Mbah Bisri, Ulama Produktif Penulis Tafsir Al Ibris dan Terjemahan Alfiyah Berbahasa Jawa
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Cendekiawan NU, KH Ulil Abshar Abdalla atau akrab disapa dengan Gus Ulil menjelaskan tentang sosok KH Bisri Mustofa (Mbah Bisri). Beliau adalah salah satu ulama Nusantara yang paling produktif dalam menulis karya.
Selain itu, menurut Gus Ulil, sosok Mbah Bisri juga dikenal sebagai singa podium.
Hal itu ditunjukkan dengan kemahirannya dalam berpidato dan memberikan ceramah.
“Kali ini saya akan mengenalkan seorang kiai yang dikenal di daerah pantura Jawa Tengah sebagai singa podium. Karena kepiawaiannya di dalam berorasi, di dalam berpidato, dan berceramah di depan para umat,” kata Gus Ulil dalam videonya yang diunggah melalui akun TikTok pribadinya @ulilabshar_abdalla.
Ia menjelaskan kiai Bisri Mustofa atau dikenal di Jawa Tengah sebagai Mbah Bisri merupakan ayahanda dari kiai Mustofa Bisri (Gus Mus).
Kiai Bisri Mustofa atau Mbah Bisri meninggalkan banyak karya yang luar biasa.
“Mungkin kita bisa menyebut Kiai Bisri sebagai salah satu kiai atau bahkan satu-satunya kiai yang paling produktif di dalam menulis kitab-kitab berbahasa Jawa,” jelasnya.
Lebih lanjut kata Gus Ulil, salah satu karya Mbah Bisri yang paling terkenal adalah tafsir dalam bahasa Jawa yang berjudul Al Ibris.
Tetapi ada karya dari Mbah Bisri yang agak kurang dikenal oleh umum yaitu adalah terjemahan terhadap kitab Alfiyah karya Ibnu Malik.
“(Ini) kitab nadzom yang sangat populer di pondok-pondok pesantren mengenai nahwu dan saraf atau tata bahasa Arab,” ungkapnya.
Mbah Bisri menterjemahkan kitab Alfiyah ini dengan diberi judul “Ausatul Massalik li Alfiyati Ibnu Malik.” Di mana kitab ini diterbitkan oleh Menara Kudus dalam bahasa Jawa.
“Contoh terjemahannya menggunakan makna gandul, kemudian diberikan penjelasan dalam bentuk muradan atau terjemahan,” ujarnya.
Jika masyarakat umum hanya mengenal karya Mbah Bisri dengan Tafsir Al Ibrisnya saja, maka untuk di kalangan pesantren kitab terjemahan Alfiyah Mbah Bisri juga yang sangat populer.
“Waktu saya masih menjadi santri tahun 70an akhir atau tahun 80an dulu. Hingga sekarang masih dibaca. Dan ini adalah salah satu saja dari khazanah Nusantara yang begitu kaya,” tandasnya. []