Makna Filosofis Masjid bertiang satu

 Makna Filosofis Masjid bertiang satu

Masjid Saka Tunggal Baitussalam atau yang lebih dikenal dengan Masjid Saka Tunggal ini terletak ditengah suasana pedesaaan yang tenang di antara perbukitan lembah yang terletak di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas, terletak 30 kilometer arah barat Kota Purwokerto. Banyaknya pepohonan dan monyet ekor panjang penunggu masjid ini menjadi nilai tambah dari masjid yang dibangun sekitar zaman kerajaan Majapahit.

Masjid ini merupakan masjid tertua yang ada di Banyumas. Dibangun oleh seorang tokoh agama yang saat itu dikenal dengan Kyai Mustolih. Menurut penanggalan yang ada di saka tunggal masjid, atau tiang penyangga, tertulis tahun 1288 yang menurut para peneliti sejarah adalah tahun Hijriah, sehingga jika dikonversi ke tahun masehi, maka bertepatan dengan tahun 1522 M.

Kyai Mustolih diyakini membangun masjid Saka Tunggal ketika usaianya sudah sepuh. Masjid ini dinamakan Saka Tunggal karena keberadaan tiang penyangga utama masjid yang hanya ada satu yang menjadikan arsitektur masjid ini menarik. Tak hanya jumlah tiang utamanya yang menarik, arsitektur bangunan yang terbuat dari anyaman bambu dengan ukiran wajik ini membawa kesan damai saat kita memasuki masjid berukuran 15×17 m.

Keberadaan saka tunggal yang menjadi ciri khas masjid ini memiliki filosofisnya sendiri. Dengan diameter 40×40 cm dan tinggi 5 meter, tiang masjid berwarna hijau dengan ukiran bunga ini mampu menyangga masjid dan tetap kokoh hingga saat ini. “filosofi dari Saka Tunggal adalah bersatunya atau manunggalnya manusia dengan sang pencipta. Manusia menghormati sang Pencipta dan Sang Pencipta menciptakan manusia untuk melakukan hal-hal baik”. Ucap ketua juru kunci masjid Saka Tunggal, pak Subagyo.

Pada bagian ujung atas saka tunggal, terdapat empat sayap kayu yang disebut 4 kiblat 5 pancer, yaitu menunjuk 4 arah mata angin dan 1 pusat arah menunjuk ke atas. bagian atas ini mengartikan bahwa setiap hidup seeorang harus memiliki kiblat atau pedoman, yaitu Allah.

Lebih lanjut, juru kunci tersebut kemudian menjelaskan 4 arah itu juga melambangkan manusia yang terdiri dari unsur air, udara, api, dan tanah beserta unsur nafsu-nafsu yang menyertainya.

Bagian dalam masjid Saka Tunggal dengan arsitektur anyaman bambu

Tradisi Unik Masjid Saka Tunggal

Hingga kini, masih banyak tradisi yang terus dijaga dan dilestarikan oleh Islam Aboge, yaitu komunitas Islam yang ada disekitar Masjid Saka Tunggal yang menggunakan penanggalan Alif Rabo Wage (Aboge) yang memadukan kalender Masehi dan Hijriah yang melandaskan penanggalan pada matahari (syamsiyah) dan rembulan (qomariyah).

Lantunan Zikir seperti Kidung

Keunikan masjid Saka Tunggal semakin terasa jika memasuki hari Jum’at. Selama menunggu waktu sholat jum’at dan sesudah sholat jum’at, jamaah masjid Saka Tunggal berdzikir dan bersholawat dengan nada seperti melantunkan kidung jawa. Dengan bahasa campuran Arab dan Jawa, tradisi ini disebut ura ura.

Pakaian Imam dan Muadzin

Setiap Imam yang menjadi imam di masjid ini tidak menggunakan penutup kepala yang lazimnya menggunakan kopiah atau peci. Tapi di masjid ini, mereka menggunakan udeng/pengikat kepala dan khutbah jum’at pun dilantunkan seperti kidung.

Empat Muazin  

Muadzin di masjid ini berjumlah empat dan kesemuanya berpakaian sama, yakni berpakaian baju putih dengan udeng atau ikat kepala bermotif batik. Tak hanya berpakaian sama, keempat muadzin ini juga mengumandangkan adzan pada saat yang bersamaan.

Semuanya dilakukan berjamaah  

Tradisi lain yang tak kalah unik adalah semua kegiatan sholat di masjid ini pada waktu ‘Jum’atan’ dilakukan secara berjamaah, mulai dari sholat tahiyatul masjid, sholat qobliyah, ba’diyah jum’at, sholat dhuhur, hingga ba’diyah dhuhur.

Tanpa pengeras suara

Masjid Saka Tunggal hingga saat ini masih meneruskan tradisi tanpa mengenakan pengeras suara. Meski demikian, suara adzan yang dikumandangkan oleh empat muadzin masih terdengar keras dan lantang dan begitu merdu.

Ritual Ganti Jaro,

Adalah ritual mengganti pagar bambu sekeliling masjid Saka Tunggal. Ritual ini diikuti oleh seluruh warga desa Cikakak dan dikenal dengan ritual ganti jaro Rajapine. Saat membuat pagar, ada beberapa pantangan yang tak boleh dilanggar. Mereka dilarang berbicara dengan suara keras dan tidak boleh menggunakan alas kaki. Sehingga hanya suara bambu yang terdengar.

Selain bermakna untuk gotong royong, tradisi ganti jaro ini bagi warga di sini dipercaya dapat menghilangkan sifat jahat dari diri manusia. Pagar bambu ini selain mengelilingi masjid, juga mengelilingi makam Kyai Toleh.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *