Melawan Kolonial: Sayyid Usman, Karir, dan Orang-Orang Belanda
HIDAYATUNA.COM – Sebelum negeri ini merdeka, ajaran Islam tidak melulu dijadikan sebagai legitimasi untuk melawan kolonial. Malah sebaliknya, ayat-ayat yang terdapat di dalam kitab suci dipilah, ditafsiri, kemudian dicarikan penguatnya di hadis guna memberi dukungan kebijakan yang diputuskan oleh kolonial. Adalah Sayyid Usman, seorang muslim yang taat, produktif, dan berpengetahuan yang geraknya secara eksplisit memihak pada kolonial. Ia lahir di Batavia pada 1 Desember 1822.
Tentu saja hal itu bakal menuai kecaman dan polemik dari sesama pejuang, terutama dari mereka penganut ajaran Islam di negeri ini. Di usianya yang masih belia, ia ditinggal ayahnya pergi ke Makah. Ia kemudian diasuh oleh ‘Abdurrahman al-Mishri, kakeknya dari jalur ibu yang berasal dari Mesir datang ke Palembang dan Padang untuk urusan bisnis.
Melalui kakeknya itu, Sayyid Usman diajari dasar-dasar mengenai ajaran Islam, di samping diperkenalkan dengan koleganya sebagai cucunya. Menginjak dewasa, dari tahun 1855-1862 ia berkelana dan belajar ke banyak guru di berbagai tempat di wilayah Timur Tengah guna mencari bekal pengetahuan.
Sayyid Usman Ungkap Tipuan Belanda
Setelah dirasa cukup, ia kembali ke Batavia. Di situ ia didapuk sebagai guru agama yang diminati oleh banyak murid. Hal itu dikuatkan dengan kecerdikannya dalam mengungkap tipuan yang merugikan banyak penduduk bumi putera pada saat itu.
Tipuan yang dibuka kedoknya oleh Sayyid Usman antara lain ada seorang dukun gadungan yang mengaku datang dari Kota Suci dengan gelar Sayyid. Padahal ia merupakan budak yang telah dimerdekakan (1866).
Kemudian Sayyid Usman juga mengungkap identitas orang yang mengaku sebagai utusan Bani Syaibah, penjaga pintu tradisional Kakbah. Ia datang untuk mengumpulkan sumbangan guna perbaikan Kakbah (1871).
Terakhir Sayyid Usman mengungkap identitas orang yang mengaku wali dan berpura-pura bersua nabi kala membaca maulid al-barzanji (1878).
Pergerakan Sayyid Usman di Batavia
Selain memberi pelajaran agama, di Batavia Sayyid Usman juga mengamati aktivitas Belanda. Kontak pertamanya terjadi dengan F.W.M. Hoogenstraaten pada tahun 1860-an, seorang dokter kolonial.
Nama Sayyid Usman juga disebut saat F.W.M. Hoogenstraaten berkirim surat dengan profesor bahasa Arab yang namanya telah masyhur, M.J. de Goeje (1836-1909) dengan memberi catatan bahwa, Sayyid Usman merupakan ulama ortodok dan memiliki gaya hidup tanpa cela.
Nama selanjutnya yang memberi perhatian pada Sayyid Usman adalah L.W.C. van den Berg. Dalam karyanya, Kitab al-Qawamin al-Syar’iyyah berisi pendapat bahwa hukum Islam lebih tinggi tingkatannya jika dibandingkan dengan hukum adat.
Hal ini dinilai mendukung pihak kolonial karena meredam pemberontakan yang diinisiasi oleh pemimpin adat saat itu. Hanya saja hubungan keduanya sebatas pada memberi apresiasi, kendati dalam beberapa surat, buku, dan laporan, L.W.C. van den Berg mencatut nama Sayyid Usman.
Ada dua nama lagi yang kerap melakukan kontak dengan Sayyid Usman, sebelum Sayyid Usman bersua muka dengan C. Snouck Hugronje di masa senjanya. Dua nama itu ialah Karel Frederik Holle dan J.A. Vder Chijs di Bandung.
Bertukar Pendapat Melalui Surat dengan Belanda
Relasi ketiganya terbilang erat, sebab beberapa kali Sayyid Usman dimintai pandangan saat terjadi gesekan dengan penganut tarekat setempat. Melalui dua nama ini juga Sayyid Usman menjalin kontak dengan C. Snouck Hugronje.
Nico J.G. Kaptein dalam bukunya berjudul “Islam, Kolonialisme, dan Zaman Modern di Hindia-Belanda” banyak memberi catatan ihwal kontak antara Sayyid Usman dan C. Snouck Hugronje. Kontak itu dimulai dari surat Sayyid Usman pada Snouck ihwal kitabnya yang memberi pandangan terkait tarekat.
