sebagai Bulan Kesadaran Spiritual

 Memaknai Ramadhan Sebagai Bulan Kesadaran Spiritual

Kisah Salman Al-Farisi Ketika Masuk Islam (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ramadhan adalah bulan yang dirindukan umat Islam karena kekayaan spiritual yang dibawanya kepada individu dan masyarakat.

Namun, besarnya kerinduan seseorang terhadap Ramadhan tergantung pada tingkat keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Swt.

Sebab, bagi orang-orang yang belum mencapai tingkat keimanan tertentu, mungkin menganggap Ramadhan sebagai bulan yang penuh kesulitan dan kesukaran.

Beberapa tradisi setiap jelang puasa Ramadhan diantaranya harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi.

Pengeluaran untuk makan justru lebih boros, karena menu berbuka puasa dan santap sahur yang lebih lezat dari hari-hari biasanya.

Belum lagi di akhir Ramadhan atau saat merayakan Idul Fitri. Bagi perantau akan berpikir untuk mudik lebaran  dengan membeli baju baru, memberikan hadiah kepada orang tua dan sanak saudara di kampung agar dipandang sebagai orang yang sukses lagi dermawan.

Wal hasil, Ramadhan hanya dimaknai sebagai rutinitas tahunan yang penuh kerepotan, bukan sebagai momentum untuk mempertebal keimanan dan ketakwaan.

Sesungguhnya, kemuliaan Bulan Ramadhan sebagai salah satu tolok ukur keimanan seorang hamba sudah sangat terang benderang. Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Surat al-Baqarah 2:183).

Tidak diragukan lagi, semua jenis ibadah yang fardhu pada dasarnya adalah sarana yang membantu seseorang untuk mencapai kesadaran pengabdian kepada Allah Swt. Namun, puasa Ramadhan memiliki keistimewaan tersendiri di hadapan Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda,

“Setiap amalan anak Adam itu adalah (pahala) baginya, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya,” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban)

Menurut imam Al-Ghazali,  Allah Swt telah menempatkan puasa Ramadhan pada suatu derajat kehormatan yang ekstra, yaitu dengan membalas (pahala) secara langsung kelak di akhirat.

Keistimewaan Puasa Ramadhan  diantaranya adalah karena ibadah yang tersembunyi.

Artinya bahwa tidak ada yang benar-benar dapat melihat dengan kasat mata apakah orang lain berpuasa atau tidak.

Inilah mengapa seseorang yang bersungguh-sungguh berpuasa menjaga niatnya agar tidak rusak. Hal itu berbeda dengan ibadah shalat, zakat dan haji.

Selain itu, puasa adalah tindakan yang dengannya seseorang menaklukkan setan dan iblis.

Sebab, setan dan iblis akan menggoda seseorang melalui celah keinginan atau hawa nafsunya, terutama dalam 3 hal, yaitu makan, minum dan syahwat.

Melalui ibadah berpuasa, seorang muslim mampu mengendalikan hawa nafsunya dan menghalangi pengaruh setan.

Dengan mengalahkan iblis, seseorang membantu membawa kemenangan kepada Allah Swt.

Dalam tafsir Al-Jalalayn, kita temukan bahwa membawa kemenangan bagi Allah Swt. berarti membawa kemenangan bagi agama dan Rasul-Nya.

Oleh karena itu bagi yang benar-benar meniatkan berpuasa karena mengharap ridha Allah Swt, maka ia akan teguh mengatakan “tidak” pada kebutuhan tubuhnya sejak imsyak hingga adzan maghrib dalam sehari selama satu bulan.

Bukan hanya menahan  makan, minum dan syahwatnya saja, melainkan menjaga seluruh jiwa raganya dari perbuatan yang dilarang Allah Swt.

Puasa yang sempurna akan memperkuat kontrol diri sehingga memiliki kesempatan untuk menemukan makna keberadaan dirinya sebagai seorang hamba Allah.

Tentunya selain ibadah fardhu, seperti salat tarawih, membaca Al-Qur’an juga berperan penting dalam pembentukan kesadaran tersebut selama bulan Ramadhan.

Kesadaran seseorang akan dirinya sendiri membuat mereka menjadi sadar akan orang lain.

Misalnya, orang kaya yang tidak pernah merasa lapar bahkan untuk waktu yang terbatas dalam hidupnya, dapat memahami keadaan orang miskin dengan berpuasa.

Hal ini memperkuat perasaannya untuk mengulurkan tangan membantu dan berderma kepada orang-orang yang membutuhkan.

Kesadaran semacam ini akan menumbuhkan solidaritas sosial, sehingga juga menguatkan ukhuwah Islamiyah.

Jika puasa tidak membantu kita meningkatkan kesadaran kita dari berbagai segi, maka ini berarti puasa hanya berfungsi untuk membatasi makan, minum dan syahwat.

Nabi Muhammad saw memberikan beberapa nasihat kepada umatnya agar mereka bisa mendapatkan yang terbaik dari puasa. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda:

“Puasa adalah senjata yang digunakan untuk melindungi diri sendiri; maka janganlah dia (yang berpuasa) mengucapkan kata-kata yang tidak sopan (atau kotor), atau biarkan dia bertindak dengan cara yang bodoh; dan jika seseorang bertengkar dengannya atau mencaci dia, dia harus mengatakan dua kali, saya berpuasa.” (HR. Bukhari)

Jika seseorang yang berpuasa Ramadhan namun tidak memiliki sensitivitas seperti itu, maka puasanya hanya akan menjadi puasa raga semata.

