Melawan Trauma, Mengolaborasi Aswaja dan Marxisme
HIDAYATUNA.COM – Tulisan pendek ini dipantik oleh salah satu buku yang menghunjam tajam pusaran Aswaja, berjudul “Menuju Aswaja Materialis”. Buku yang ditulis oleh seorang santri yang menghabiskan banyak hari-harinya di bawah naungan pesantren.
Buku tersebut pula yang menjadi semacam autokritik bagi Aswaja atau bahkan poros keagamaan di Indonesia. Ia berani keluar dari poros Aswaja yang selama ini mendominasi hampir di semua lapisan masyarakat.
Dengan pisau analisis Marxis, ia mendudukkan Aswaja di meja bedah, menguliti apa-apa yang dianggap sebagai sebuah kekurangan dalam tubuh Aswaja itu sendiri. Dengan begitu, ia mendudukkan Aswaja bukan sesuatu yang final dan selesai, serta tidak menjadikan Aswaja sebagai sebuah totem atau bahkan berhala.
Selama ini, Aswaja yang kita kenal hanya berkutat di dalam masalah teologi. Kecenderungannya Aswaja itu hanya pada ranah teologis, lebih-lebih eskatologis namun, jarang sekali Aswaja tersebut yang digunakan sebagai pisau untuk menghantam ekonomi-politi(ekopol) liberalisme.
Alih-alih menantang ekonomi yang didesain pro pasar, Aswaja belakang justru terlihat semakin akrab dan mentoleransi. Sementara, kebijakan ekonomi-politik yang selama ini telah membelenggu telah banyak memakan korban.
Kritik Karl Marx
Sebagaimana bahasa Muhammad al-Fayyadl, bahwa ia sama sekali tidak memihak kepada kaum lemah (al-mustadh’afiin). Kelas proletar—dalam istilah kajian Marxis—yang justru mendapat ganjaran yang sama sekali tidak menguntungkan, bahkan mengenaskan.
Di saat yang bersamaan pula, ketakutan—untuk menghindari lema kenaifan—terhadap Marxisme bukan sesuatu yang dapat terhindari. Kesan yang didapat ketika menyebutkan lema Marxisme justru yang muncul adalah ateisme. Ini merupakan sebuah kesalahan berpikir yang tidak hanya terjadi belakangan.
Puluhan tahun lalu bahkan, pola pikir yang semacam ini sangat kental. Ditambah lagi propaganda yang dilakukan oleh Orde Baru untuk membenci apa-apa yang lekat dengan Marxisme ini.
Larangan penyebaran ide tersebut juga tertuang dalam Ketetapan MPRS Nomor 25/1966. Tentu, kita paham yang sering menjadi alasan negasi ini tidak lain adalah ucapan Marx, agama adalah candu bagi masyarakat. Tanpa paham lebih lanjut teks dan konteks, hanya semena-mena penolakan tersebut bergaung.
Padahal jika ditarik lebih lanjut, sebetulnya apa yang diharapkan oleh ide tersebut tidak lain ada egalitarian. Makanya, ide-ide tersebut berangkat dari persoalan riil di lapisan masyarakat bawah.
Problem kelas yang semakin lama semakin mencekik kaum lemah, namun ketika sudah dibenturkan dengan ranah teologis dan ilahiyat, itu bukan sesuatu yang bisa dibenarkan. Ranah yang menjadi fokus kajian dari ide Karl Marx tidak lain adalah hal-hal yang material, yang nyata di depan mata, bukan mengawang-awang.
Meski, patut diakui bahwa kritik Marx terhadap agama juga keras. Saya kira, kritik tersebut hanya tertuju pada umat beragama yang picik terhadap fakta sosial yang tidak menguntunkan. Makanya, untuk mempertemukan kedua butuh kajian yang cukup mendalam.
Revolusi Teologis
Intinya, yang hendak dikemukan tidak lain adalah menjadikan Aswaja lebih revolusioner. Ia lebih melirik persoalan kelas, utamanya di akar rumput.
Kebijakan-kebijakan yang selama ini telah langgeng banyak mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Di sini, analisis menggunakan pisau Marxis menjadi sangat relevan.
Mangapa Marxis? Sebab ia—meminjam bahasa Moh. Roychan Fajar—satu-satunya pisau bedah paling canggih untuk menguliti ekonomi-kapitalisme. Patut kita sadari bersama, persoalan kelas ini bukan persoalan yang remeh temeh.
Ada sekian dampak yang tidak bisa kita hindari karena relasi yang tumpang tindih. Relasi-relasi ini yang saya sebut sebagai fakta yang empirik dan butuh dilirik bersama-sama.
Problem demikian menjadi tugas pokok bagi Aswaja yang selama ini mungkin masih nyaman di menara gading. Selanjutnya tugas pokok bersama adalah dengan mendesain Aswaja yang lebih pro rakyat kecil. Tidak selalu dengan idealisme ‘moderatisme’ yang terus-terusan berada di tengah.
Di persoalan ini Aswaja harus berani mengambil tindakan dengan menjadikan dirinya sebagai sebuah legitimasi perlawanan kelas. Dengan begitu, untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin—rahmat seluruh alam, rahmat bagi kaum proletar—bukan hanya sesuatu yang simbolik saja. Ia bisa menemukan relevansinya ketika berkolaborasi dengan Marxisme untuk memberantas akar penindasan ini.