Masjid dan Makam Sunan Kuning di Tulungagung
HIDAYATUNA.COM – Sekali waktu saya pernah duduk bersama dengan teman dan menyampaikan keinginan untuk pulang ke tanah kelahiran, Tulungagung. Secara sengaja saya bercerita beberapa agenda saya ketika pulang, salah satunya menziarahi makam Sunan Kuning. Mendengar itu, teman saya langsung menilai bahwa makam Sunan Kuning di Tulungagung merupakan tempat lokalisasi layaknya di Semarang.
Demi meluruskan itu, akhirnya saya pun bercerita untuk menarik garis beda antara Sunan Kuning yang ada di Tulungagung dengan yang ada di Semarang. Di Tulungagung sendiri, makam Sunan Kuning berada di dusun Krajan, desa Macanbang, kecamatan Gondang, Tulungagung.
Makam itu terletak persis di sebelah barat Masjid Tiban Baiturahman. Kata ‘tiban’ pada penamaan masjid tersebut didasarkan pada tutur lisan bahwa, tidak ada yang tahu kapan dan siapa yang mendirikannya. Sehingga oleh masyarakat setempat masjid itu dianggap jatuh dari langit dalam bentuk yang sudah jadi.
Arsitektur Masjid Tiban Baiturahman ini tidak diubah layaknya masjid lain yang bergaya arsitektur Timur Tengah. Hanya ada beberapa perbaikan fasilitas demi menunjang siapa saja yang datang untuk singgah usai berziarah, atau melaksanakan ritual ibadah.
Adapun pintu masuk ke makam ada di sebelah selatan masjid yang terbuat dari sebilah kayu yang sudah terlihat usang. Pintu masuk itu hanya setinggi satu meter sehingga orang yang hendak masuk dan keluar makam harus berjalan dengan cara jongkok. Pintu ini juga mengindikasikan bahwa setiap peziarah harus memiliki laku beradab ketika bersua dengan seorang alim ulama.
Tutur Lisan Ihwal Identitas Sunan Kuning
Seperti halnya identitas para alim ulama tempo dulu yang kerap menjadi tanda tanya karena saking banyaknya yang menuturkan, identitas Sunan Kuning pun juga demikian. Cerita-cerita mengenai siapa, seperti apa, dan datangnya dari mana banyak ditutur-turunkan dari generasi ke generasi.
Cerita-cerita itu tidak perlu dihadap-hadapkan sebagai bahan bantahan, justru sebaliknya, cerita itu malah menjadi indikasi kealim-ulamaan dari Sunan Kuning itu sendiri.
Dalam buku bertajuk Muqoddimah Ngrowo karya Agus Ali Imron Al-Akhyar, ditemukan tiga cerita masyhur yang kerap ditularkan pada siapa saja yang bertanya mengenai identitas Sunan Kuning, selain karomah-karomah yang dimilikinya.
Pertikaian Sunan Ampel dan Ki Gawong
Cerita pertama ditandai dengan syiar Islam oleh Sunan Ampel ke arah selatan. Ketika sampai di daerah Lodoyo, Sunan Ampel dihadang oleh Ki Gawong beserta murid-muridnya yang dikenal sebagai penguasa daerah tersebut.
Keduanya berunding namun tidak mencapai mufakat. Akhirnya pecah pertikaian dengan adu kesaktian yang berakibat pada kekalahan di pihak Sunan Ampel. Sunan Ampel pun kembali ke Surabaya.
Ketika tiba di kediamannya, Sunan Ampel mendapat semacam petunjuk bahwa putrinya, Siti Nuriyah akan berjodoh dengan Sunan Kuning yang kelak menjadi ulama yang mensyiarkan Islam di daerah selatan.
Siti Nuriyah dan Sunan Kuning pun kemudian menikah. Atas restu mertuanya, Sunan Kuning pergi ke daerah Lodoyo, tempat yang belum terjamah syiar Islam. Kedatangannya ternyata sudah ditunggu Ki Gawong.
Tanpa ada rembug dulu, keduanya langsung terlibat pertikaian dengan kemenangan di pihak Sunan Kuning. Melalui siasat liciknya, Ki Gawong pun berpura-pura masuk Islam dan berserah diri menjadi pengikut Sunan Kuning.
Setelah kejadian itu, mereka berniat melakukan perjalanan ke Surabaya untuk bertemu Sunan Ampel. Namun ketika singgah di suatu tempat karena lelah dan dahaga, Sunan Kuning justru harus menemui ajalnya. Sebab minuman yang ditenggak telah diracun terlebih dulu oleh Ki Gawong yang memang masih menyisakan sisa-sisa perlawanan pada Sunan Kuning.
Adu Kesaktian Zainal Abidin dengan Seekor Macan
Cerita kedua berawal dari kisah adanya seorang wali, namanya Zainal Abidin yang berkelana tanpa ada kepastian tempat menetap. Ketika memasuki hutan Samampir, Zainal Abidin ini bersua muka dengan seseorang dari Udowo yang dapat berubah menjadi seekor macan. Keduanya adu kesaktian dengan kemenangan di pihak Zainal Abidin dan pihak yang kalah bersedia menjadi seorang abdi.
Keduanya terus melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mensyiarkan ajaran Islam. Sampai pada waktu tertentu, orang yang berubah menjadi macan ini berkata:
“Ya Waliyullah, saya sudah mengabdikan diriku kepadamu begitu lama, mengikutimu sepanjang waktu, dan melindungimu jika ada marabahaya. Sekarang saya memiliki keinginan untuk minum arak, sekali ini saja.”
Permintaan tersebut akhirnya dikabulkan oleh Zainal Abidin dengan mengeluarkan dua gelas arak, yang satu untuknya dan satunya lagi untuk abdinya itu. Sebelum menenggak arak, Zainal Abidin berwejang:
“Kamu nanti akan berubah wujud menjadi manusia, namun hatimu tetap seperti macan”. Setelah berkata itu dan menenggak arak, Zainal Abidin pun mangkat lantas dimakamkan di lokasi yang hari ini ramai dikunjungi peziarah.
Sunan Kuning Wafat dan Dimakamkan
Cerita terakhir datang dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tulungagung yang menegaskan bahwa makam tersebut memang makamnya Sunan Kuning. Namun versi ceritanya agak berbeda dengan dua cerita di atas. Sebab Sunan Kuning dinilai telah menetap di tempat yang sekarang dikenal sebagai Desa Macanbang.
Dalam upayanya menyebarkan syiar Islam ke timur, Sunan Kuning bertemu rembug dengan pembesar daerah Ludoyo. Pembesar tersebut mau masuk Islam dan mengikuti laku ajaran Sunan Kuning dengan syarat, Sunan Kuning bersedia diajak untuk minum arak. Pada akhirnya semuanya, termasuk Sunan Kuning wafat lantas dimakamkan di tempat ia mensyiarkan agama Islam.
Ketiga cerita di atas secara kasat mata memang tidak memberi terang ihwal siapa sebenarnya Sunan Kuning ini, baik dari silsilah maupun seperti apa rupa aslinya. Kendati demikian, masyarakat setempat mempercayai bahwa Sunan Kuning merupakan sosok yang memiliki kontribusi penting dalam perkembangan awal ajaran Islam di Kabupaten Tulungagung melalui peninggalannya Masjid Tiban Baiturahman.
Selain itu, legitimasi kewalian Sunan Kuning ini juga diperkuat oleh Mbah Sangidin, seorang santri alim yang diasuh langsung oleh Kyai Ageng Muhammad Hasan Besari, pendiri Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo. Ceritanya bermula saat Mbah Sangidin melakukan perjalanan kemudian singgah sebentar untuk menunaikan ibadah salat di masjid tiban tersebut.
Ketika akan pergi, ia dihadang oleh macan yang telah menjadi abdi Sunan Kuning tempo dulu. Macan itu memohon kepada Mbah Sangidin untuk memakmurkan masjid tersebut dan merawat makam Sunan Kuning.
Alhasil Mbah Sangidin menetap dan anak keturunannya sampai sekarang menjadi juru kunci di masjid dan makam tersebut. Wallahu’alam bi Showab.