Itu hanya puasa biasa dalam artian hanya mendapatkan manfaat untuk tubuhnya. Ini tak ubahnya seperti puasa diet.

Menurut Imam Al Ghazali, puasa tanpa bisa menahan hawa nafsu itu adalah tingkat terendah dalam puasa.

Orang dengan tingkat keimanannya lebih tinggi dalam menjalankan puasa akan menjaga telinga, mata, lidah, tangan dan kaki, serta semua organ lainnya agar  terbebas dari segala perbuatan dosa.

Mereka yang memiliki tingkat keimanan lebih tinggi lagi bahkan akan puasa hati, yaitu dengan mengabaikan hal-hal duniawi dan mencurahkan segalanya kepda Allah.

Mereka hanya akan mengingat Allah dalam hati dan pikirannya sepanjang puasa. (Ghazali, İhya, Beirut 2000, I, 314)

Jika seseorang ingin mencapai tingkat keimanan yang tinggi, maka menurut Imam-Al Ghazali, setidaknya ada enam hal yang harus diamalkan saat berpuasa Ramadhan, yaitu:

Puasa dengan Penglihatan

Seseorang harus menjauhkan diri dari melihat hal-hal yang tidak disukai Allah Swt. atau yang diharamkan olaeh Allah Swt.

Ini termasuk hal-hal yang bisa mengalihkan hati seseorang dari mengingat Allah Swt., seperti melihat tontonan yang berbau maksiat.

Puasa dengan Lidah

Saat berpuasa, seseorang tidak boleh berbohong, menggunjing, memfitnah, menggunakan bahasa kasar, bertengkar dengan orang lain, berbicara tidak jujur, atau terlibat dalam menyebarkan berita dan informasi hoax yang sesat dan menyesatkan di media sosial.

Sebaliknya, seseorang harus mencoba untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan berdiam diri, mengingat Allah Swt., dan membaca Al-Qur’an.

Puasa dengan Telinga

Seseorang harus menahan diri dari mendengarkan hal-hal yang tidak disukai atau diharam kan oleh Allah Swt.

Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa apa pun yang dilarang untuk diucapkan maka dilarang untuk didengarkan.

Allah mensejajarkan orang yang mendengarkan dusta dengan orang yang mengkonsumsi makanan yang haram. Allah Berfirman,

“Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan) yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad untuk meminta putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun.

Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (Q.S. Al-Ma’idah ayat 42)

Puasa Seluruh Organ Tubuh

Orang yang berpuasa juga harus menjaga seluruh  bagian (organ) tubuhnya, misalnya tangan, kaki, dari melakukan perbuatan tercela.

Imam Al-Ghazali memperingatkan orang-orang untuk tidak menyentuh apalagi mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan Allah.

Demikian juga menjaga kaki agar tidak berjalan menuju kepada sesuatu yang diharamkan atau menimbulkan kemungkaran.

Jika seseorang berpuasa namun tidak bisa menjaga seluruh oran tubuhnya dari perbuatan maksiat, maka seluruh tujuan puasa tidak akan didapatkannya.

Tidak Makan dan Minum Berlebihan

Banyak orang yang berpuasa, namun saat waktu berbuka tiba, akan makan dan minum yang berlebihan.

Banyak dari kita ketika berbuka puasa menghiasi meja makan dengan bermacam-macam menu selayaknya akan berpesta.

Imam Al-Ghazali mengingatkan agar tidak makan berlebihan saat berbuka puasa maupun saat bersantap sahur.

Bagaimanapun, tujuan puasa adalah untuk mengendalikan keinginan atau hawa nafsu.

Menyeimbangkan Perasaan

Setelah berbuka puasa, seseorang harus menyeimbangkan perasaan harapan dan ketakutan.

Seseorang harus berharap bahwa puasanya telah diterima oleh Allah Swt. namun juga takut bahwa puasanya mungkin kurang sempurna. Singkatnya, seseorang tidak boleh terlalu percaya diri bahwa telah menjalankan puasa dengan sempurna.

Sebab, kepercayaan diri berlebihan akan menimbulkan ujub (kesombongan) yang justru bisa mengurangi kualitas puasanya di mata Allah Swt. yang maha besar.

Imam Al Ghazali menekankan pentingnya menunjukkan kepedulian dan kepekaan tentang bertindak saleh dalam menjauhkan diri dari dosa dan mematuhi perintah agama saat berpuasa.

Jika setiap muslim memaknai Ramadhan sebagai bulan kesadaran, maka kegembiraan sejati akan dirasakan ketika menyambutnya.

Ia tidak akan merasa resah karena harga-harga naik di saat penghasilan menurun atau bahkan mencari pekerjaanpun sulit.

Ia juga tidak akan terlalu memikirkan bagaimana berlebaran (merayakan Idul Fitri) dengan baju baru dan makan makanan enak.

Ia akan menyadari jika bulan Ramadhan bukanlah bulan hiburan dan pesta pora.

Merayakan akhir Ramadhan sebagai hari raya idul fitri bukan berarti bergembira karena menyingkirkan Ramadhan, tetapi untuk mencapai kekayaan spiritual untuk menggapai ridha Allah Swt.  Wallahu A’lam Bishawab. []

Fefin Dwi Setyawati

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *