Mantan Komisioner Komnas HAM Ungkap Faktor Timbulnya Intoleransi di Sekokah

 Mantan Komisioner Komnas HAM Ungkap Faktor Timbulnya Intoleransi di Sekokah

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Wabah intoleransi dan radikalisme menjadi PR besar bersama termasuk di lingkungan sekolah yang notabene merupakan ruang sosial yang tidak hanya digunakan untuk transfer pengetahuan tetapi juga untuk pembinaan karakter.

Ketua Lembaga Konsultasi untuk Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (LKP3A) Pengurus Pusat Fatayat NU, Riri Khairoh mengungkapkan bahwa sebenarnya ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan timbulnya intoleransi di sekolah, salah satunya melalui Rohis.

Dalam beberapa kasus Rohis, kata Riri Khoiriyah, banyak dipegang oleh alumni-alumni sekolah itu yang ada di luar tapi mereka kemudian kembali melakukan monitoring terhadap adik-adiknya. “Nah dari sini kadang-kadang pihak sekolah itu tidak mengontrol dan tidak sadar bahwa ada Rohis yang terpapar radikalisme, meski tidak semua,” ujar Riri di Jakarta, Senin (20/1/2020).

“Sebenanrya pengaruh dari para alumni terhadap kegiatan yang sifatnya ektra, karena kegiatan yang sifatnya wajib biasanya alumni tidak bisa untuk ikut intervensi. Jadi bisa melalui ekskul, kemudian melalui Rohis atau misalnya pengajian bulanan. Nah itu yang harus mendapatkan perhatian dari pihak sekolah untuk terus melakukan kontrol. Sekolah harus tahu sebenanrya alumni ini mengajarkan apa,” ujarnya.

Menurut peraih gelar Master dari Center for International Studies, Universitas Ohio, Amerika itu, ada banyak alumni-alumni dari masing-masing sekolah yang mempunyai misi untuk melakukan transfer ideologi yang selama ini mereka pegangi agar itu bisa di internalisasi oleh para yunior-yunior di sekolahnya dulu.

“Apalagi kalau sekolah ini melihat alumninya tersebut mungkin sukses di berbagai bidang atau seperti bisa dijadikan role model, sehingga sekolah kadang kurang memperhatikan apa misi-misi dari para alumninya tersebut,” katanya.

“Nah itu yang harusnya pihak sekolah ikut mengontrol apakah alumni itu memberikan dampak yang positif dalam arti membuat misalnya anak-anak sekolah itu menjadi lebih aktif,  lebih toleran dan sebagainya ataukah justru malah para alumni ini mengajarkan misalnya ideologi-ideologi yang bertentangan dengan kemajemukan dan juga keberagaman yang ada di Indonesia,” imbuh Riri.

Tidak hanya melalui Rohis semata, dikatakan Riri, dari pengalaman yang pernah dia alami, infiltrasi intoleransi di dunia pendidikan juga bisa terjadi melalui forum orang tua murid yang melakukan forum-forum seperti pengajian.

“Dari pengalaman pribadi saya rupanya forum seperti ini juga digunakan untuk menyebarkan benih intoleransi. Pertamanya mengadakan pengajian rutin reguler untuk orang orang tua murid, tapi setelah beberapa waktu materi ceramahnya menjurus ke intoleransi dan itu ternyata bukan di lingkungan sekolah anak saya saja, banyak juga yang lain yang seperti itu,” ungkap wanita kelahiran Rembang, 5 Desember 1979 ini

Oleh sebab itu, terkait kasus intoleransi di sekolah yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini perlu menjadi perhatian besama. Karena seperti kasus siswa/siswi yang dilarang mengucapkan selamat ulang tahun terhadap lawan jenis itu tidak seharusnya dibawa ke agama. Karena sejatinya mengucapkan selamat ulang tahun itu sejatinya soal relasi kemanusiaan sebagai seorang sahabat ataupun sebagai seorang teman.

“Kalau kita ulang tahun kemudian kita ada yang mengingat, apalagi mendoakan. Karena ucapan ulang tahun semua isinya doa, semoga panjang umur, semoga sehat, tambah rezekinya, kan selalu seperti itu, itu kan doa,” ujar Komisoner Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan periode 2015-2019 ini.

Karena menurutnya membuat larangan mengucapkan selamat ulang tahun terhadap lawan jenis dengan membawa-bawa agama tentunya orang menjadi beragama yang sangat dangkal. Karena hal tersebut bukanlah inti agama. Karena inti agama itu yakni ketakwaan, hubungan habluminallah dan habluminannas. Dan ulang tahun ini adalah habluminannas.

Menurut Riri, kalau hal seperti itu disempitkan ke agama malah justru sangat menghawatirkan, yang kemudian orang bisa menjadi anti agama.  “Karena agama ini dianggap kok mengekang sekali begini saja tidak boleh dan  segala macam. Apalagi untuk anak muda,  dia bisa menjadi apatis dengan agama. Begitupun soal jilbab itu juga seperti itu, jika mengikuti aturannya di Peraturan Menteri (Permen) itu sebenarnya adalah pilihan dan tidak wajib,” ujarnya.

Untuk itu menurutnya, Pemerintah sebagai regulator perlu untuk memberikan payung hukum yang jelas bagi institusi pendidikan khususnya di daerah-daerah. Perlu juga upaya-upaya pencegahan secara sistematis melalui kurikulum yang lebih mengarah kepada pendidikan karakter.

“Perlu juga ketegasan dari pemerintah dalam hal ini agar benih intoleransi tidak semakin menyebar di dunia pendidikan kita. Jadi kalau ada praktek di sekolah yang mengajarkan intoleransi atau radikalisme itu perlu ada sanksi tegas pemerintah, karena dengan adanya sanksi baru orang takut untuk berbuat,” tutup Riri. (AS/HIDAYATUNA.COM)

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *