Lubang Tembus Kakbah di Masjid Agung Keraton Buton
HIDAYATUNA.COM – Masjid Agung Keraton Buton merupakan masjid tertua di Sulawesi Tenggara, sebagai lambang kejayaan Islam pada masa itu. Berdirinya masjid ini pada tahun 1538 M oleh Sultan pertama Buton yang bernama Kaimuddin Khalifatul Khamis.
Hanya saja masjid itu terbakar karena dalam peperang saudara di Kesultanan Buton dalam perebutan kekuasaan. Karena terjadinya perang saudara yang berkecamuk hebatnya selama tiga bulan itu, sampai orang tidak mengenal hari.
Sesudah perang antar saudara selesai, Sultan Sakiuddin Darul Alam yang memenangi perang tersebut membangun Masjid Agung Wolio (Keraton Buton) untuk mengganti masjid yang terbakar.
Pembangunan masjid tersebut baru dimulai lagi pada tahun 1712 M dengan lokasi yang tidak begitu jauh dari tempat semula pada masa pemerintahan Sultan Zakiyuddin Darul Alam (La Ngkariyri, Sultan Buton XIX).
Sejarah Masjid Agung Keraton ini masih diwarnai dengan hal mistis atau mitos menurut masyarakat sekitar. Pada saat suasana kalut itu seorang penyebar agama Islam yang bermukim di Keraton Wolio, yang bernama Syarif Muhammad, suatu saat mendengar suara azan dari sebuah bukit kecil di keraton itu. Ia pun pergi ke bukit kecil itu.
Ternyata suara azan tadi keluar melalui sebuah liang yang ada di bukit itu. Selanjutnya, setelah suara azan, Syarif Muhammad mendengar lagi suara orang banyak sedang melakukan shalat Jumat. Dikatakannya tempat orang shalat itu adalah Mekah.
Tidak serta merta, ia mengumumkannya kepada penduduk seluruh negeri bahwa hari itu adalah hari Jumat. Ketika Syarif Muhammad menyampaikan khutbah perdamaian bagi pihak-pihak yang bertikaian.
Sejak itu kehidupan berangsur normal,perang pun usai. Setiap hari Jumat, dilaksanakannya shalat Jumat di atas bukit yang berliang itu. Karena pada waktu itu masjid keraton yang dibangun di masa pemerintahan Sultan Kaimuddin, Sultan Buton pertama, telah menjadi puing akibat perang yang baru saja lewat. Penduduk yang ada di bukit kecil itu menyebut sebagai Pusena Tanah (pusatnya tanah/bumi), sebab liang itu sangat berhubungan dengan tanah suci Mekah.
Setelah Langkariri naik takhta (gelar) sebagai Sultan Buton ke-19 dengan gelar Sakiuddin Darul Alam, Masjid Agung yang terbakar dibangun kembali. Lokasinya bukan lagi di tempat lama yang disebut Kaliwu Liwuto, melainkan di atas pusena tanah tersebut
Renovasi masjid ini sudah dilakukan sebanyak 4 kali, tahun 1929, 1978, 1986 dan 2002. Renovasi pertama dilakukan tahun 1930, di masa Sultan Hamidi (Sultan Buton ke-37). Struktur asli bangunan tetap dipertahankan dan hanya mengganti sebagian rangka kayu karena sudah lapuk dimakan usia, lantainya disemen.
Sedangkan bagian atap yang semula menggunakan atap rumbia diganti dengan seng. Perombakan bangunan kedua dan ketiga masing masing tahun 1978, dan 1986 juga untuk mengganti atap seng yang sudah usang. Renovasi terakhir dilakukan tahun 2002, itu pun juga merenovasi lantai masjid menggunakan marmer atas bantuan Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri.
Presiden ke 5 Ibu Megawati pernah berkunjung ke masjid tua itu menjelang Pemilu 1999 dan kemudian memberikan bantuan untuk merenovasi Masjid terebut ketika beliau sudah menjadi Presiden. Pada saat pelaksanaan renovasi masjid itu ditandatangani Gubernur Sultra Laode Kaimuddin dan Ketua PDI-P Sultra Laode Rifai Pedansa.
Masjid Agung Keraton Buton tidak memiliki menara. Tetapi, di sisi bangunan sebelah utara berdiri sebuah tiang bendera yang ujungnya lebih tinggi dibanding puncak masjid. Tiang bendera itu juga berfungsi sebagai tempat pelaksanaan hukuman gantung berdasarkan syariat Islam.
Tiang bendera itu didirikan setelah masjid dibangun. Kayu yang digunakan untuk tiang bendera tersebut dibawa oleh pedagang beras dari Pattani, Siam (sekarang Thailand). Perahu dagang selalu membawa kayu untuk persiapan mengganti bagian perahu yang rusak di perjalanan, Setelah dagangan mereka habis dan hendak kembali ke Pattani, sultan meminta agar kayu tersebut ditinggalkan untuk dijadikan tiang bendera. Setiap hari Jumat dipasang bendera kerajaan yang berwarna kuning, merah, putih, dan hitam di tiangnya.
Bangunan masjidnya sendiri terdapat 12 pintu masuk ke dalam masjid yang salah satu di antaranya berfungsi sebagai pintu utama. Pada bagian depan masjid terdapat serambi terbuka di sebelah timur masjid.
Bagian dalam masjidnya terdapat sebuah mihrab dan mimbar yang terletak secara berdampingan, karena keduanya terbuat dari batu bata yang di bagian atasnya terdapat hiasan dari kayu berukir corak tumbuh-tumbuhan yang mirip dengan ukiran Arab.
Terdapat 313 potongan kayu yang digunakan untuk membangun masjid, sesuai dengan jumlah tulang pada manusia, 17buah anak tangga masuk masjid sesuai dengan jumlah rakaat shalat dalam sehari. Bedug yang berukuran panjang 99 cm dianalogikan sesuai dengan asmaul husna dan diameter 50 cm dimaknai sama dengan jumlah rakaat shalat yang pertama kali diterima Rasulullah. Pasak (patok pengunci) yang digunakan untuk mengencangkan bedug tersebut terdiri dari 33 potong kayu yang dianalogikan dengan jumlah bacaan tasbih sebanyak 33 kali.
Setiap bagian depan pintu utama, diantara dua selasar terdapat sebuah guci bergaris tengah 50Cm dengan tinggi 60Cm. Guci itu terpapar ke lantai semen berlapis marmer sehingga terlihat indah dan gucinya itu telah ditempatkan disitu sejak adanya masjid ini sebagai penampungan air untuk berwudu.
Masjid Agung Keraton Buton di Bau-Bau berdiri di atas fondasi berukuran 41 x 42 meter dan fondasinya dengan konstruksi dari batu gunung itu tampak di atas sebuah bukit kecil. Bangunan masjidnya 21 x 22 meter ukuran. Sehingga dapat diperkirakan masjid ini, dapat memuat seribu orang jamaah.
Masjid yang terbilang kuno ini terdapat sebuah lampu antik yang terbuat dari perunggu bercabang tiga yang digantung tepat di tengah ruangan masjid ini. Setiap cabang lampu gantungnya tersedia tiga tempat untuk bola lampu. Rumornya lampu-lampu dengan model itu hanya terdapat di tiga tempat di Indonesia, dua lagi terdapat di dalam Istana Negara Jakarta dan Keraton Yogyakarta.
Tak jauh dari masjid, terdapat makam raja terakhir sekaligus Sultan pertama Buton, Murhum yang juga dikenal dengan Sultan Kaimuddin dan Halu Oleo (dalam bahasa Muna berarti delapan hari). Nama Halu Oleo diberikan pada saat Murhum telah mampu menyelesaikan perang saudara antara Konawe dengan Mekongga dalam waktu delapan hari.
Murhum adalah Raja Buton yang pertama menganut ajaran Islam, sejak sistem pemerintahan berubah dari Kerajaan menjadi kesultanan. Pemakaman sultan pertama Murhum terletak di belakang Baruga Keraton Buton (balai pertemuan) yang berada di hadapan Masjid Agung Keraton Buton.
Total perangkat pengurus masjid Keratorn itu berjumlah 60 orang, terdiri dari lakina agama, imam, empat khatib, 12 moji (muazin) bersama dengan dua pemukul bedug, dan 40 mukimi. Khatib dan moji melakukan tugasnya secara bergilir. Hanya di masjid ini saja yang perangkatnya banyak dan tidak dimiliki masjid lain di Nusantara.
Semua anggota masjid tersebut diangkat oleh sultan dan harus menjadi orang bangsawan keraton. Mereka juga kuat, sangat disiplin dan ada hukuman. Sebab kalau lalai sedikit saja dapat dipecat langsung oleh sultan, yang paling dtakuti dari hukman tersebut adalah hukuman tambahan berupa pemecatan dari kebangsawanan, lalu dibuang ke tempat lain. Tetapi, kini perangkat masjid itu tidak seutuh dan selengkap dulu lagi.
Sumber:
- MASJID AGUNG WOLIO, simas.kemenag.go.id
- Masjid Agung Keraton Buton ,duniamasjid.islamic-center.or.id