Di surat itu juga tertulis, “… untuk menyebutkan nama saya pada para pemimpin negara Belanda, baik di Eropa dan di Batavia, karena banyak syekh tarekat dan orang lainnya yang iri hati ingin mendeskreditkan saya hingga saya jatuh. Jika tidak ada keadilan Belanda di tanah Jawa dan di luarnya, maka tidaklah mungkin bagi saya untuk hidup di Batavia.”
Kita dapat menafsiri surat ini sebagai permohonan perlindungan untuk dirinya karena harus berpolemik dengan para pemimpin tarekat usai kitabnya beredar, sekaligus memohon pengakuan atas kerja yang ia lakukan.
Sayyid Usman baru dikenal oleh kalangan luas saat atlas Hadramaut yang diterbitkannya pada 1883 mendapat sambutan baik oleh ahli hukum Belanda, yang berkantor di Batavia, Dr. M.C. Piepers (1835-1919).
Atlas tersebut sampai beredar dan dijadikan bekal oleh orang-orang Eropa ketika hendak bepergian ke Timur Tengah, utamanya Hadramaut. Hal ini berkat legitimasi Dr. M.C. Piepers yang reputasinya telah diakui di dunia internasional.
Ketika Karir Sayyid Usman Naik…
Kirim dan balas surat antara Sayyid Usman dengan Snouck semakin intens. Bagi Sayyid Usman, korespondensi ini dapat membuat dirinya semakin akrab dikenal oleh kalangan pemerintah Hindia-Belanda sehingga, dirinya kelak dapat memperoleh kedudukan karena dinilai otoritatif.
Sedangkan bagi Snouck, diuntungkan karena surat-surat itu sebagai bekal untuk mengetahui pola perilaku keberislaman di negeri Hindia-Belanda sebelum ia tiba.
Pada 1889 ketika Snouck datang ke Hindia Belanda, ia berdiskusi dengan Gubernur Jenderal yang baru dilantik, Mr. C. Pijnakker Hordijk (1847-1908). Ia merekomendasikan nama Sayyid Usman sebagai asistennya dalam mengurusi hal-hal yang bersentuhan dengan umat Islam. Rekomendasi itu dikabulkan.
Setahun kemudian karir Sayyid Usman naik. Hal itu bermula dari Kitab Manhaj al-Istiqama yang disalin Snouck kemudian diberikan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.
Sesaat setelahnya juga muncul tinjauan atas kitab tersebut atas nama anonim di surat kabar Locomotief dengan judul “Seorang Guru yang Bermanfaat”. Tinjauan itu secara tidak langsung merupakan upaya menggalang dukungan dari publik bahwa Sayyid Usman memang memiliki kapasitas sebagai penasihat untuk laku berislam masyarakat di Hindia-Belanda.
Tehnik Perlawanan Sayyid Usman
Tepat pada 5 April 1891, Snouck mengirim surat kepada Direktur untuk Pendidikan, Agama, dan Industri. Surat itu ditujukan untuk meyakinkan bahwa Sayyid Usman memiliki keberpihakan pada pemerintahan Hindia-Belanda.
Akan tetapi dalam surat tersebut, Snouck juga memberi peringatan agar pemerintah tidak memberi kesan amat tertarik dengan peran keagamaan Sayyid Usman. Sekaligus memberinya gelar penasihat kehormatan untuk urusan Arab, ketimbang penasihat kehormatan untuk urusan Muslim.
Langkah Snouck ini dapat dinilai sebagai sebuah bentuk ambivalensi. Di satu sisi ingin merawat jaringan dan informasi dengan Sayyid Usman, tapi di sisi lain khawatir terhadap otoritas keilmuan yang dimiliki oleh Sayyid Usman.
Otoritas yang bahkan malah bisa menjadi senjata untuk menyerang balik dirinya, bahkan pemerintah Hindia-Belanda. Maka pemberian gelar tetap diberikan, meski lingkupnya tidak seluas seperti yang diharapkan Sayyid Usman sendiri.
Terakhir, seperti yang saya katakan di muka bahwa secara eksplisit gerak Sayyid Usman terlihat memihak pada pemerintah Hindia-Belanda. Akan tetapi segala kontak, jaringan, dan berbagai hal yang dilakukannya, melalui nama-nama yang telah disebut di atas, secara implisit Sayyid Usman ingin mengajarkan perihal perlawanan.
Menurut Sayyid Usman, mengkritik dan melawan tidak melulu harus keluar dari sistem besar bernama penjajahan. Justru malah masuk lantas melakukan perbaikan dari dalam. Meskipun itu memerlukan kesabaran dalam berupaya, berjalan lamban dan teramat pelan.