Masjid Pejlagrahan, Peninggalan Putra Prabu Siliwangi
HIDAYATUNA.COM – Pada abad ke XV Masehi, Masjid Pejlagrahan yang awalnya sebuah musolah atau tajug untuk shalat, maupun tempat istirahat para nelayan yang ada di Cirebon. Pada awalnya masjid ini berada persis di pinggir pantai dan Pelabuhan Muara Jati.
Masjid Pejlagrahan merupakan masjid pertama yang dibangun di Wilayah Cirebon yang didirikan pada tahun 1540 Masehi. Masjid ini sangat bersejarah karena didirikan 100 tahun sebelum Masjid Sang Cipta Rasa, yang dimuat artikel hidayatuna sebelumnya dan lokasinya tidak jauh dari Masjid Sang Cipta Rasa.
Masjid tertua ini dibangun oleh Pangeran Cakrabuana yang terletak di daerah Kampung Grubugan Kelurahan Kasepuhan Lemahluwuk. Karena seiringnya waktu masjid ini, lama kelamaan mengalami pendangkalan pada akhirnya seperti sekarang sangat jauh dari laut.
Sebab, dulunya berada di pinggir pantai sekarang berada di tengah pemukiman penduduk yang lebih tepatnya di luar tembok Kraton yang menjadi Cikal Bakal Kraton Cirebon.
Pangeran Cakrabuana lebih dikenal dimasyarakat Cirebon dengan sapaan Mbah Kuwu Sangkan. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah, masyrakat mengenalnya uwanya Sunan Gunung Jati (dalam penelitian pusat kajian Cirebon oleh Syekh Nurjati Mahrus el Mawa dosen pascasarjana STAINU Jakarta).
Tidak hanya dikenal Mbah Kuwu Sangkan saja, tetapi ia mempunyai 5 sebuah nama lainnya seperti Pangeran Cakrabuana, Walang Sungsang, Haji Abdullah Iman, Syekh Somadullah dan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon Girang. Mbah Kuwu Sangkan terlahir sekitar 1423 Masehi dari tiga bersaudara yakni, Mbah Kuwu Sangkan, Raden Kiansantang, Nyai Rarasantang dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang.
Mbah Kuwu Sangkan ini adalah pewaris tahta atau sebagai putra mahkota yang mewarisi sifat kepemimpinan ayahandanya (Prabu Siliwangi). Hal ini terbukti dengan pencapaianya yang berhasil menduduki tahta Cirebon, pada saat itu dibawah Kerajaan Pasundan yang dipimpin oleh Raja Galuh dan Mbah Kuwu Sangkan merupakan Raja Pertamanya.
Ia mulai syiar dakwah pada usia sekitar 25 tahun, terlihat jelas dalam perjuangannya dalam menyebarluaskan dakwah Islamnya. Hingga mencapai puncaknya, ia menduduki singgasana Kerajaan Cirebon, dari situlah Mbah Kuwu Sangkan memiliki kekuatan untuk memperluas wilayah dakwahnya dengan mendatangi warga dan membangun tempat ibadah.
Membangun tempat ibadah itu bukan hanya untuk beribadah saja, tetapi bisa juga untuk menimbal ilmu keagamaan yang langsung di ajarkan oleh Mbah Kuwu Sangkan bagi warga setempat maupun nelayan berdatangan, pada saat itu juga.
Pada tahun 1994 sempat mengalami pemugaran, karena disebabkan temboknya sudah lapuk. Pada akhirnya, Masjid Pejlagrahan diperluas dibagian depan dan samping. Tetapi untuk ruang utama masjid tetap asli tanpa ada perubahan.
Hanya saja sedikit perubahan dibagian batu batanya mengalami rapuh, sehingga ditutup dengan keramik untuk menjaga keasliannya dan kalau pun keramiknya dibuka masi terlihat batu batanya. Bangunan masjidnya tidak luas pada umumnya, karena ruangan utamanya saja hanya memiliki luas 8×6 meter.
Untuk masuk masjidnya saja harus menundukkan kepala, karena pintu masjidnya pendek. Pintunya tersebut, mempunyai arti tersendiri yaitu untuk selalu rendah hati dalam menjalani kehidupan apapun.
Karena Masjid ini pernah dilakukan pemugaran, masi sebagian bangunannya yang masi orsinil dan masi banyak peninggalan-peninggalan lainnya yang berusia ratusan tahun. Bangunan yang masi ada dari sejak dulu itu, seperti tembok bagian bawah, empat tiang yang terbuat dari kayu jati beserta dengan bagian atap masjidnya.
Kemudian masi ada barang-barang peninggalanya seperti Memolo, mimbar, tongkat khutbah, jembangan (tempat wudhu) dan terdapat dua sumur. Konon, dua sumur ini airnya tidak pernah kering walaupun sedang mengalami musim kemarau panjang.
Ketika terjadi musim kemarau panjang, warga cirebon setempat berbondong-bondong untuk mengambil air dari sumur tersebut. Hingga saat ini masi digunakan dengan baik untuk keperluan wudhu maupun kebutuhan masyarakat sekitar dikala musim kemarau.
Karena Cirebon merupakan salah satu daerah sentral penyebaran Islam di Jawa Barat dan terkenal dengan sejarah Sunan Gunung Jati. Hingga saat ini, Masjid Pejlagragan menjadi salah satu tempat yang tidak pernah lupa para penziarah mengunjunginya. Para penziarah pun ada yang melihat-lihat bangunan saja, ada juga yang melakukan tirakat ditempat bersejarah ini.
Bahkan setiap malamnya terdapat majelis taklim rombongan yang rutin untuk melakukan memanjatkan doa bersama, terutama pada malam jumat yang sangat ramai dikunjunginya.
Pendatang pun bukan hanya dari kalangan penziarah saja, tetapi dari kalangan mahasiswa lokal maupun negara lainnya seperti mahasiswa Malaysia, mahasiswa singapura mendatangi untuk melakukan penelitian dari dosennya dan dari kalangan sejarahwan juga yangb sempat mengunjunginya.
Masjid Pejlagrahan ini sudah dtetapkan sebagai benda cagar budaya berdasarkan pemerintah daerah. Terlihat jelas ketika mau masuk, terdapat papan info yang dibagian luar masjid bertuliskan sebagai benda cagar budaya, tetapi tidak dijelaskan benda cagar budaya golongan berapa.
Meski masjid ini sangat kecil, pengurusnya sangat ikhlas merawat peninggalan dari Mbah Kuwu Sangkan ini. Masjid tersebut tidak pernah meminta bantuan apapun untuk keberlangsungan pengurusannya.
Karena pada dasarnya, pengurus ini memegang teguh prinsip yang dititipkan oleh Sunan Gunung Jati berbunyi “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”. Maka dari situlah, kami berusaha menghidupkan atau menjalankan pesan dari Sunan Gunung Jati ini. Tetapi, kalau pemerintah atau masyarakat sekitar ingin memberikan bantuan, silakan saja.