Mama Ciwedus, Common Link Keulamaan dan Pesantren di Jawa Barat

 Mama Ciwedus, Common Link Keulamaan dan Pesantren di Jawa Barat

Mama Ciwedus, Common Link Keulamaan dan Pesantren di Jawa Barat (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Islam tersebar di Nusantara melalui peranan para tokoh, pesantren dan jejaringnya yang memiliki pengaruh luas melintasi ruang dan waktu.

Oleh sebab itu, setiap ulama yang mengambil peranan penting dalam konteks dakwah Islam di sebuah wilayah di Nusantara hampir selalu dapat diidentifikasi memiliki hubungan dengan ulama lainnya di wilayah lain.

Hubungan itu melalui berbagai ikatan yakni antara guru-murid, perkawinan dan atau persahabatan.

Dalam hal ini, Jawa Barat bukanlah pengecualian. Ada banyak pesantren di sana, baik tua maupun baru, yang secra fisik memberi bukti akan keberadaan tokoh-tokohnya yang tidak lepas dari afiliasi keulamaan Jawa-Madura. Salah satunya pesantren Ciwedus, Kuningan Jawa Barat.

Mengutip dari artikel “Mengenal Kiai Shobari, Ulama Dan Pejuang dari Kuningan” dalam situs republika.co.id, pesantren ini didirikan pada awal abad ke-18 oleh Sultan Tubagus Kalamudin yang berasal dari Banten.

Beliau seorang ulama yang bergaris keturunan ke Kesultanan Banten dan memilih menyebarkan Islam di Kuningan sejak 1715 M.

Akan tetapi arti penting Ciwedus dalam konteks jejaring ulama bukan pada masa beliau.

Baru ketika pesantren diasuh oleh KH Shobari, biasa dikenal masyarakat luas sebagai Mama Shobari atau Mama Ciwedus, pesantren mulai dikenal dan memiliki jangkauan yang lebih luas.

Pada masa beliau pula pesantren Ciwedus mencapai masa keemasannya di awal abad ke-20.

Di kalangan pesantren di Jawa Barat, terutama Priangan, Mama Shobari dikenal karena posisi pentingnya dalam mata rantai kajian ilmu fikih, seperti kitab Fathul Muin.

Hampir semua tokoh dan pesantren-pesantren tua di Jawa Barat memiliki sanad pada beliau.

Sebut saja misalnya, mengutip dari buku “Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat” karangan Nina H Lubis dkk, pendiri pesantren Cibeunteur Banjar dan KH Faqih, tokoh Islam di Samarang, Garut.

Mama Shobari lahir di Ciwedus, pada tahun 1841. Dalam keterangan lain menyebutkan lahir tahun 1831. Ayahnya bernama Kyai Adroi yang berasal dari Banten.

Ciwedus sendiri kini terletak di Desa Timbang Kecamatan Cigandamekar Kabupaten Kuningan.

Konon, waktu kecil Mama Shobari kerap dipanggil Obay. Sebutan yang umum ditemui dan khas Sunda.

Sejak usia 11 tahun, berkat bimbingan langsung ayahnya, sudah mampu menghapal berbagai macam kitab seperti Fathul Mu’in, Alfiah Ibnu Malik dan sebagainya.

Namun demikian, beliau tidak berpuas diri, dan melanjutkan perjalanan studinya ke berbagai pesantren di Cirebon dan Jawa Tengah.

Dikutip dari artikel berjudul “Sedekah Mulud, Tradisi Warisan Mama Sobari Ciwedus” dalam situs jabar.nu.or.id, Mama Shobari berkelana ke wilayah timur menuju berbagai pesantren yang kemudian berakhir di Bangkalan.

Di pesantren terakhir inilah Mama Shobari benar-benar dididik dan kelak menjadi tokoh berpengaruh di Tatar Sunda atas kharisma KH Kholil Bangkalan.

Peranan Kyai Kholil dalam hal ini jelas signifikan bagi pembentukan mata rantai pesantren dan keulamaan di Jawa Barat.

Dalam ilmu hadis, beliau bisa dikatakan common link bagi sanad keulamaan di tanah Jawa-Madura.

Begitu pula peranan Mama Shobari, bisa dikatakan beliau juga layak menjadi common link bagi bagi ulama di Jawa Barat.

Setelah beberapa lama menempuh pendidikan di berbagai pesantren, akhirnya beliau pulang ke Ciwedus.

Beliau dinikahkan dengan sepupunya atau anak dari adik kandung ayahnya bernama Kyai Musa bernama Fatimah.

Pasca wafatnya KH Adro’i, kepemimpinan Ciwedus dipegang oleh Mama Shobari.

Dengan demikian, beliau menjadi pengasuh generasi keempat di pesantren tersebut.

Berikut urutannya: KH Kalamudin, KH Syueb, KH Adroi dan baru kemudian KH Shobari.

Mama Shobari mengasuh pesantren Ciwedus antara tahun 1881 hingga 1916. Pada masanya, pesantren Ciwedus mencapai masa keemasannya.

Terbukti dari banyak lulusannya yang kemudian menjadi tokoh penting di masing daerahnya.

Berikut beberapa santri lulusan Ciwedus pada masa asuhannya: KH Habib Abdurohman Semarang, Habib Jagasatru Cirebon, KH Sanusi Babakan Ciwaringin, KH Syatibi, KH Hidayat Cikijing Majalengka, KH Zaenal Mustofa Kandang Sapi Cianjur, KH Abdul Halim Majalengka, KH Mutawali dan KH Mahfudz Cilimus Kuningan, KH Sudjai Gudang Tasik Malaya, KH Hambali Ciamis, KH Syamsuri Baedowi Tebuireng Jawa Timur, KH Ilyas Cibeunteur Banjar dan masih banyak lagi.

Mama Shobari dikenal karena kealimannya di bidang ilmu fikih. Banyak kyai pesantren di Jawa Barat ketika mengajarkan kitab fikih, terutama Fathul Mu’in, bertawasul kepada beliau.

Bukti lain, menurut kesaksian putra keturunannya, beliau pernah mengarang kitab syarah Fathul Mu’in.

Namun demikian, beliau juga tidak hanya mendalami ilmu fikih. Beliau juga seorang pengamal tarekat Syatoriyah.

Bahkan pernah menulis kitab tentangnya. Selain itu ada juga kitab yang konon pernah dikarangnya yakni Tafsir Jalalain.

Jadi, total ada tiga kitab yang pernah ditulisnya. Namun, sayangnya hanya satu yang selamat yakni kitab tasawuf tarekat Syatoriyah, sisanya dibakar habis oleh Belanda tahun 1935.

Dalam kiprahnya, Mama Shobari dikenal tidak hanya sebagai kyai yang berkutat di pesantren.

Ia aktif melancarkan serangan terhadap penjajahan Belanda. Fakta bahwa beliau pengikut Syatariyah dan sikapnya non kooperatif terhadap pemerintahan kolonial mengingatkan kita pada Pangeran Diponegoro dan Eyang Hasan Maolani, Lengkong Kuningan.

Hasan Maolani juga gigih melawan penjajahan, pengamal syatariyah, dan ditambah lagi ajaran fikih jihad-nya yang berpengaruh luas.

Oleh karena khawatir mempengaruhi masyarakat dan memicu perlawanan skala besar, akhirnya diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada paruh pertama abad ke-19.

Maka boleh jadi, ini pula yang menjadi sebab mengapa Belanda sempat membakar pesantren Ciwedus beserta kitab-kitab karangannya pada 1935.

Pemerintah Kolonial memiliki pengalaman yang cukup traumatik dengan keberadaan para ulama yang memiliki pemikiran politis dan punya pengikut tarekat.

Ada banyak kisah turun temurun yang masyhur di tengah masyarakat mengenai sosok Mama Shobari.

Akan tetapi tidak bakal disebutkan semua di sini. Salah satunya adalah konon ketika di pesantren beliau tidak diperkenankan oleh KH Kholil Bangkalan untuk mengaji kitab sebagaimana santri pada umumnya.

Beliau hanya diperintahkan untuk mengurusi wedus (kambing) milik Kyai Kholil.

Singkat cerita beliau dijemput pulang oleh keluarganya, namun Kyai Kholil justru mengatakan,

“Ini anak belum pernah ngaji sama sekali selama 12 tahun, dia cuma jagain kambing saya”

Dari situ, pihak keluarga pun bingung, “terus gimana kyai?” tanyanya memohon pertimbangan.

Kyai Kholil kemudian memanggil Mama Shobari dan menuruhnya untuk meminum air laut yang telah disediakan.

Kyai Kholil mengatakan, “Coba kamu minum ini, kalau rasanya manis kamu selamat, kalau rasanya asin kamu saya sembelih”.

Mama Shobari sempat ketakutan tetapi ia mengatakan yang sebenarnya,

“Rasanya asin mbah,” ucapnya.

Dari situlah Kyai Kholil memuji kejujuran dan keberanian Mama Shobari lalu mengijinkannya pulang bersama keluarganya.

Demikianlah biografi singkat beliau. Banyak sekali kisah-kisah penuh karomah yang melekat pada perjalanan hidup beliau.

Ketaatan pada sang guru, kejujuran, pentingnya sanad keilmuan dan keberanian melawan penjajahan mewarnai cerita hidupnya.

Beliau wafat pada hari Rabu 16 Agustus 1916 M atau 17 Syawal 1334 H. Dimakamkan di lingkungan pesantren Ciwedus yang kini sudah dilengkapi dengan sekolah-sekolah modern.

Madrasah misalnya, dibangun pada tahun 1960. MTs Ciwedus tahun 1976, TK dan MI tahun 1988, dan SMA tahun 2003. []

Uu Akhyarudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *