Malcolm X; Dari Penjara Menuju Birokrasi
HIDAYATUNA.COM – Malcolm X atau pria dengan nama kecil “Malcom Little” Lahir pada 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Orang tuanya adalah seorang wanita kelahiran Grenada, dan ayahnya adalah seorang pendeta kelahiran Georgia. Ayahnya, Earl Litte adalah seorang pembaptis yang vokal dan pemimpin lokal dari Universal Negro Improvement Association yang mencoba menanamkan kemandirian dan kebanggaan berkulit hitam di anak-anaknya. Malcolm mengatakan karena kejahatan orang kulit putih, tiga dari saudara ayahnya mati dengan salah satunya digantung.
Karena ancaman Ku Klux Klan (klan kulit putih) terhadap kegiatan UNIA dan Earl yang dianggap menyebabkan masalah, akhirnya keluarga mereka memutuskan untuk pindah pada tahun 1926 ke Milwaukee, Wixconsin, dan tidak lama kemudian pindah ke Michigan. Di Michigan, keluarganya juga tidak hidup dengan tenang. Black Legion, sebuah kelompok pendukung supremasi kulit putih yang mengganggu mereka. Bahkan pada saat rumah mereka terbakar pada 1929, Earl Little menuduh Black Legion sebagai pelakunya.
Ketika Malcolm X berusia 6 tahun, ayahnya tertabrak term dan tewas. Meskipun polisi mengatakan bahwa ayahnya tergelincir dan kejadian tersebut adalah sebuah kecelakaan, seseorang yang datang di pemakaman ayahnya mengatakan bahwa seseorang mendorong ayah mereka sehingga tertabrak term, dan beberapa orang kulit hitam menduga bahwa itu adalah ulah Black Legion.
Semenjak ayahnya tewas, Malcolm X dan keluarganya mendapatkan mimpi buruk yang tidak ada habisnya, asuransi ayahnya yang seharusnya mereka dapatkan, tidak dapat mereka dapatkan secara utuh karena pihak asuransi mengklaim bahwa ayahnya bunuh diri. Hal ini membuat Louis, ibunya berusaha keras menghidupi seluruh anaknya. Hingga akhirnya ibunya mengalami gangguan saraf karena telah ditinggal kekasih barunya dalam keadaan hamil.
Keadaan kemudian memaksa ibunya untuk dirawat di Rumah Sakit Kalamazoo dan menetap selama 24 tahun sebelum dijemput oleh anak-anaknya. Sejak ibunya dirawat, ia dan saudara-saudaranya kemudian berpencar karena di tempatkan di panti asuhan yang berbeda-beda.
Malcolm X merupakan murid yang rajin dan pintar, ia kemudian menjadi murid unggulan disekolahnya. Impian Malcolm pada saat itu adalah untuk menjadi pengacara, namun impiannya dalam sekejap dihancurkan oleh seorang guru berkulit putih yang mengatakan kepadanya bahwa menjadi pengacara bukanlah sebuah tujuan yang realistis untuk orang negro. Hal tersebut membuat Malcolm merasa bahwa dunia orang kulit putih tidak memberi tempat bagi orang kulit hitam terlepas dari bakatnya.
Setelah tinggal di beberapa panti asuhan, Malcolm X kemudian tinggal dengan kakak tirinya saat usianya 15 tahun di Roxury, Boston, lingkungan yang sebagian besar dihuni oleh orang Afrika-Amerika dari Boston di mana ia mengerjakan berbagai pekerjaan. Pada tahun 1943, ia pindah ke Harem, New York dan di sinilah kemudian kehidupan Malcolm mencapai titik terburuknya dimana ia terlibat transaksi obat bius, perjudian, pemerasan, perampokan dan mucikari.
Ia disebut “Detroit Red” karena rambut kemerahan yang diwarisinya dari kakek pihak ibu di Skotlandia. Malcolm X dinyatakan “tidak memenuhi syarat untuk bergabung dengan dinas militer karena masalah mental” setelah ia mengatakan pada beberapa pejabat di kantor wajib militer bahwa ia ingin “mencuri beberapa senjata, dan membunuh [beberapa] orang kulit putih”.
Pada 1945, Malcom X kembali ke Boston dimana ia memulai serangkaian perampokan yang menargetkan orang-orang kulit putih dari keluarga kaya. Setahun kemudian, pada 1946 ia ditangkap saat mengambil sebuah jam curian ketika meninggalkannya di toko untuk perbaikan. Pada bulan Februari, Malcolm kemudian mulai menjalani hukuman selama 8-10 tahun di Penjara Negara Charlestown. Di sanalah ia bertemua John Bembry, seorang otodidak yang digambarkannya sebagai manusia pertama yang dilihat menghormati perintah secara total. Di bawah pengaruh Bembry inilah minatnya yang besar untuk membaca mulai tumbuh kembali.
Nation of Islam
Selama di penjara, ia beberapa kali mendapat surat dari saudaranya yang mengenalkannya kepada sebuah ajaran keagamaan yang relatif baru mendirikan kemandirian orang kulit hitam dan pada akhirnya penyatuan diaspora Afrika bebas dari dominasi orang kulit putih Amerika Eropa. Awalanya Malcolm X tak terlalu mempedulikan tersebut, namun setelah saudaranya Reginald menulis tentang larang memakan daging babi dan merokok, ia pun mulai menolak daging babi dan ia berhenti merokok.
Setelah kunjungan dimana Reginald menggambarkan ajaran-ajaran kelompok tersebut, termasuk keyakinan orang kulit putih adalah setan, Malcolm X sampai pada kesimpulan bahwa setiap hubungan yang ia miliki dengan orang kulit putih telah dinodai oleh ketidakjujuran, ketidakadilan, keserakahan dan kebencian. Malcolm yang selama di penjara mendapat julukan “Setan” dari para penghuni lainnya, mulai mempertimbangkan kembali prinsip anti-agamanya dan ia menerima ajaran-ajaran dari Nation of Islam.
Malcolm X mulai sering mengirim surat kepada Elijah yang memberinya saran agar meninggalkan masa lalunya dan dengan rendah hati membungkuk dalam doa kepada Allah. Melalui dorongan saudaranya, Reginald serta rekan-rekannya di penjara pada tahun 1948 akhir ia mulai beralih doktrin dengan doktrin Elijah Muhammad, pemimpin Nation of Islam. Semangat yang dibawa Elijah dianggap sesuai dengan kondisi yang dihadapi orang-orang kulit hitam Amerika, di mana diskriminasi rasial pada masa itu sangatlah kuat.
Pada tahun 1950, Malcolm X mulai mengganti nama belakangnya dari ‘Malcolm Little’ menjadi ‘Malcolm X’. Setelah dibebaskan pada 1952, Malcolm X mengunjungi Elijah di Chicago. Pada bulan Juni 1953, ia menjadi pelayan asisten Masjid Nomor Tujuh di Detroit, kemudian ia mendirikan Masjid nomor sebelas di Boston, dan pada Maret 1954, ia mendirikan Masjid keduabelas di Philadelphia, dan dua bulan kemudian ia terpilih sebagai pemimpin Masjid Nomor Tujuh di Harlem, dimana ia dengan cepat memperluas keanggotaan Nation of Islam.
Malcolm X kemudian mendirikan surat kabar Nation, Muhammad Speaks, yang dia cetak di ruang bawah tanah rumahnya. Kemudian memprakarsai praktik yang mengharuskan setiap anggota laki-laki Negara untuk menjual sejumlah surat kabar di jalan sebagai teknik perekrutan dan penggalangan dana. Ia juga mengartikulasikan doktrin rasial Nation tentang kejahatan yang melekat pada orang kulit putih dan keunggulan alami orang kulit hitam.
Pengalaman sosial Malcolm X, kecapakan intelektualnya, serta dedikasinya kepada pemimpin mengantarkannya pada kedudukan tinggi di Nation of Islam. Ratusan orang Afrika-Amerika bergabung dengan nation of Islam setiap bulannya. Selain keahliannya sebagai pembicara, Malcolm X juga memiliki postur tubuh yang mengesankan, ia memiliki tinggi 6 kaki 3 inci (1,91 M) dan beratnya sekitar 82 kg. Ia digambarkan sebagai orang yang selalu tampil rapi dan tampan.
Pada tahun 1985, Malcolm X menikah dengan Betty Sanders. Dari pernikahannya ini, ia dikaruniai 6 orang anak. Seiring dengan berkembangnya kegiatan politik Dunia Ketiga dan AS pada awal tahun 1960 an, Malcolm X semakin berani menyuarakan statement-statement anti rasisme. Ia secara terang-terangan mendukung kebebasan orang-orang Afrika-Amerika dan Muslim. Bahkan ia juga tak segan-segan mengkritisi kebijakan protektif Elijah dan penghindaran kontak yang tidak perlu dengan kaum Sunni.
Awal Perseturuan Malcolm X dan Elijah
Sejak tahun 1959 dan seterusnya, Malcolm X berusaha untuk memodifikasi kebijakan Elijah namun hal itu menjadikan loyalitasnya dipertanyakan. Kunjungan singkatnya ke negara-negara Afrika dan Arab Saudi, sebagai utusan Elijah serta siaran nasional “The Hate That Hate Produced” membuat tingkat popularitasnya meningkat. Namun di sisi lain, hal ini membuat anggota NOI yang lain menjadi iri kepadanya.
Pandangan rasis yang diajarkan oleh Elijah Muhammad membuat Malcolm X kemudian menyadari bahwa hal tersebut sebagai sebuah ajaran yang tidak rahmatan lil alamin. Malcolm X kecewa bahwa kunjungan Elijah ke Arab Saudi dan negara-negara muslim pada 1959 serta ibadah Umrohnya tidak membawa dampak perubahan politik yang signifikan bagi Nation of Islam. Ia kemudian secara perlahan mengubah administrasi Masjid Nomor Tujuh. Meskipun selalu merespon dengan tajam kecaman muslim Sunni terhadap teologi Nation, ia tetap mengadakan pengajaran Bahasa Arab dan mempertahankan hubungan baik dengan diplomat muslim lainnya.
Lebih jauh lagi, Malcolm X mulai mengecilkan doktrin Nation of Islam tentang ‘sifat setan dalam diri kulit putih dan keunggulan alamiah orang kulit hitam’. Ia mengajari para asistennya tentang kebudayaan Asia dan Afrika serta permasalahan-permasalahan hangat pada masa itu.
Pada tahun 1963, terjadi ketegangan antara Malcolm X dan Elijah terkait arah politik organisasi. Malcolm X mendesak agar Nation of Islam menjadi lebih aktif dalam demonstrasi hak-hak sipil yang meluas, dan bukan sekedar menjadi kritikus pinggiran. Ketegangan semakin memuncak saat Malcolm X mengetahui bahwa ayah dari anak-anak sekretaris pribadinya adalah Elijah.
Malcolm X membawa publisitas buruk kepada Nation of Islam ketika ia mengumumkan secara terbuka bahwa pembunuhan John F. Kennedy adalah contoh “chickens coming home roots”. Sebagai akibatnya, Malcolm X diskors dari Nation selama 90 hari dan terjadi keretakan permanen antara kedua pemimpin Nation of Islam.
Pada 1964, Malcolm X akhirnya meninggalkan Nation dan bulan berikutnya ia mendirikan Muslim Mosque, inc. Selama ia berziarah ke Makkah di tahun yang sama, ia menjalani pertaubatan kedua dan memeluk Islam Sunni dan kemudian ia mengadopsi nama muslim El Hajj Malik el-Shabazz. Setelah meninggalkan teologi Nation, ia mengklaim bahwa solusi terbaik untuk masalah rasial di Amerika Serikat adalah kembali ke Islam yang bersumber pada al-Quran dan Hadis.
Malcolm X akhirnya mendirikan Organization of Afro-American Unity pada 28 Juni 1964 sebagai kendaraan organisasi sekuler untuk menginternationalkan kondisi buruk orang kulit hitam Amerika, serta untuk beralih dari perjuangan sipil ke perjuangan hak asasi manusia.
Permusuhan yang berkembang antara Nation dan Malcolm X menyebbakan ancaman pembunuhan dan kekerasan terhadapnya. Pada 21 Februari 1965, pada saat akan memberi ceramah di sebuah Hotel di New York, Malcolm X tewas di ujung peluru tiga orang Afrika-Amerika yang ironisnya dia perjuangkan nilai-nilai dan hak-haknya serta tidak ada yang tahu siapa dan apa di balik kematiannya. Kendati demikian, impian Malcolm X menyebarkan visi anti-rasisme dan nilai-nilai Islam yang humanis, menggugah kalangan Afro-Amerika dan dunia.