Makna Dibalik Wafatnya Para Ulama

 Makna Dibalik Wafatnya Para Ulama

Ulama (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Ulama merupakan seseorang yang dikenal alim dan ahli dalam pengetahuan agama Islam. Mereka (para ulama) juga dikenal sebagai pembina atau pembimbing umat Islam dalam sisi keagamaan bahkan dalam sisi sosial kemasyarakatan.

Kehadiran seorang ulama dirasa tepat sebagai rujukan bagi umat Islam untuk mempelajari atau bertanya seputar persoalan kehidupan, terutama yang menyangkut persoalan agama.

Keberadaan seorang ulama sering kali disebut sebagai pewaris Nabi. Maka, sebagai pemangku tugas Nabi tentu para ulama akan melanjutkan dakwah sebagaimana yang telah diajarkan.

Mereka (para ulama) akan membina dan membimbing umat untuk keluar dari jalan kesesatan menuju jalan kebenaran, serta menyelamatkan umat dari jurang kebodohan.

Seperti yang telah dituliskan dalam al-Qur’an, di mana Allah SWT. berfirman bahwa, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami”. (QS. as-Sajdah [32]: 24). Kemudian dalam sebuah hadits juga diriwayatkan bahwa Nabi telah bersabda, “Senantiasa akan ada sekelompok dari umatku yang selalu menang memperjuangkan kebenaran sampai hari kiamat.”

Ulama Sebagai Sumber Ilmu

Mereka (para ulama) ibarat penunjuk jalan, sebagai nahkoda dalam kapal keselamatan yang membawa umat kepada Allah SWT. sebagai tempat berlabuh. Melalui ilmu, para ulama berupaya menumbuhkan kecintaan umat kepada Allah.

Ulama menyerukan kebaikan dan menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Bahkan ketika menetapkan sebuah perkara, juga dengan tidak sembarangan.

Namun, apa yang terjadi ketika seorang ulama sebagai pewaris Nabi itu wafat?  Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dijelaskan bahwa:

عن عبد الله بن عمرو بن عاص رضي اللَّه عنه قال، قال رسول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  :

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ.

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radiyallahu anhuma, beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT. telah mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah SWT mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak lagi tersisa seorang ulama pun, maka manusia beralih kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” . (HR. Bukhari)

Meninggalnya Ulama Adalah Musibah

Wafatnya ulama adalah dicabutnya sebuah ilmu. Sebuah ilmu itu ibarat cahaya yang mampu memberikan manfaat penerangan bagi setiap insan. Ilmu adalah aset untuk meraih kebahagiaan dunia akhirat.

Seorang ulama adalah sandaran umat, harapan umat sebagai tempat meminta nasehat dan petunjuk. Wafatnya para ulama adalah musibah. Ketika para ulama sudah tidak ada, siapa yang kemudian akan menjadi panutan umat?

Sebagaimana ungkapan dari sebagian ulama salaf bahwa sebaik-baik pemberian adalah akal dan seburuk-buruk musibah adalah kebodohan. Apabila tiada lagi tersisa seorang ulama, maka umat akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai panutan.

Dimana mereka memberikan fatwa dengan tanpa ilmu dan pemahaman yang benar. Seolah kapal yang memberikan keselamatan, tapi kapal itu malah justru berlubang dan kemudian akhirnya tenggelam.

Kiamat Makin Dekat

Selain itu, wafatnya ulama juga sebagai tanda-tanda akan semakin dekatnya hari kiamat. Mengapa demikian? Ketika ilmu sudah diangkat dari muka bumi dan kemudian timbul kebodohan dan akhirnya kebatilan merajalela, maka itulah awal dari kehancuran. Seperti dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Nabi saw. bersabda:

ﻣﻦ ﺃﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳُﺮْﻓَﻊَ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻭﻳَﺜْﺒُﺖَ ﺍﻟﺠﻬﻞُ

Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan teguhnya kebodohan”. (HR. Bukhari)

مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ

Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan dan sebuah kebocoran yang tidak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagiku daripada meninggalnya satu ulama”. (HR. Al-Thabrani dan al-Baihaqi)

Dengan wafatnya para ulama, tentu semua umat mengalami kesedihan yang amat mendalam. Dalam sebuah hadist, Nabi saw. menegaskan, “Siapa yang tidak merasa sedih dikala kematian seorang ulama, maka ia adalah orang munafik”. Selanjutnya, dalam hadits lain juga dituliskan bahwa “Kematian seorang ulama itu lebih disenangi Iblis, daripada kematian tujuh puluh orang ahli ibadah”.

Dengan demikian, kematian seorang ulama banyak memberikan pembelajaran. Menyadarkan kita bahwa setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian. Dan hendaknya dari setiap peristiwa kematian dijadikan sebagai alarm pengingat diri bahwa hanya akhiratlah tempat kembali.

Nurul Maulida

Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *