MALAHAYATI, LAKSAMANA WANITA PERTAMA DI DUNIA
Namanya Keumalahayati, lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati. Laksamana perempuan ini masih merupakan bagian inti dari keluarga Kesultanan Aceh Darussalam. Ayahnya adalah Laksamana Mahmud Syah yang merupakan keturunan Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530), pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.
Sejak kecil, Malahayati tidak pernah bersolek, ia lebih gemar berlatih ketangkasan yang kelak membawanya menuju cita-citanya yang didambakannya, yaitu menjadi panglima walaupun ia adalah perempuan. Bakat itu mengalir langsung dari ayah dan kakeknya yang pernah menjabat sebagai laksamana angkatan laut Kesultanan Aceh.
Ajaran islam memang melekat kuat di Tanha Rencong, namun tidak begitu dengan urusan gender, faktanya Kesultanan Aceh pernah diperintah oleh seorang Ratu. Pada periode berikutnya juga terdapat banyak pahlawan wanita di Aceh seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia dsb. Maka tidak menjadi masalah jika akhirnya Malahayati memilih jalur militer sebagai jalan hidupnya. Ia merupakan salah satu hasil didikan Mahad Baitul Makdis, akademi ketentaraan Kesultanan Aceh Darussalam yang merekrut beberapa instruktur perang dari Turki. Dan Malahayati memang sangat berbakat di jalan yang telah ia pilih itu.
Menjadi salah satu lulusan terbaik Mahad Baitul Makdis membawa Malahayati ke level yang lebih tinggi. Pada era pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil, ia ditunjuk sebagai Komandan Istana Darud-Dunia, kepala pengawal sekaligus Panglima protokol Istana, menggantikan suaminya yang gugur di saat melawan portugis di teluk Haru, perairan Malaka.
Sultan Alauddin juga memberikan Malahayati puncak kepemimpinan tertinggi di angkatan laut kerajaan sebagai laksamana, jabatan yang pernah diemban oleh ayahnya dan kakeknya. Malahayati disebut-disebut sebagai laksamana perempuan pertama di Nusantara, bahkan di dunia. Dalam angkatan perangnya, ia tidak hanya memimpin pasukan pria yang memang mendominasi pasukannya, namun juga ia menghimpun kekuatan kaum wanita, terutama para janda yang ditinggal mati oleh suaminya di medan perang. Barisan janda perempuan pemberani ini dikenal dengan nama Inong Balee.
Kehebatan Angkatan Perangnya
Jumlah pasukan angkatan laut yang dipimpin Malahayati awalnya hanya berjumlah 1000 orang, namun bertambah menjadi 2000 orang dengan tambahan pasukan wanita. Selain memimpin pasukan yang besar, ia juga bertugas mengawasi seluruh pelabuhan dan bandar dagang di perairan Aceh, beserta kapal-kapalnya. Saat itu, Kesultanan Aceh memiliki 100 kapal besar yang maisng-maisng dapat mengangkut sebanyak 400 penumpang setiap kapalnya.
21 Juni 1599, rombongan penjelajah Belanda yang dipimpin oleh de Houtman bersaudara memasuki perairan Aceh. Ada dua kapal besar yang masing-masing dipimpin oleh Frederick dan Cornelis de Houtman. Pada awalnya, hubungan baik terjalin antara Aceh dan pendatang Eropa. Sampai kemudian akibat ulah orang-orang Belanda dan seorang provokator dari Portugis memunculkan benih-benih pertikaian.
Menyadari situasi mulai memanas, Frederick dan Cornelis berdiskusi di atas kapal mereka, dan bersiap untuk menghadapi serangan yang akan datang. Sesuai prediksi mereka, Sultan Alauddin memerintahkan Laksamana Malahayati untuk menyerbu dua kapal Belanda yang masih bertahan di selat malaka tersebut.
Maka terjadilah pertempuran di tengah laut, pasukan Belanda kewalahan dengan ketangguhan pasukan Malahayati yang jumlahnya ribuan, termasuk pasukan janda yang berani mati. Hingga akhirnya, Malahayati dapat mencapai kapal Cornelis dan bertarung satu-satu dengannya. Malahayati menggenggam sebilah rencong di tangannya, sedangkan Cornelis bersenjatakan pedang. Duel satu lawan satu terjadi, dan di saat Cornelis lengah, Malahayati berhasil menikam Cornelis hingga ia tewas.
Pertempuran dimenangkan oleh Laksamana Malahayati dan pasukannya, Belanda kehilangan banyak orang dan sisanya dijebloskan ke penjara, termasuk saudara Cornelis, Frederick de Houtman. Beberapa tahun setelah pertempuran tersebut, tepatnya pada 1604, Laksamana Malahayati wafat dalam pertempuran melawan portugis. Malahayati wafat meninggalkan nama besar dibelakangnya yang juga diakui oleh bangsa-bangsa Eropa. Ia kemudian dimakamkan di kaki Bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.
Empat abad setelah wafatnya, Laksamana Malahayati dinobatkan sebagai pahlawa Nasional oleh Presiden Joko Widodo.