Manajemen Emosi Ala Kanjeng Nabi

 Manajemen Emosi Ala Kanjeng Nabi

Kapan Sayyidina Muhammad saw Menjadi Nabi? (Ilustrasi/Hidayatuna)

Dalam KBBI, kata ‘emosi’ memiliki tiga makna yaitu, pertama, luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat.

Makna kedua, keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan), keberanian yang bersifat subjektif.

Makna ketiga, marah. Dalam kehidupan sehari-hari, kata ‘emosi’ hampir selalu diidentikkan dengan makna yang ketiga, yakni marah.

Namun, dalam tulisan ini makna ‘emosi’ tak hanya dibatasi pada marah, melainkan juga mencakup makna yang pertama dan kedua.

Emosi menjadi salah satu perangkat utama dalam diri manusia. Tanpa kehadiran emosi, hidup yang dijalani manusia akan terkesan monoton dan menjenuhkan.

Syekh Ahmad Marzuki menerangkan dalam kitab ‘Aqidah al-Awam bahwa para nabi memiliki sifat jaiz (sifat yang boleh ada pada diri para nabi).

Sifat jaiz tersebut yakni para nabi memiliki sifat yang sama dengan manusia pada umumnya, akan tetapi hal tersebut tak sampai menurunkan derajat para nabi.

Sifat jaiz dapat meliputi makan, tidur, sakit, juga memiliki emosi. Kaitannya dengan emosi, tentu para nabi tidak meluapkannya secara sembarangan. Surat al-Ahzab ayat 21 menjelaskan bahwa terdapat uswah hasanah dalam diri Nabi Muhammad Saw. Ini artinya setiap gerak-gerik Rasulullah Saw patut ditiru oleh umat Islam, termasuk juga dalam hal mengontrol emosi.

Apabila diperhatikan, Rasulullah Saw memang memiliki manajemen emosi yang khas, yang tentu tidak ditemukan pada diri orang awam. Jelas! Pasalnya segala yang berasal dari Rasulullah Saw itu memiliki landasan wahyu.

Hal ini seperti yang terungkap dalam surat al-Najm ayat 4. Lantas, seperti apa manajemen emosi ala kanjeng Nabi? Berikut pemaparannya.

Dalam Perkara Marah

Nabi Muhammad Saw menyinggung soal marah beberapa kali. Salah satunya terdapat dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari. Dalam hadis tersebut diterangkan bahwa ada seorang sahabat meminta wasiat kepada Rasulullah Saw.

Jawaban Rasulullah Saw sendiri sangat singkat, yakni “Janganlah engkau marah!” Sahabat tadi mengulangi permintaannya beberapa kali dan jawaban dari Rasulullah Saw tetap sama.

Hadis ini seolah menyiratkan bahwa marah benar-benar merupakan sesuatu yang negatif dan sangat perlu untuk dihindari. Faktanya memang demikian. Apabila kita menjadi individu yang mudah sekali marah, secara tidak langsung kita mengundang mudarat yang besar pada diri kita sendiri. Dengan kata lain, menjadi orang yang ‘sumbu pendek’ sama artinya dengan menjadi orang yang suka merugikan diri sendiri.

Marah pada dasarnya memang berbanding terbalik dengan tujuan utama diutusnyaa Rasulullah Saw, yakni menjadi rahmat bagi seluruh alam. Adalah sesuatu yang tidak mungkin apabila tujuan pengutusan tersebut diperantarai oleh karakter yang penuh kemarahan.

Rahmatan li al-‘alamin hanya bisa dicapai dengan kepribadian yang sarat kasih sayang. Dan, Nabi Muhammad Saw telah menunjukkan hal tersebut pada khalayak. Sebagai umatnya, tugas kita adalah meneladani karakter Rasulullah Saw termaktub. Mengapa hal itu perlu dilakukan?

Sebab, wajah Islam tergantung dari bagaimana kita dalam meneladani Rasulullah Saw. Mestinya kita tak berhenti mengikuti beliau Saw dalam hal-hal yang berbau ritual, melainkan juga menyentuh aspek sosial. Dengan begitu, Islam tidak akan terlihat sebagai agama yang menakutkan di mata mereka yang nonmuslim.

Pertanyaannya sekarang, pernahkah Rasulullah Saw marah? Jawabannya, pernah. Kita tahu hidup ini dinamis. Setiap hari kita mendapati momen yang berbeda-beda. Tak semua momen membuat kita tersenyum, kadang kita pun bertemu dengan momen yang membuat kita marah.

Rasulullah Saw pun demikian, ada kalanya beliau Saw mendapati momen yang menyulut amarahnya. Misalnya, saat ada seseorang yang memprotes kebijaksanaan beliau Saw dalam pembagian harta rampasan perang.

Kala itu Rasulullah Saw berupaya menahan diri dan bersabar. Perlu dicatat di sini bahwa Rasulullah Saw bukan marah dalam urusan pribadi, melainkan dalam perkara yang menyangkut pendustaan akan kebenaran atau pencederaan terhadap ajaran Islam.

Ada beberapa metode yang ditempuh oleh Rasulullah Saw dalam meredakan bara amarah. Pertama, mengubah posisi. Jika Nabi Saw marah dalam keadaan berdiri, maka beliau lantas duduk. Bila amarah belum juga mereda, beliau lantas berbaring.

Imam al-Ghazali memaparkan bahwa perubahan posisi yang dilakoni Rasulullah Saw saat marah tersebut bukan gerakan fisik semata. Perubahan posisi tersebut dimaksudkan supaya manusia lebih dekat dengan tanah sehingga bisa merenungkan asal mula penciptaannya.

Selain mengubah posisi, Rasulullah Saw juga memberi tips pada orang yang marah untuk membaca ta’awudz. Ini merupakan wujud permohonan seorang hamba pada Allah swt dari setan. Tips termaktub memiliki relevansi dengan hadis lain, di mana Nabi Saw menyebut bahwa marah berasal dari setan. Selain meredam dengan ta’awudz, mara juga dapat dipadamkan dengan berwudlu.

Dalam Perkara Tertawa

Kita mungkin telah cukup sering mendengar sebua hadis Nabi yang berisi larangan banyak tertawa, sebab itu dapat mematikan hati. Akan tetapi, hal tersebut tak bermakna Rasullah Saw sama sekali tak pernah tertawa.

Selama masa hidupnya, Rasulullah Saw tentu pernah menemui momen-momen lucu yang dapat memancing tawa. Sebagai misal, saat melihat Aisyah sedang bermain beberapa boneka, tampak salah satu di antaranya ada sebuah boneka berbentuk kuda yang memiliki dua sayap.

Rasulullah Saw pun menanyakan hal tersebut pada istrinya itu. Aisyah lantas menjawab, “Apakah baginda tidak pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman memiliki kuda perang dengan banyak sayap?”. Mendengar jawaban itu, Nabi Saw pun tertawa hingga tampak gigi gerahamnya.

Perlu dicatat bahwa Rasulullah Saw tertawa sebab lelucon yang murni lucu, tanpa ada unsur menyakiti orang lain. Dan, beliau Saw tidak pernah tertawa secara berlebih-lebihan, apalagi sampai menganggu orang lain di sekitarnya.

Dalam Perkara Syukur

Terdapat sebuah hadis yang mengungkapkan bahwa Rasulullah Saw mendirikan qiyam al-lail hingga kakinya bengkak-bengkak. Saat ditanya oleh Aisyah r.a apa alasan beliau Saw melakukan hal tersebut, Nabi Muhammad Saw menjawab bahwa itu merupakan wujud rasa syukurnya atas segala yang dianugerahkan padanya oleh Allah swt.

Melalui hal ini dapat kita simpulkan bahwa metode Nabi Saw dalam bersyukur adalah dengan meningkatkan intensitas ibadahnya. Sebagai umatnya, kita sangat perlu mencontoh teladan Rasulullah Saw termaktub.

Ibadah di sini bukan hanya ibadah dalam bentuk ritual, tapi juga mencakup ibadah sosial. Misal, kita diberi limpahan rezeki dalam wujud harta yang berlebih dibanding orang lain. Wujud syukur kita atas nikmat tersebut dapat ditempuh dengan memberi sedekah pada mereka yang membutuhkan.

Cara semacam ini sangat mungkin dapat mengikis kesenjangan antara kita dengan mereka yang kurang beruntung secara finansial. Pada intinya, peneladanan terhadap akhlak Nabi, khususnya dalam manajemen emosi, tak akan mengundang mudarat pada kita. Wallahu A’lam.

Mohammad Azharudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *