Manusia yang Bersifat Langit, Ingatlah! Realitas Tak Seindah Harapan
HIDAYATUNA.COM – Manusia itu asalnya dari tanah, makan dari hasil tanah, berdiri di atas tanah, akan kembali ke tanah, lalu kenapa masih bersifat langit? Pertanyaan reflektif yang begitu menohok itu lahir dari Buya Hamka yang ditujukan pada manusia yang tidak sadar akan keterbatasan dan ketidakberdayaannya.
Pertanyaan tersebut sebaiknya kita renungi baik-baik, paling tidak untuk memawas diri, bagaimana kita harus bersikap dalam menjalani kehidupan ini. Baik itu yang berhubungan langsung dengan manusia (hablun min an-nas) maupun berhubungan dengan Allah (hablun min Allah).
Betapa banyak masih kita temukan fenomena manusia yang merasa mampu dan hebat, padahal kalau kita boleh mengakui, sejatinya bukan kita yang hebat tapi Allah yang memudahkan segala urusan kita. Sudahkah kita sadar kalau kita ini hanya mahlukNya yang tercipta dari tanah dan akan terkubur dalam tanah, mengapa harus bersifat langit?
Terdapat juga jenis manusia yang merasa telah melakukan segalanya sehingga apa yang menjadi keinginannya harus benar-benar terwujud setelah melakukannya. Jika tidak akan muncul statemen-statemen yang penuh penyesalan, depresi, bahkan caci-maki turut meramu menjadi satu.
Memang begitulah dinamika hidup yang terkadang melahirkan realita yang kejam karena relaitas tidaklah seindah nilai-nilai ideal yang mengakar di kepala kita. Pasti ada kemungkinan-kemungkinan lain yang tak diinginkan akan menimpa.
Allah Maha Penentu atas Segala
Ada hikmah menarik dari Syaikh Ibn Ata’illah menyebutkan;
سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تَخْرِقُ أَسْوَارَ الْأَقْدَارِ
“Semangat yang menggebu-gebu tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir”
Memang karya legendaris al-Hikam dari Ibnu Ata’illah as-Sakandari tidak pernah lekang oleh zaman. Selalu saja menemukan keasyikan untuk terus dikeruk hikmah-hikmah untuk kembali kita nikmati bersama.
Untaian hikmah ini cukup menarik untuk dikaitkan dengan fenomena di atas. Begitupun yang tak kalah penting ketika melihat fenomena manusia yang masih meyakini bahwa untuk mencapai suatu tujuan berarti harus bergerak, dengan kata lain harus beraksi untuk meraihnya.
Sehingga yang terjadi cenderung menghiraukan kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak diinginkan yang bisa juga hadir di kemudian hari. Kasarnya muncul kegagalan.
Ketika kegagalan itu benar-benar hinggap, berbagai praduga kotor dan bahkan cenderung berburuk sangka pada Sang Pemilik Semesta. Barangkali akan berujar begini, “Padahal telah saya rancang matang-matang dan hati-hati, mengapa masih saja berbuah kegagalan?”
Betapapun kita memiliki daya upaya yang keras, keinginan yang menggebu, dan cita-cita tinggi beserta planing A, B, dan C telah dipasang atau bejibun keinginan yang sama kuat lainnya. Tapi Allah berkehendak lain dengan memunculkan hal yang tidak diinginkan, kita bisa apa? Apa akan mengutuk dan menghujat?
Jika demikian berarti tidak usah usaha dan bekerja keras dong? Toh ujung-ujungnya akan beroleh takdir dariNya. Loh tentu ini juga missunderstanding.
Mereka yang berusaha saja mendapat kegagalan, apalagi yang hanya diam berpangku tangan tanpa kerja keras sama sekali. Seperti kata para motivator “gagal merencanakan sama halnya merencanakan gagal”.
Ada Hikmah Dibalik Kegagalan
Perihal kegagalan tentu saja bukan keinginan kita bukan? Dari sini terkadang kita lupa bahwa kita hanya diperintahkan untuk berusaha, terlepas dari hasil dan konsekuensi dari apa yang kita lakukan berbanding terbalik dengan apa yang diinginkan adalah perkara lain.
Boleh jadi dari kegagalan yang dipetik berbuah hikmah lain yang lebih baik dari apa yang direncanakan. Bukankah Allah sebaik-baik sutradara atas apa yang dilakukan kita dan semua mahlukNya dengan menghadirkan skenario terbaik untuk kehidupan lebih baik kedepannya.
Allah itu Maha mengetahui atas ketidaktahuan manusia. Kalau kata adagium Arab mengatakan “الإنسان بالتفكير والله بالتدبير” Manusia hanya bisa merencanakan, sedang Allah yang menentukan.
Terkadang apa yang kita anggap baik, ternyata buruk di sisiNya, begitupun sebaliknya apa yang buruk di mata kita, ternyata baik di sisiNYa. (lihat: QS. Al-Baqarah [2]: 216).
Lalu, masihkah mau bersifat langit? Terpenting segala daya upaya telah kita lakukan, apapun konsekuensi yang kita dapat sebaiknya dihadapi sebijak dan sebajik mungkin.
Sedih boleh asal tidak sampai jatuh pada level manusia tadi yang bisanya hanya berburuk sangka. Siapa tau di balik peristiwa kegagalan ada rencana lebih baik yang telah dipersiapkan untuk kehidupan kita.
Wallahu a’lam bi as-Shawab