Masjid, Kontestasi Ruang di Era Global

 Masjid, Kontestasi Ruang di Era Global

Masjid multifungsi (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Era globalisasi ditandai dengan adanya interaksi yang lebih cair dan fleksibel dari satu orang di wilayah tertentu dengan orang lain yang mukim di seberang. Tukar-menukar paham, pengetahuan, kejadian, dan semacamnya menjadi sesuatu yang lumrah ditemui.

Tidak mengherankan, jika ada orang yang tinggal di daerah yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan—yang konon menjadi penyokong modernisasi—dapat dengan mudah mengetahui peristiwa yang terjadi di sembarang tempat. Asal ada gawai dan jaringan yang cukup, pertukaran hal-hal di atas sangat mungkin terjadi.

Kondisi ini memicu dua respon yang sebenarnya sama-sama apik, namun ejawantahnya kadang terlalu berlebihan. Di satu sisi, masyarakat menjadi lebih terbuka dengan adanya pengetahuan baru yang terkini dan tersebar dengan akses mudah-murah. Tapi ada juga respon yang malah resisten terhadap sesuatu yang baru, karena dianggap sebagai ancaman.

Prototipe yang kerap dijumpai adalah respon dari sebagian umat Islam yang menilai apa saja produk global merupakan upaya untuk memecahbelah dan menganulir ajaran Islam agar tidak berkembang.

Persoalan lain yang selalu melekat ketika berbicara ihwal era globalisasi ini diantaranya mengenai identitas yang dimiliki oleh seorang manusia. Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Identitas menilai bahwa pendekatan soliteris yang mengklasifikan manusia ke dalam bagian dari satu kelompok saja sudah tidak relevan lagi.

Sebab, secara bersamaan, manusia dapat menjadi muslim, politikus, pemikir, mahasiswa, pengurus karangtaruna, warga Kampung Durian Baru, dan identitas-identitas lain yang secara sadar atau tidak sadar telah melekat pada dirinya.

Maka dari itu, langkah pertama yang perlu dilakukan oleh manusia sebelum melihat, berkomentar, dan mengkritisi sesuatu adalah menalar dan memilih identitas apa yang akan menjadi batu pijakan perspektifnya.

Sebab, terlalu banyak identitas yang dikenakan untuk memetakan suatu persoalan, hasilnya justru menjadi kabur dan tidak proporsional. Begitu juga sebaliknya, identitas tunggal yang dipaksakan untuk menilai kejadian hasilnya malah kadang tidak nyambung.

Fungsi Sosial Masjid

Perkara globalisasi beserta respon dan problematika identitas ini menjadi menarik ketika ditarik ke dalam wilayah per-masjid-an. Sebagaimana yang tercatat dalam buku lawas Mesdjid; Pusat Ibadat dan Kebudajaan Islam, Sidi Gazalba memberi terang.

Menurut Sidi Gazalba, masjid menjadi lokasi yang mengikat erat siapa saja yang datang berkunjung. Entah dalam rangka beribadah, mampir ke kamar mandi, maupun kegiatan bersosial.

Dari situ kemudian muncul laku-laku keberislaman yang sesuai dengan konteks masjid tersebut didirikan. Sidi Gazalba bertutur, “… di dalamnja didikan untuk menjadikan muslim manusia sosial. Dan manusia sosial adalah manusia budaja. Pada tugas mesdjid sebagai pembentuk kesatuan sosial dan pendidik manusia sosial, sudah langsung menjatakan diri unsur kebudajaannja.”

Oleh karena itu, setiap masjid memiliki lingkungan sosial yang membentuk kebudayaan sebagai ciri khasnya masing-masing. Bisa jadi masjid di daerah tertentu mengumandangkan azan asar jam lima sore karena melihat kultur jemaahnya sebagai petani.

Bisa juga masjid itu digunakan sebagai tempat terselenggaranya berbagai pengajian dan kajian karena tempatnya berada di area kampus dengan kultur akademik yang mendukung.

Barangkali juga masjid hanya difungsikan sebagai tempat peribadatan salat lima waktu dan ibadah lainnya karena masyarakat setempat menganggap masjid memiliki nilai sakral yang tidak boleh tercemari kegiatan yang tidak berpahala.

Prototipe Masjid Berbaur dengan Budaya Globalisasi

Ahmad Salehudin dalam risetnya yang berisi tarik ulur antara kebudayaan mapan di masjid yang bersua dengan kebudayaan global menemukan bahwa, masjid dapat melakukan adaptasi dengan sesuatu yang baru.

Kendati adaptasi yang dilakukan memerlukan durasi yang relatif cukup lama. Riset ini dilakukan di tiga masjid yakni Masjid Agung Jami’ Singaraja Bali, Masjid Saka Tunggal Cikakak Banyumas, dan Masjid Raya Al-Fatah Ambon.

Masjid Agung Jami’ Singaraja Bali ini menjadi representasi dari relasi antara Islam dan Hindu yang harmonis. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Buleleng A.A. Ngurah Ketut JelantikPolong tahun 1846. Saudaranya, A.A. Ngurah Ketut Jelantik Tjelagie dan Abdullah Maskati seorang tokoh Islam di masa itu menjadi pengawas pembangunan masjid.

Sedangkan Masjid Saka Tunggal Cikakak di Banyumas termasuk masjid yang dapat dikatakan cukup tua. Masjid yang dibangun oleh Mbah Mustholeh pada tahun 1288 M. ini menunjukkan bahwa pembangunan masjid mendahului dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo di tanah Jawa.

Nama masjid Saka Tunggal Cikakak diambil dari konstruksi bangunan masjid yang hanya memiliki satu tiang penyangga di tengah dengan empat penopang.

Satu tiang penyangga ini menjadi simbol dari tauhid yang mengesakan-Nya. Kemudian empat penopang sebagai laku seorang dalam mendekatkan kepada pencipta-Nya yang dimulai dari syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Akumulasi dari semua tiang penyangga dan penopang ini dapat dimaknai sebagai rukun Islam.

Adapun Masjid Raya Al Fatah di Ambon sendiri berdiri pada tanggal 1 Mei 1963. Pendirian ini diindikasikan dengan peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Presiden Ir. Soekarno.

Konon nama Al Fatah yang berarti ‘kemenangan’ disematkan karena di masa-masa itu, Irian Barat telah kembali ke pangkuan bumi pertiwi. Maka Masjid Raya Al Fatah, selain sebagai tempat ibadah juga simbol kemenangan bangsa ini dalam menyatukan berbagai pulau yang sebelumnya dikuasai oleh kolonial.

Masjid dan Globalisasi

Lantas bagaimana jadinya jika masjid-masjid di atas bertemu dengan unsur-unsur globalisasi yang mengusung modernitas dan rasionalitas? Mengingat masjid sebagai identitas kolektif masyarakat setempat, namun juga menjadi ruang publik yang dapat disinggahi siapa saja dari berbagai macam latar belakang dan kebudayaan yang berbeda.

Belum lagi jika dihadapkan pada era yang semakin menjunjung tinggi piranti teknologi yang cenderung mereduksi ajaran-ajaran agama di satu sisi. Sementara di sisi lain masjid menjadi tempat yang memproduksi ajaran-ajaran sakral bernilai ibadah yang didasarkan pada ayat-ayat di kitab suci.

Salehudin dalam risetnya itu memberi terang bahwa budaya global tidak dapat dinegasikan. Sekalipun masjid sebagai tempat sakral tetap bertahan dengan budaya lamanya.

Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, ketika masyarakat yang datang ke masjid juga menjadi konsumen dari budaya global, termasuk masyarakat yang mukim di sekitar ketiga masjid di atas. Maka ia memberi konklusi dari hasil risetnya dengan pernyataan budaya globalisasi ini tidak sepenuhnya masuk, pun begitu juga tidak sepenuhnya ditolak.

Kenapa? Sebab, saat berada di luar, masyarakat tidak lagi terikat dengan nilai-nilai atau unsur sakral yang berada di dalam masjid. Tidak perlu berwudhu ketika belanja tas mahal, tidak perlu juga mencari dalil ketika makan di KFC, atau bermain ke tempat hiburan.

Ketika kembali lagi ke masjid, baik dalam bentuk beribadah atau bersosial, masyarakat ini secara otomatis akan melihat segala sesuatunya dengan kacamata ibadah, berpahala, dan budaya lama di masjid. Sebab masyarakat yang mukim di sekitar masjid masih tetap terikat baik secara agama, nalar historis, dan tentu saja ikatan emosional.

 

 

Rujukan

Amartya Sen. 2016. Kekerasan dan Identitas. Tangerang Selatan: Marjin Kiri

Sidi Gazalba. 1964. Mesdjid; Pusat Budaya dan Kebudajaan Islam. Djakarta: Pustaka Antara

Ahmad Salehudin. 2018. “Revitalisasi Identitas Diri Komunitas Masjid Saka Tunggal Banyumas, Masjid Raya Al Fatah Ambon, dan Masjid Agung Jami’ Singaraja Bali dalam Perubahan Budaya Global”. Religio; Jurnal Studi Agama-Agama, vol. 8, no. 1

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *