Masjid Wapauwe Kaitetu, Masjid Berusia 7 Abad Yang Berpindah Sendiri

 Masjid Wapauwe Kaitetu, Masjid Berusia 7 Abad Yang Berpindah Sendiri

Namanya Masjid Wapauwe Kaitetu, usianya kini mencapai 7 abad.

Sejarah Berdirinya

HIDAYATUNA.COM – Masjid Wapauwe Kaitetu adalah sebuah masjid bersejarah yang menjadi saksi bisu penyebaran Islam di Maluku pada masa lampau. Berdiri 7 abad yang lalu, tepatnya pada tahun 1414 M masjid ini masih berdiri kokoh di daerah Kaitetu, Maluku Tengah, Maluku. Masjid Wapauwe berada di daerah yang mengandung banyak peninggalan purbakala. Sekitar 150 m dari masjid ke arah utara, di tepi jalan raya terdapat sebuah gereja tua peninggalan Belanda dan Portugis  yang telah hancur akibat konfilk agama yang terjadi di Ambon pada 1999 lalu. 

Selain itu, 50 m arah utara dari gereja, berdiri kokoh sebuah Benteng tua “New Amsterdam” yang menjadi saksi perlawanan pejuan Tanah Hitu melalui perang Wawane (1634-1643) serta Perang Kapahaha (1643-1646). Mulanya masjid ini bernama masjid Wawane karena dibangun di Lereng Wawane oleh Perdana Jamilu, keturunan Kesultanan Jailolo dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Kedatangan Perdana Jamilu pada sekitaar tahun 1400 bertujuan untuk menyebarkan agama Islam di lima perkampungan di sekitar Lembah Wawane, yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala dan Nukuhaly.

Masjid ini mengalami perpindahan tempat akibat mendapat gangguan dari Belanda yang menginjakkan kakinya di Tanah Hitu pada 1580, setelah masuknya Portugis pada 1512. Sebelum pecahnya perang Wawane pada 1634, Belanda telah mengganggu kedamaian penduduk kelima perkampungan yang telah masuk Islam tersbeut. Merasa tidak nyaman dengan Belanda, masjid ini akhirnya dipindahkan pad atahun 1614 ke Kampung Tehala yang berjarak 6 km sebelah timur Wawane. 

Di lokasi yang baru, masjid didirikan diatas sebuah dataran yang banyak ditumbuhi pohon mangga, atau dalam bahasa setempat Wapauwe. Nama inilah yang kemudian menjadi nama masjid ini dikemudian hari. Setelah penguasaan Belanda terhadap Tanah Hitu, mereka memaksa penduduk yang tinggal di gunung untuk turun ke pesisir agar mudah dalam pengawasan. Begitu pula masjid Wapauwe yang turut dipindahkan ke lokasi sekarang di Kaitetu. Pemindahan masjid ini pada tahun 1664 dikenal sebagai tahun berdirinya Desa Kaitetu. 

Arsitektur dan Bangunannya

Masjid tua ini masih dipertahankan arsitektur aslinya, dindingnya terbuat dari papan dan batang daun sagu dan atapnya dari daun rumbia. Masjid ini masih berfungsi dengan baik sampai saat ini untuk dipakai shalat berjamaah lima waktu dan shalat jumat, meskipun sudah ada masjid baru di desa tersebut. 

Bangunan induk dari masjid Wapauwe Kaitetu ini berukuran 10×10 m, sedangkan bangunan tambahan merupakan serambi berukuran 6,45×4,75 m. Tipologi bangunannya berbentuk empat bujur sangkat. Bangunan asli pada saat pendiriannya tidak memiliki serambi. Keunikan dari arsitektur masjid ini adalah bangunan induk yang dirancang untuk tidak menggunakan paku atau pasak kayu pada setiap sambungannya. Masjid ini juga akan terlihat miring bila dilihat dari samping. Kemiringan ini tampak pada kubah yang tidak simetris dengan bentuk masjid.  

Bagian utama masjid ini ditopang oleh empat tiang, sedangkan disekeliling dindingnya ditopang 12 tiang. Interior masjid dipenuhi oleh kaligrafi. Di sudut timur dan barat atap terdapat ukiran kaligrafi yang bertuliskan : Allah-Muhammad, sedangkan di sebelah utara dan selatan terdapat kaligrafi bertuliskan Muhammad. 

Masjid ini memiliki peninggalan berupa mushaf Al-Qur’an yang selesai ditulis pada 1550. Al-Qur’an ini ditulis oleh imam Muhammad Arikulapessy, menggunakan tinta campuran getah pohon dan pena urat enau. Selain al-Quran terdapat peninggalan yaitu timbangan zakat fitrah dari kayu yang timbangannya dari kerang laut. Ada  pula anak timbangan seberat 2,5 kg yang terbuat dari campuran batu dan kapur. Satu anak timbangan ini sama dengan satu zakat di masa lampau.  Umumnya masyarakat dulu membayar zakat mereka dengan sagu atau rempah.

Renovasi 

Masjid Wapauwe pertama kali direnovasi oleh pendirinya, Perdana Jamilu pada 1464, tampa mengubah bentuk aslinya. Renovasi kedua terjadi pada 1895 dengan penambahan serambi di depan atau bagian timur masjid. Masjid berkali-kali mengalami renovasi sekunder setelah masa kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1959, atap masjid mulai menggunakan semen pc yang sebelumnya masih berkerikil. 

Selanjutnya, terjadi renovasi besar-besaran, yaitu pada Desember 1990-Januari 1991dengan penggantian 12 buah tiang sebagai kolom penunjang dan balok penopang atap. Pada tahun 1997, atap masjid yang semula menggunakan seng diganti dengan bahan dari nipah. Atap dari nipah ini diganti lima tahun sekali. Meski pernah direnovasi beberapa kali, namun masjid ini tidak mengubah bentuk inti masjid ini sama sekali. Sehingga dapat dikatakan bahwa masjid ini adalah masjid tertua di Indonesia yang masih terpelihara keasriannya hingga kini. 

Ada sebuah cerita menarik tentang masjid ini. Menurut cerita rakyat setempat, ketika masyarakat Tehala, Atetu dan Nukuhaly turun dari gunung ke pesisir dan bergabung menjadi desa Kaitetu masjid tersebut masih berada di dataran Tehala. Namun pada suatu pagi saat penduduk bangun dari tidurnya, masjid tersebut secara misterius telah berpindah berada di tengah-tengah pemukiman penduduk di Kaitetu. 

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *