Masih Relevankah Menolak Non-Muslim Menjadi Pemimpin dan Pejabat Publik?
HIDAYATUNA.COM – Masih Relevankah Menolak Non-Muslim Menjadi Pemimpin dan Pejabat Publik? Pertanyaan yang ditimbulkan dilema bagi sebagian orang. Hal ini berkenaan dengan alah satu isu yang akhir-akhir ini ramai menjadi perbincangan adalah pergantian pemimpin di Kepolisian RI. Dari Jendral Idham Azis kepada Komjen (Pol) Listyo Sigit Prabowo yang menjadi calon tunggal Kapolri.
Sosok Listyo yang Non-Muslim, pada akhirnya banyak melahirkan pro dan kontra tentang dirinya yang menjadi calon tunggal Kapolri. Ada yang beranggapan bahwa pemimpin atau pejabat publik haruslah dari kalangan muslim. Apalagi dalam hal ini adalah penjaga keamanan masyarakat di negara dengan umat Islam.
Di sisi lain, ada juga yang setuju bahwa pemimpin atau lembaga pemimpin negara bisa dari Non-Muslim, dengan dalih menghargai keberagaman. Hal ini selaras dengan salah satu prinsip bernegara Republik Indonesia.
Mereka yang tidak setuju dengan adanya sosok Non-Muslim yang menjadi pemimpin sering membuat narasi . Mereka disebut dalam narasinya, tidak patut Non-Muslim menjadi pemimpin atau muslim yang memilih pemimin dari kalangan Non-Muslim.
Apalagi dalam hal ini menjadi pemimpin lembaga negara yang tugasnya adalah menjaga ketertiban masyarakat umum dengan masyarakat muslim. Pihak ini selalu menyetir ayat Alquran yaitu Surat Al-Maidah ayat 51. Surat ini menjelaskan mengenai larangan menjadikan Non-Muslim sebagai pemimpin.
Mengkaji Kembali Tafsir Al-Maidah: 51
Al-Maidah ayat 51 yang masuk ke dalam kategori ayat yang sifatnya hukum. Tentu tidak bisa lepas dari analisa sudut pandang hukum Islam.
Sebagaimana dikatakan oleh Wahbah Zuhaili dalam karyanya al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh . Alquran merupakan salah satu sumber utama dalam hukum Islam yang disepakati oleh semua ulama. Bersamaan dengan sumber utama lainnya yaitu al-Sunnah, Ijma ‘dan Qiyas.
Dalam sejarah peradaban Islam sendiri, boleh-tidaknya Non-Muslim diangkat menjadi pemimpin atau dijadikan pemimpin kaum muslim merupakan fenomena klasik. Hal ini selalu mengundang gelombang di kalangan ulama dan peminat Studi Islam dari masa ke masa. Hal tersebut tidak lain karena banyaknya ragam perbedaan ketika menafsirkan Al-Maidah ayat 51.
Oleh karena itu, dalam menafsirkan Al-Maidah ayat 51 yang berbicara mengenai larangan memilih pemimpin Non-Muslim. Maka perlu kajian untuk melihat kembali. Apakah ayat tersebut masih relevan digunakan untuk masa sekarang? Bagaimana konteksnya di masa lalu dan kepada siapa melayani?
Menafsirkan ayat Al-Quran secara Literal saja belum cukup. Maka dari itu perlu adanya pembacaan baru terhadap teks-teks keagamaan. Hal ini guna memberi solusi di tengah banyaknya masalah kehidupan masyarakat muslim dengan keterbatasan teks yang ada.
Tafsir Al-Maidah: 51 Menurut Abdullah Saeed
Seorang pemikir kontemporer dari Asia Selatan yaitu Abdullah Saeed, menawarkan untuk melihat apakah Al-Maidah 51 masih relevan untuk menolak Non-Muslim. Saeed yang dikenal dengan gagasan Tafsir Kontekstualnya dan Islam progresifnya yang menyatakan bahwa membawa Islam agar tidak menjadi agama yang kaku.
Prinsip Islam itu sendiri, maka perlu adanya penafsiran baru terhadap teks-teks keagamaan. Atau yang dikenal dengan tafsir kontekstual.
Oleh karena itu, masalah boleh tidaknya Non-Muslim menjadi pimpinan bagi orang muslim, khususnya dalam menafsirkan Al-Maidah ayat 51. Selain menafsirkan berdasarkan teks, perlu juga memperhatikan konteks di mana, kapan dan kepada siapa ayat tersebut diturunkan.
Pemahaman seperti ini dilakukan dalam rangka menemukan nilai dan prinsip etis, dan moral yang ingin di sampaikan oleh Alquran. Sebab pemahaman secara tekstual terhadap ayat-ayat Allquran sudah cukup dan gagal dalam melihat nilai dan prinsip etis, dan moral. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah Saeed dalam bukunya Menafsirkan Alquran: Menuju Pendekatan Kontemporer .
Mayoritas masyarakat menganggap bahwa surah Al-Maidah ayat 51 adalah dalil dilarangnya pemimpin non-Muslim. Untuk hal ini, Abdullah Saeed menawarkan setidaknya 4 tahap untuk mewujudkan tafsir Alquran yang kontekstual.
Pertama , penentuan ayat Alquran yang akan dikontekstualisasikan dengan metodenya.
Kedua , memahami kandungan ayat dengan analisa kritis. Analisis dengan menganalisa aspek linguistik, konteks sastra, bentuk sastra, teks-teks yang berkaitan dan aspek yang disajikan.
Ketiga , dengan memahami teks sesuai dengan pemahaman penerima wahyu pertama dan sesuai dengan konteks pada masa itu. Dengan lima aspek sebagai berikut; analisa konteks ayat yang berisi sosial historis atau asbabun nuzulnya.
Keempat , menentukan hakikat pesan. Apakah bersifat teologis, hukum atau etis, berwawasan pesan pokok dan spesifikasinya. Apakah bersifat temporal spesifik atau ecternal universal.
Jika masuk dalam kategori ayat yang implementasional, maka bisa dikompromikan dengan konteks sekarang. Kemudian mencari keterkaitan ayat dengan tujuan utama Alquran. Kemudian meninjau ulang penafsiran dan yang terakhir adalah kontekstualisasi.
Konstektualisasi Al – Maidah; 51, Relevankah Dijadikan Dalil Menolak Non-Muslim Menjadi Pemimpin?
Diketahui kita diketahui, menguatnya politik identitas untuk mendeligitimasi kelompok lain menggunakan dalil-dalil agama. Dalam bahasa lain menjual agama untuk kepentingan kelompok dan politik.
Salah satu ayat Al-Qur’an yang sering dijadikan dalil tersebut adalah Al-Maidah ayat 51.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setiamu w ali, pelindung dan pemimpin , mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, wali, pelindung dan pemimpin. sebenarnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzhalim. “
Asbabun Nuzul Al-Maidah: 51
Untuk melihat apakah Al-Maidah 51 yang relevan dijadikan dasar menolak kepemimpinan di era non-Muslim sekarang. Khusunya di negara yang bersistem demokrasi, seperti Indonesia namun masyarakatnya adalah muslim. Maka perlu melihat asbabun nuzul ayat tersebut.
Menurut al-Qurtubi dalam tafsirnya yaitu Tafsir Al-Qur’an al-Adhim, sebab turunnya Al-Maidah 51 pada saat ‘Ubadah bin Shamit dan Abdullah bin Ubay bin Salul tengah bertengkar. Mereka berselisih terkait siapa yang pantas dijadikan tempat berlindung dalam hal pemimpin ketika itu.
Hal tersebut terdengar oleh Nabi Saw, Abdullah bin Ubay menyatakan bahwa ia lebih memilih berlindung kepada Yahudi. Sebab ketika berlindung kepada Rasul ia takut tertimpa musibah. Nabi SAW menjawab bahwa keinginan Abdullah bin Ubay untuk berlindung kepada Yahudi adalah pilihannya tidak bagi yang lain.
Untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul dari bani Qainuqa ‘dan bergabung dengan Rasulullah, kemudian menyatakan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah al maidah ayat 51 ini yang mengingatkan orang yang beriman untuk taat pada Allah dan Rasul.
Selain melihat asbabun nuzul ayat, perlu juga melihat titik fokus yang ada di ayat di atas dalam hal ini adalah kata pemimpin atau kata auliya ‘. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menafsiri bahwa auliya ‘ tidak berhubungan tunggal pemimpin seperti dalam penerjemahan Departemen Agama.
Tafsir Al-Maidah Menurut Quraish Shihab
Di dalam kata auliya ‘, terdapat makna teman dekat, pendukung, pembela, pelindung, dan yang mencintai. Kesemuanya itu pada pasangan pada kedekatan.
Quraish Shihab juga tidak setuju jika auliya ‘ diasosiasikan dengan dilarangnya Non-Muslim menjadi pemimpin di tempat yang paling musim. Hal tersebut karena Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mulai menafsirkan Al-Maidah ayat 51 yaitu “ Jika keadaan orang-orang Yahudi atau Nasrani atau siapa pun seperti dilukiskan oleh ayat-ayat yang lalu ”.
Quraish Shihab memberikan ruang untuk berpikir agar kita tidak mudah memutuskan. Quraish Shihab mengartikan kata auliya ‘dengan kata dasar, yakni dekat. Kemudian oleh Quraish Shihab dipersonifikasi menjadi makna-makna baru: pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, dan lebih utama. Kesemua makna ini memiliki rujukan makna kedekatan.
Oleh karena itu, tidak relevan jika Al-Maidah 51 digunakan untuk konteks sekarang apalagi dengan isu pemimpin Non-Muslim di negara demokrasi yang muslim. Seperti yang akhir-akhir ini digunakan untuk menolak pengangkatan Sulistyo.
Seharusnya yang dikritik dengan pengangkatan Sulistyo adalah wacana yang digulirkannya, yaitu menghidupkan kembali PamSwakarsa. Sebab mempunyai rekam jejak buruk di masa orde baru.
Jika Pam Swakarsa benar-benar diaktifkan kembali, maka hal tersebut adalah mundurnya demokrasi di Indonesia.
Ayat ini juga bisa digunakan untuk menolak hal tersebut, dengan menganalogikan sifat-sifat jelek yang ada dalam diri kaum nasrani dan Yahudi pada masa lampau. Namun, memainkan isu sara untuk menjatuhkan mereka yang berbeda dengan menggunakan ayat ini, tentu tidak tepat.
Dalam artian, belum tepat jika di kontekskan dengan masa sekarang, karena jelas berbeda. Sebab ayat tersebut bukan pertemanan dalam situasi damai, dan bukan pula konteks pemilihan kepala pemerintahan.
Pesan utama dari ayat turunya yaitu perintah untuk berteman dengan orang-orang yang dapat percaya kita dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan semata-mata pelarangan memilih pemimpin non muslim.