HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Seiring hebohnya kisah Pesulap Merah dan Gus Syamsudin beberapa waktu lalu, akhirnya kata ‘hikmah’ pun juga ikut tenar.
Maka saya di sini akan sedikit menjelaskan apa itu makna dari kata ‘hikmah.’
Adapun secara bahasa, kata ‘hikmah’ diambil dari kata حَكَمَ yang mana berkata al-Imam ibn Faris dalam kitab beliau Maqoyiisul Lughoh bahwa حكم artinya adalah منع dengan arti melarang karena hukum melarang daripada kedoliman. Inilah akar dari kata hikmah.
Kemudian seiring berlalunya waktu kata hikmah mengalami beberapa perubahan kadang dipakai menjadi makna kebijaksanaan.
Karena itu Luqman al-Hakim bisa diartikan Luqman yang bijaksana.
Kemudian dipakailah oleh para Filosof Aristi untuk menamai ilmu mereka yang membahas segala sesuatu yang ada di luar berdasarkan kemampuan manusia atau yang dikenal juga dengan nama ilmu filsafat.
Maka ilmu hikmah adalah llmu filsafat itu sendiri dan arti dari hukama adalah falasifa.
Kemudian kata hikmah ini mengalami degradasi dalam pemakaiannya menjadi ilmu-ilmu yang dipakai untuk semacam perdukunan atau tabib.
Maka ilmu hikmah bisa juga dimaknai sebagai ilmu perdukunan.
Dulu ketika saya berada di perpustakaan seorang penununtut ilmu yang sudah sepuh saya melihat sebuah kitab berjudul Manba’ Ushul Hikmah.
Saya kira itu adalah kitab ilmu filsafat karena ada kata-kata hikmahnya. Jadi saya meminjamnya dari orang tersebut kemudian ketika saya sampai kerumah dan mulai saya baca halaman demi halaman.
Baru saya sadar ternyata itu adalah ilmu perdukunan. Ini adalah makna hikmah ketika dinisbatkan kepada perkara-perkara yang hadis (makhluq).
Akan tetapi bagaimana jika hikmah ini dinisbatkan kepada Allah seperti ketika anda mengatakan bahwa Allah Hakim, apa maknanya?
Di sinilah terjadi perbedaan antara Asy’iroh dan Maturidiyah yang menurut saya sedikit signifikan.
Karena pendapat Maturidiyah di sini sedikit mirip dengan Muktazilah. Karena Maturidiyah mengatakan bahwa hikmah adalah sifat yang ada pada
Dzat Allah yang berhubungan dengan sifat lain yaitu Takwin yang artinya ‘ketika Allah menciptakan mesti ada maslahatnya bagi makhluqNya akan tetapi Allah boleh untuk tidak menciptakan dari awal.’
Berbeda dengan
Asyai’roh yang mengatakan bahwa hikmah itu bukan sifat bagi Dzat Allah.
Akan tetapi sifat bagi perbuatan Allah yang maknanya semua ciptaan Allah itu berdasarkan ilmuNya, maka Allah tahu apa yang Dia ciptakan walaupun tidak ada maslahat bagi makhluqnya.
Karena Allah tidak terikat dengan apapun.akan tetapi kedua mazhab ini sepakat dalam satu titik besar yaitu bahwa hukum semua dari Allah dan Allah itu bebas untuk menciptakan apapun atau tidak menciptakan.
Karena tetap keduanya masuk dalam koridor ahli sunnah karena sepakat di dalam satu akar yang besar.
Berbeda dengan para Muktazilah yang mengatakan bahwa Allah jika tahu dalam sebuah perkara ada maslahat bagi makhluqNya.
Maka Allah mesti menciptkannya tidak boleh Allah tidak menciptakannya. Karena itu akan menjadikan Allah itu dzolim.
Karena Allah tidak menciptakan sesuatu yang baik untuk makhluqnya padahal Allah mampu untuk itu (naudzu billah).
Inilah di antara lawazim dari tahsin wa taqbiih aqliyan. Karena inilah Muktazilah sudah bukan ahli sunnah lagi karena mereka meyakini ada yang menghukumi selain Allah dan Allah tidak bebas ketika berbuat. Wallahu a’lam. []
Related