Mbah Sholeh Darat, Guru Para Ulama Nusantara
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Sosok KH. Muhammad Sholeh al-Samarani atau yang akrab disapa Mbah Sholeh Darat adalah ulama terkemuka di pulau Jawa. Beliau hidup pada abad ke-19 Masehi.
Mbah Sholeh Darat merupakan guru bagi para ulama dan tokoh-tokoh besar di Nusantara. Dalam kata pengantar buku berjudul “Syarah Hikam: KH. Sholeh Darat, Maha Guru Ulama Besar Nusantara” yang ditulis KH. Said Aqil Siroj menyebut bahwa KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdhatul Ulama (NU) juga merupakan anak didik Mbah Sholeh Darat.
Ada pula ulama-ulama lain seperti KH. Ahmad Dahlan yang dikenal sebagai pendiri ormas Muhammadiyah, Kiai Amir Pekalongan atau Kyai R. Dahlan Termas seorang ahli falak, KH. Munawir Yogyakarta seorang ahli Quran yang menjadi sanad qiro’ah di Jawa, KH. Dahlan Watucongol Magelang, hingga Raden Ajeng Kartini juga pernah berguru kepada Mbah Sholeh Darat dan masih banyak lagi.
Selain itu ada pula kisah menarik terkait Raden Ajeng Kartini juga berstatus sebagai murid dari Mbah Sholeh Darat.
Dilansir dari laman resmi Kemenag, hubungan Raden Ajeng Kartini dengan Mbah Sholeh Darat telah memengaruhi kehidupan spiritual Kartini.
Ulama Internasional Akui Kemuftian Kiai Sholeh
Salah satu guru Kartini adalah KH Muhammad Sholeh bin Umar (Mbah Sholeh Darat). KH Imam Taufiq, pengampu pengajian rutin Kitab Mbah Sholeh Darat di Masjid Agung Kauman Johar Semarang, menyebutkan bahwa Kartini punya hubungan guru-murid dengan Mbah Sholeh Darat.
Hal senada disampaikan Amirul Ulum, santri Mbah Maimun Zubair yang menulis buku “Kartini Nyantri”. Dalam buku itu dibuatkan bab khusus berjudul: “Islam, Agama Kartini” yang juga membahas tentang “Hadiah Tafsir Pegon untuk Kartini”. Ulum menjelaskan kisah pertemuan dan dialog kyai-santriwati itu.
Sementara itu, menurut Mohammad Ichwan, penulis buku “Biografi KH Sholeh Darat” menjelaskan bahwa Mbah Sholeh dipercaya memegang kendali Pondok Pesantren Darat oleh mertuanya, KH Murtadlo yang memiliki banyak murid dari berbagai penjuru. Keilmuan Kiai Sholeh Darat yang pernah menjadi mufti (guru besar) di Mekkah itu juga diakui oleh ulama internasional.
“Pesantren itu berkembang pesat, namun saat beliau wafat tidak ada penerusnya, karena putra-putra beliau masih kecil. Ini persoalan klasik pondok pesantren, kalau kiai meninggal dan putranya tidak meneruskan biasanya akan hilang,” terangnya.