Maudu Lompoa Kanjeng Nabi Muhammad

 Maudu Lompoa Kanjeng Nabi Muhammad

Menimba Kearifan Rebo Wekasan (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Di masa silam, wilayah Gowa di Sulawesi Selatan berdiri kerajaan besar.

Sekian aktivitas yang ditunjang hasil bumi berlimpah membuatnya dilirik oleh pihak kolonial.

Tetapi sebelum kolonial masuk, ajaran Islam terlebih dulu masuk dan menjadi agama resmi di Kerajaan Gowa.

Masuknya ajaran Islam diyakini oleh peneliti lokal maupun nasional bermula dari kaum bangsawan di Gowa.

Mereka lebih dulu memeluk Islam lantas diikuti oleh masyarakatnya.

Hal ini akhirnya juga berdampak dari banyaknya tradisi yang kemudian bergeser menjadi bermakna-nilai Islami.

Kenapa demikian?

Lantaran di masa silam bangsawan di Gowa hendak mengenalkan ajaran Islam kepada masyarakatnya.

Dan jalan paling efektif untuk menunaikan misi tersebut adalah, dengan menggunakan tradisi yang telah berurat akar sejak berpuluh-puluh tahun silam.

Salah satu di antara sekian tradisi yang dijadikan dakwah Kerajaan Gowa dikenal dengan maudu lompoa.

Tradisi ini mulanya diadakan untuk mengenang jasa leluhur Kerajaan Gowa.

Setelah ajaran Islam masuk, maudu lompoa bergeser menjadi momen perayaan yang digunakan untuk menandai hari kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad.

Untuk perayaan mengenang jasa leluhur Kerajaan Gowa digeser hari, pelaksanaan, tata cara, serta penyebutannya menjadi maudu langgara.

Tradisi maudu lompoa ini biasanya digelar di Balla Lompoa.

Semacam lokasi yang dinilai sakral oleh masyarakat Gowa lantaran dulu, di tempat ini merupakan peninggalan Kerajaan Gowa.

Selain di situ, biasanya juga digelar di Lapangan Syekh Yusuf supaya bisa memuat banyak orang, baik yang terlibat atau sekadar menyaksikan prosesi tradisi maudu lompoa ini.

Sajian Bermakna Jalan Berislam

Marlyn Andryyanti dalam penelitiannya Makna Maulid Nabi Muhammad Saw, Studi pada Maudu Lompoa di Gowa (2017) memberi keterangan, terdapat 4 macam sajian yang mesti ada sebelum tradisi tersebut ditunaikan.

Syaratnya, keempat sajian ini sebisa mungkin diperoleh dari hasil ternak atau kebun sendiri.

Sajian pertama, beras minimal 4 liter sebagai simbol dari tubuh manusia.

Beras di sini dimaknai sebagai syariat yang mesti melekat pada tubuh manusia.

Selanjutnya ada ayam yang jadi jalan tarekat. Karena berkokoknya ayam dinilai oleh masyarakat Gowa sebagai penanda sebuah waktu.

Maka ayam mengisyaratkan agar setiap waktu tidak lalai pada ajaran-ajaran Islam, baik yang wajib maupun sunnah.

Sajian ketiga adalah kelapa sebagai simbol hakikat. Dari sekian buah yang ada, hanya kelapa yang memiliki mata tersembunyi layaknya mata hati manusia.

Mata hati yang dibalut dengan ajaran Islam bisa membawa pada jalan kebenaran.

Selain itu, kelapa sendiri juga memiliki 7 lapis yakni kulit luar yang halus, sabut kasar, tempurung, daging kelapa, air, santan dan minyak yang masing-masing juga menandai jalan Islam masyarakat Gowa ke level hakikat.

Sajian terakhir ada telur yang jadi lambang makrifat.

Kuning dan putih telur memang tidak bisa dilihat mata karena tertutup cangkang, tetapi kita meyakininya demikian.

Begitu juga dengan adanya Allah yang tidak bisa dijangkau oleh panca indera, namun kita mesti meyakini keberadaannya.

Keempat sajian ini saya rasa menjadi orientasi dari berislam masyarakat Gowa.

Tentu saja Kanjeng Nabi dengan segala perangainya telah menunaikan syariat, tarekat, hakikat, serta makrifat secara paripurna.

Untuk itu, masyarakat Gowa berharap agar kelak kehidupannya berislam seperti jalan hidupnya Kanjeng Nabi, meskipun tidak bisa sama persis.

Setelah sajian ini tersedia, diolah dan dihias dengan rupa yang indah, lantas dibawa ke lokasi tradisi maudu lompoa digelar. Sajian ini nantinya dibagikan kepada masyarakat yang hadir setelah pembacaan salawat untuk Kanjeng Nabi, zikir, dan doa rampung ditunaikan. Begitu. []

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *