Manusia yang Makshum dalam Ahli Sunnah Hanyalah Para Nabi, Benarkah?

 Manusia yang Makshum dalam Ahli Sunnah Hanyalah Para Nabi, Benarkah?

Manusia yang Makshum dalam Ahli Sunnah Hanyalah Para Nabi, Benarkah? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Suatu saat al-Imam Malik bin Anas berzirah ke Makam Rasulullah saw, kemudian beliau mengatakan sebuah perkataan yang sangat fenomenal sampai sekarang yaitu: ما منا إلا راد مردود إلا صاحب هذا القبر yang artinya bahwa setiap orang dari kita ini pasti menolak atau mengkritik perkataan seseorang yang lain atau ditolak atau dikritik kecuali orang yang dimakamkan di sini yaitu Rasulullah saw.
Perkataan ini walaupun singkat akan tetapi mempunyai makna yang sangat mendalam pada metodologi Ushuluddin dalam ahli sunnah yaitu hanya para Nabi saja yang maksum.

Maka selama seseorang itu bukan Nabi maka ada potensi dia berbuat kesalahan dan dosa. Dari sini sebenarnya bisa dipahami bahwa seseorang boleh mengkritik siapapun yang dia inginkan selama berdasarkan cara serta metodologi yang benar kecuali para Nabi ‘alaihi salam.

Karena mereka tidak boleh dikritik sebab adanya kemakhsuman yang artinya tidak mungkin mereka jatuh dalam sebuah kesalahan.

Maka jika ada seseorang yang mengkritik Ibn Arobi tidak usah ditakut-takuti akan mati su’ul khotimah-lah, tidak ada adab dengan wali Allah, tidak paham arti perkataannya dan lain-lain selama sang pengkritik menyertakan dalil atas kritikaannya.

Kemudian jika ada yang tidak terima maka silahkan menjelaskan dimana letak kesalahan orang yang mengkritik Ibn Arobi, itu yang saya kira mesti menjadi standart objektivitas dalam mengkritik seseorang.

Bukan malah kita memaki sang pengkritik karena tidak paham ibarat Ibn Arobi atau belum membaca penelitian tentang Ibn Arobi atau tidak punya mursyid dalam thoriqoh serta alasan-alasan yang lain yang membuat seakan-akan Ibn Arobi itu makshum maka tidak boleh dikritik.

Alasan yang sama pula bagi yang ingin mengkritik Ibn Taimiyah silahkan mengemukakan dalil tentang kesalahan Ibn Taimiyah dari kitab-kitabnya selama sang pengkritik mengemukakan dalil yang benar.

Maka bahaslah dalilnya jika mampu dan jika tidak mampu terimalah kritikan tersebut karena Ibn Taimiyah ini bukan entitas yang makshum.

Beliau mungkin salah, maka jangan ditakut-takuti dengan kata-kata seperti, “Jangan mengkritik ibn Taimiyah karena dia adalah Syekhul islam! Mana yang lebih Alim kamu atau Ibn Taimiyah! Atau anda tidak paham perkataan Ibn Taimiyah’.” Tanpa memberikan pemahaman yang benar.
Ahli sunnah sudah paham masalah ini sejak ratusan tahun yang lalu karena itu dalam kitab-kitab dasar dalam ilmu kalam kita biasa mendengar bahwa hal ini yang dikatakan oleh al-Imam Asya’ri akan tetapi itu lemah dan salah.

Semua itu demi memahamkan pembaca bahwa Al-Imam Asya’ri tidak makshum dan tolak ukur ahli sunnah ada pada kaidah-kaidah Ashliyah dalam Ushuluddin bukan dengan sosok Al-Imam Asya’ry walaupun jasa beliau sangat besar dalam perkembangan ahli sunnah.

Apa yang dilakukan guru saya Syeh Saeed Fodah selama ini dengan mengkritik Ibn Taimiyah dan Ibn Arobi tidak terlepas dari menolong akidah ahli sunnah dan menghilangkan kesakralan Ibn Arobi dan Ibn Taimiyah.

Bahwa mereka berdua itu seperti ulama pada umumnya bisa salah maka bisa dikritik, jadi jangan sensitif (baper) jika ada yang mngkritik keduanya.

Akan tetapi jadilah sensitif jika yang dikritik adalah para Rasulullah saw. Ini adalah metode bagaimana seyogyanya kita m

enyikapi kritikan terhadap para ulama. Wallahu a’lam. []

Habib Ali Baqir al-Saqqaf

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *