Makam Ulama Indonesia di Ma’la

Makam Ulama Indonesia di Ma’la
HIDAYATUNA.COM – Sebelum bernama Ma’la, makam ini di masa silam memiliki nama yang berbeda, seperti yang disampaikan oleh Syekh Al-Qasthalani:
اﻟﻤﻌﻼﺓ- ﻣﻘﺒﺮﺓ ﻣﻜﺔ- ﻭﻫﻰ اﻟﺘﻰ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ: اﻟﺤﺠﻮﻥ- ﺑﻔﺘﺢ اﻟﺤﺎء اﻟﻤﻬﻤﻠﺔ ﻭﺿﻢ اﻟﺠﻴﻢ
Ma’lah -pemakaman di Makkah- disebut dengan Hajun (Al Mawahib, 476)
Di antara sosok yang dimakamkan di Ma’la ini adalah Sayidah Khadijah, Ummil Mukminin istri Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:
ﻭﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ، ﻗﺎﻟﺖ: ﺗﻮﻓﻴﺖ ﺧﺪﻳﺠﺔ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﺗﻔﺮﺽ اﻟﺼﻼﺓ، ﻭﻗﻴﻞ: ﻛﺎﻥ ﻣﻮﺗﻬﺎ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﺩﻓﻨﺖ ﺑاﻟﺤﺠﻮﻥ، ﻭﻗﻴﻞ: ﺇﻧﻬﺎ ﻋﺎﺷﺖ ﺧﻤﺴﺎ ﻭﺳﺘﻴﻦ ﺳﻨﺔ.
“Aisyah berkata bahwa Khadijah wafat sebelum salat diwajibkan, wafat di bulan Ramadan dan dimakamkan di Hajun dalam usia 65 tahun (Al-Hafidz Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 6/266)
Ada banyak nama Sahabat dan ulama Salaf dimakamkan di Ma’la ini (sebagian nama Sahabat Nabi akan saya ulas di lain waktu, insyaallah)”
Seperti biasa yang kami cari adalah makam para ulama yang memiliki kaitan ilmu secara khusus. Sebab kitab-kitab mereka yang kami pelajari, kami ajarkan dan kami lestarikan di Indonesia.
Kitab-kitab Fikih karya Syekh Nawawi al-Bantani yang banyak diajarkan di pondok-pondok NU, seperti Riyadhul Badiah, Syarah Sullam Taufiq, Tausyih Syarah Fathul Qarib hingga Tafsir An-Nawawi. Ada juga kitab menengah atas karya Syekh Yasin Al-Fadani seperti Husnu Shiyaghah tentang ilmu Balaghah dan Al-Fawaid Al-Janiyah Syarah Qawaid Fiqhiyyah.
Ada juga kitab-kitab dalil Amaliah, Mafahim Yajib An Tushahhah karya Sayid Muhammad Al Maliki, dan kitab yang menjelaskan Tahlilan dan Zikir suara keras karya Syekh Ismail Al-Yamani Al-Makki. Juga KH Maimun Zubair yang wafat 3 tahun lalu. Kesemua ulama yang saya sebutkan di atas dimakamkan di Jannatul Ma’la ini.
Mengapa sampai mencari mereka? Sebab hubungan ilmu menjadikan antara guru dan murid sebagai keluarga dalam arti yang luas.
Kata ‘dzurriyah’ tidak selalu berarti keturunan secara biologis (dzuriyah bi nasab), namun memasukkan pula para pengikut ideologis (dzuriyah bi sabab), sebagaimana disampaikan beberapa ahli Tafsir, diantaranya Syaikh al-Biqa’i, Syaikh al-Syirbini dan Syaikh Nawawi al-Bantani:
وَيُلْحَقُ بِالذُّرِّيَةِ مِنَ النَسَبِ الذُّرِّيَةُ بِالسَّبَبِ وَهُوَ الْمَحَبَّةُ ، فَإِنْ كَانَ مَعَهَا آخِذٌ لِعِلْمٍ أَوْ عَمَلٍ كَانَتْ أَجْدَرَ ، فَتَكُوْنُ ذُرِّيَةُ الْإِفَادَةِ كَذُرِّيَّةِ الْوِلَادَةِ ، وَذَلِكَ لِقَوْلِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ فِي جَوَابِ مَنْ سَأَلَ عَمَّنْ يُحِبُّ الْقَوْمَ وَلَمْ يَلْحَقْ بِهِمْ . (نظم الدرر فى تناسب الآيات والسور – 7 / 298 تفسير السراج المنير – (4 / 74 مراح لبيد لكشف معنى القرآن مجييد – (2 / 459)
Artinya:
“Keturunan karena faktor nasab disamakan pula ‘keturunan karena sebab / faktor lain’, yaitu kecintaan. Jika rasa cinta tersebut disertai dengan berguru ilmu atau amal, maka lebih tepat. Maka keturunan karena ilmu seperti keturunan secara biologis. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Saw: “Seseorang akan bersama orang yang ia cintai” (HR al-Bukhari dan Muslim), sebagai jawaban dari pertanyaan seseorang yang bertanya tentang seorang yang mencintai suatu kaum namun tak pernah berjumpa.” (Tafsir Nadzmu al-Durar 7/298, Tafsir al-Siraj al-Munir 4/74 dan Murah Labid 2/459)