Mari Menelisik Sejarah Turunnya Al-Quran!
Para ulama membagi sejarah turunnya Al-Qur’an dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah (ayat-ayat makkiyyah); dan (2) periode sesudah hijrah (ayat-ayat madaniyyah), tetap disini akan dipetakan menjadi tiga periode guna mempermudah dalam pengklasifikasiannya.
Periode pertama, pada permulaan turunnya wahyu yang pertama (al Alaq 1-5) Muhammad saw belum diangkat menjadi Rasul, dan hanya berperan sebagai nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya. Sampai pada turunnya wahyu yang kedua barulah Muhammad diperintahkan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah: “Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan” (QS 74: 1-2). (Quraish Shihab, 2006: 35)
Kemudian sesudah itu, kandungan wahyu ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw, dalam membentuk kepribadiannya (Q.s. Al-Muddatsir [74]: 1-7). Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai ketuhanan (Q.s. Al-A’la [87] dan Al-Ikhlash [112]. Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiyah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat Jahiliah ketika itu. Dapat dilihat, misal dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma’un yang menerangkan kewajiban terhadap fakir-miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksireaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok: Pertama, Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Qur’an. Kedua, Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Qur’an, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: “Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan Nubuwwah, kemuliaan apalagi yang tinggal untuk kami. Ketiga, Dakwah Al-Qur’an mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah lainnya. (Quraish Shihab, 2006: 36)
Periode kedua, sejarah turunnya Al-Qur’an pada periode kedua terjadi selama 8-9 tahun, pada masa ini terjadi pertikaian dahsyat antara kelompok Islam dan Jahiliah. Kelompok oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara untuk menghalangi kemajuan dakwah Islam.
Pada masa itu, ayat-ayat Al-Qur’an di satu pihak, silih berganti turun menerangkan kewajibankewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu (Q.s. An-Nahl [16]: 125). Sementara di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran (Q.S 41: 13). Selain itu, turun juga ayat-ayat mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat (Q.S. Yasin [36]: 78-82). (Quraish Shihab, 2006: 37).
Di sini terbukti bahwa ayat-ayat AlQur’an telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat Periode ketiga, pada periode ini dakwah Al-Qur’an telah mencapai atau mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan ajaranajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah AlMunawwarah).
Periode ini berlangsung selama 10 tahun. Ini merupakan periode yang terakhir, saat Islam disempurnakan oleh Allah SwT dengan turunnya ayat yang terakhir, Al-Maidah [5]: 3, ketika Rasulullah Saw wukuf pada haji wada’ 9 Dzulhijjah 10 H/7 Maret 632 M. Dan ayat terakhir turun secara mutlak, surat AlBaqarah [2]: 281, sehingga dari ayat pertama kalinya memakan waktu sekitar 23 tahun.
Sejarah Pembukuan Al-Qur’an dan Konsekuensinya
Sesungguhnya penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) AlQur’an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasi dan pembukuannya menjadi teks dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakr dan selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa Rasullulah SAW, Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al-Qur’an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan.
Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Pada masa ini pengumpulan Al-Qur’an ditempuh dengan dua cara: Pertama, al Jam’u fis Sudur, Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turats (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Kedua : al Jam’u fis Suthur, Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al-Qur’an.
Rasul SAW bersabda “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya” (Hadis dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal 8) dan Ahmad (hal 1). Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayatayat Al-Qur’an setelah wahyu diturunkan.
Penulisan pada masa Rasulullah belum terkumpul menjadi satu mushaf disebabkan beberapa faktor, yakni; Pertama, tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan Al-Qur’an menjadi satu mushaf mengingat Rasulullah masih hidup, di samping banyaknya sahabat yang menghafal Al-Qur’an dan sama sekali tidak ada unsur-unsur yang diduga akan mengganggu kelestarian Al-Qur’an. Kedua, Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, maka suatu hal yang logis bila Al-Qur’an bisa dibukukan dalam satu mushaf setelah Nabi saw wafat. Ketiga, selama proses turunnya Al-Qur’an, masih terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang mansukh. (Said Agil Husin Al Munawar, 2002: 18).
Pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Shiddiq, pada waktu terjadi pertempuran di Yamamah, yaitu “Perang Kemurtadan (riddah)”. Perang ini terjadi pada tahun ke-12 H, yakni perang antara kaum muslimin dan kaum murtad (pengikut MusailamatulKadzdzab yang mengaku dirinya Nabi baru) dimana mengakibatkan 70 penghafal Al-Qur’an di kalangan sahabat Nabi gugur. (Subhi As-Shalih, 1999:85). Akibat banyaknya penghafal AlQur’an yang terbunuh, hal ini membuat Umar ibn al-Khattab risau tentang masa depan Al-Qur’an. Sebab itu beliau mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakr untuk melakukan pengumpulan AlQur’an. Kendatipun pada mulanya Abu Bakr ragu-ragu untuk melakukan tugas itu, karena dia belum mendapat wewenang dari Nabi Muhammad saw. Secara jelas, keraguan ini nampak ketika Abu Bakar berdialog dengan Umar ibn al-Khattab, Abu Bakar berkata: “Bagaimana aku harus memperbuat sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.?” sambil balik bertanya. Demi Allah, kata Umar, “Ini adalah perbuatan yang sangat baik dan terpuji”. (Usman, 2009: 69). Hingga pada akhirnya beliau menyetujuinya. (W. Montgomery Watt, 1998: 35).
Kemudian beliau menugasi Zaid ibn Tsabit (salah satu mantan juru tulis Nabi Muhammad saw) untuk menuliskannya. Perlu diketahui juga bahwa metode yang ditempuh Zaid ibn Tsabit dalam pengumpulan Al-Qur’an terdiri dari empat prinsip: Pertama, apa yang ditulis dihadapan Rasul. Kedua, apa yang dihafalkan oleh para sahabat. Ketiga, tidak menerima sesuatu dari yang ditulis sebelum disaksikan (disetujui) oleh dua orang saksi, bahwa ia pernah ditulis dihadapan Rasul. Keempat, hendaknya tidak menerima dari hafalan para sahabat kecuali apa yang telah mereka terima dari Rasulullah saw. (Fahd Bin Abdurrahman Ar-Rumi, 1999: 117).
Pada masa pemerintahan Utsman ibn Affan, Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur’an (qira’at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku.
Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.
Naskah itu kemudian disempurnakan oleh dua orang pejabat Umayyah, Ibn Muqlah dan Ibn ‘Isa pada 933 dengan bantuan Ibn Mujahid. Ibn Mujahid mengenali adanya tujuh corak pembacaan Al-Qur’an, yang berkembang karena tidak adanya huruf vokal dan tanda baca. (Philip K. Hitti, 2005: 155).
Kendatipun begitu, ada satu konsekuensi yang harus diterima oleh umat Islam akibat kebijakan khalifah Utsman bin affan. Kalau dirunut ulang dari awal, bahwa sebelum pembukuan Al-Qur’an, kita tidak bisa membayangkan betapa banyak ragam bacaan pada saat itu. Al-Qur’an begitu sangat plural, kaya akan bacaan dan maknanya. Tetapi searah dengan kebijakan politik khalifah Utsman, AlQur’an menjadi tampil dalam bentuk tunggal, Al-Qur’an versi mushaf Utsmani. Inilah mushaf yang dianggap paling sah dan benar sampai sekarang.
Tentunya, sah dan benar dalam pandangan khalifah saat itu yang memiliki inisiatif dan otoritas untuk membukukannya. Dari sudut pandang ini, tampilnya mushaf versi Utsman sebagai mushaf resmi Umat Islam tidak lain adalah hasil dari tafsiran atas berbagai mushaf yang berkembang pada saat itu, yang didalamnya melibatkan proses selektifitas, pembuangan dan penambahan. (*).
Sumber: Jurnal Cahaya Khaeroni, Sejarah AlQuran.