Melihat Citayam Fashion Week dan Kritik Para Aktivis Khilafah

 Melihat Citayam Fashion Week dan Kritik Para Aktivis Khilafah

MUI Wanti-wanti Citayam Fashion Week Agar Tak Ditunggangi Pamer LGBT (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ramai di pelbagai media sosial tentang Citayam Fashion Week (CFW). Kegiatan ini tidak lain dimulai dari anak-anak muda yang nongkrong di jalan Sudirman, Jakarta Pusat.

Kemudian terjadi aksi adu outfitย ditambah dengan banyaknya konten di media sosial lalu disebutnya sebagai plesetan dari Paris Fashion Week yang merupakan pameran busana di jalan yang resmi di Paris.

Apa yang bisa dilihat dari CFW? Tidak hanya anak muda, namun dari banyak kalangan, mulai dari artis hingga pejabat turut meramaikan CFW layaknya model yang sedang menunjukkan outfit yang sedang dikenakan.

Aksi ini membuat media sosial ramai, apalagi ketika ada fenomena saling klaim hak cipta oleh beberapa kalangan.

Di sisi lain, menanggapi viralnya CFW ini, aktivis khilafah juga ikut nimbrung dengan mengkritik keras kebijakan pemerintah yang memberikan ruang dan mengapresiasi anak muda.

Melalui tulisan yang dilansir dari muslimahnews.id, oleh As-Syifa Ummu Sidiq yang berjudul, CFW Ajang Kreasi yang Diapresiasi? Yakin? melalui tulisan tersebut, As-Syifa mengkritik keras bagaimana kebijakan pemerintah yang mengapresiasi sangat tidak masuk akal dan jauh dari pemimpin kriteria Islam.

Lebih jauh dalam tulisannya, seorang pemimpin Islam harusnya mendidik generasi bangsa sesuai dengan ajaran Islam, bukan justru mendukung aktifitas huru-hara.

Selain tulisan pada website tersebut, obrolan live Instagram juga dilakukan oleh para aktivis khilafah.

Dalam sebuah akun Instagram @muslimahnewsid, sebuah obrolan yang bertajuk, ‘Citayam Fashion Week: Ngeksis atau Krisis’ menjelaskan secara detail bahwa aktivis khilafah merupakan kelompok yang sangat menentang terhadap fenomena ini.

Apa yang melatarbelakangi fenomena tersebut nyatanya tidak hadir dalam ruang kosong terhadap kritik atas kelakuan anak muda yang membuat gaduh, macet.

Akan tetapi, lebih kepada kritik terhadap sistem pemerintah yang tidak Islami. Muaranya kepada sistem pemerintahan Islam atau khilafah yang seharusnya diterapkan di Indonesia.

Sehingga kritik tersebut dilontarkan dengan visi besar para aktivis khilafah. Bagaimana kita menanggapi hal ini?

CFW sebagai Sebuah Hasil Karya Anak Muda

Perlu ditekankan sebuah pemahaman bahwa CFW merupakan aktivitas akar rumput yang mengalir begitu saja di kalangan anak muda.

Mana kala ketika pemerintah memberikan apresiasi di luar dugaan, serta memberikan ruang tersebut hasil karya cipta, tentu adalah hal lain yang bisa membantu anak muda untuk terus berkarya.

Menjadi sebuah kewajaran yang dilakukan oleh pemerintah untuk terus memberikan ruang yang layak agar proses mencari eksistensi atas keresahannya sebagai remaja dapat tersalurkan dengan baik.

Melihat CFW, cukup sebagai salah satu ruang kreativitas anak muda, ruang eksistensi dan ruang berkarya baru bagi anak muda.

Jika melihat adanya ketimpangan yang dilakukan di lapangan, seperti ajang pamer outfit yang dalam konteks keislaman disebut riyaโ€™, kemudian praktik negatif yang lain seperti halnya membuat gaduh, rebutan hak komersial yang dilakukan oleh beberapa kalangan, hal itu tidak bisa kita hindari dalam sebuah kegiatan.

Namun yang paling penting jika ingin mengkritik sesuatu, jangan sampai ada penumpang gelap yang masuk dan mencoba untuk menawarkan solusi atas kritikan tersebut.

Upaya yang paling bisa dilakukan di kalangan anak muda adalah sikap kritis terhadap ruang kreativitas tersebut yang bisa dilakukan, seperti bagaimana ruang tersebut bisa dijangkau oleh semua kalangan dan ramah lingkungan, tidak menimbulkan kemacetan serta memberikan manfaat lebih besar dibandingkan merugikan.

Generasi kritis yang dimaksud juga berarti tidak termakan oleh narasi kritik oleh para aktivis khilafah yang bermaksud kritis tapi mendorong narasi untuk memperoleh afirmasi bahwa sistem khilafah menjadikan Indonesia mendidik terhadap anak.

Sehingga tidak akan lagi ada anak-anak yang tampil sebagai sosok yang jauh dari dari kata Islam. Padahal sejatinya, kita perlu menciptakan inklusivitas ruang bagi anak-anak untuk memberikan kesempatan bagi setiap anak, menunjukkan kemampuan yang ada pada diri masing-masing.

Anak muda kritis, tidak akan termakan narasi khilafah. Sebab yang paling penting dari hal tersebut adalah bagaimana menjunjung tinggi kearifan lokal yang ada di Indonesia serta menjadikan Pancasila sebagai dasar kehidupan agar bisa menjaga nilai persatuan dan kesatuan.

Muallifah

Mahasiswa S2 Universitas Gajah Mada, Penulis lepas

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *