Loyalitas Pada Partai Komunis Tidak Menjamin Keselamatan Muslim Uighur

 Loyalitas Pada Partai Komunis Tidak Menjamin Keselamatan Muslim Uighur

Selama lebih dari tiga puluh tahun, Ainiwa Niyazi mengabdikan hidupnya untuk Partai Komunis China. Dia mengajarkan anak-anak tentang kebajikan dari Mao Zedong dan Deng Xiaoping di sebuah sekolah di luar Urumqi, ibukota wilayah otonomi Xinjiang, daerah dimana banyak warga Muslim Uighur tinggal.

Niyazi dipromosikan menjadi kepala sekolah SMP disana sebelum akhirnya menjadi wakil sekretaris partai di bidang pendidikan di kota asalnya, Turpan.

Dia adalah anggota komunitas yang populer dan dihormati, bukan karena jabatan di partainya, tetapi karena sifatnya yang ramah.

Kemudian pada awal bulan April 2018, tiba-tiba pihak berwenang datang mendatangi rumah Niyazi. Mereka mengatakan kepadanya untuk mengikuti mereka ke kantor polisi tanpa memberi penjelasan sedikitpun.

Setelah peristiwa itu, Niyazi menghilang. Dia bahkan tidak bisa mengucapkan selamat tinggal kepada istrinya, Isarhan Ehmet, yang pulang ke rumah pada hari itu dan bertanya-tanya mengapa suaminya tiba-tiba menghilang.

Niyazi adalah satu di antara ratusan ribu warga Uighur yang diduga terseret dalam penahanan massal pemerintah terhadap warga Muslim berbahasa Turki di wilayah China paling barat tersebut.

Bahkan status ‘elitnya’ sebagai pejabat komunis setempat tidak memberikan perlindungan sedikitpun.

Warga Uighur lainnya yang sempat berbicara dengan Al Jazeera juga mengatakan bahwa kerabat mereka, yang juga telah setia pada Partai Komunis selama bertahun-tahun, mengalami nasib yang sama persis seperti Niyazi. Sekarang mereka meminta kepada komunitas internasional untuk memberi tekanan lebih besar lagi pada Beijing untuk membebaskan anggota keluarga mereka.

Menurut PBB, setidaknya ada satu juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya yang telah ditahan. Jumlah itu mewakili sekitar 12,5 persen dari perkiraan delapan juta warga Uighur di China.

China sendiri telah membantah bahwa warga Uighur ditahan secara paksa. Mereka menggambarkan fasilitas (tempat warga Uighur ditahan) itu sebagai ‘pusat pelatihan’ yang bertujuan untuk melawan ‘ancaman teroris’ dan ‘ekstremisme’ di Xinjiang.

Einar Tangen, seorang analis politik, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Beijing menganggap pelatihan itu juga sebagai langkah yang diperlukan untuk mengatasi masalah kemiskinan.

“Ini bukan sesuatu yang mereka lakukan karena mereka berusaha bersikap kejam terhadap warga Uighur. Mereka benar-benar berpikir bahwa yang mereka lakukan ini membantu,” katanya.

“Mereka [Beijing] tidak menginginkan orang-orang yang tidak memiliki masa depan. Ini bukan hanya tentang terorisme. Mereka benar-benar anti-kemiskinan.”

Apapun motivasi dari pemerintah, Aiziheer Ainiwaer diam (bungkam) selama berbulan-bulan setelah dia mendengar ayahnya hilang. Ketika dia mengasingkan diri ke Belgia, dia merasa khawatir tentang apa yang mungkin terjadi pada ayahnya dan anggota keluarga lainnya yang masih tinggal di China.

“Sangat sulit bagi saya untuk tidak melakukan apa-apa terhadap situasi yang ayah saya alami,” kata Ainiwaer kepada Al Jazeera. Dia juga menambahkan bahwa semua hal yang ia ketahui didapat melalui sumber pihak ketiga, karena kontak langsung dengan orang tuanya telah terputus sejak awal tahun 2018 sebelum ayahnya ditahan.

Tetapi setelah merasa putus asa terhadap perkembangan situasi ayahnya, Ainiwaer akhirnya memutuskan untuk mempublikasikan penahanan ayahnya secara online dan melalui media sosial. Dia secara langsung menantang akun para pejabat tentang apa yang tengah terjadi di Xinjiang.

Lalu pada akhir minggu lalu, dia menerima berita yang tidak terduga. Ayahnya telah dibebaskan setelah 18 bulan dari apa yang Ainiwaer gambarkan sebagai ‘ pemenjaraan secara sewenang-wenang’.

“Dia tampak baik-baik saja, meskipun dia terlihat 10 tahun lebih tua daripada saat sebelum dia ditangkap,” kata Ainiwaer setelah berbicara dengan ayahnya melalui video call. Ainiwaer menambahkan bahwa ibunya sangat menyambut pembebasan ayahnya, meskipun sang ibu juga sedang mempunyai masalah kesehatan akibat ‘stres dan kesedihan’ terhadap apa yang mereka alami.

Ainiwaer percaya bahwa dengan lantang berbicara itulah yang membantu ayahnya, dan ia pun mendesak warga Uighur lainnya untuk melakukan hal yang sama untuk lebih menekan pemerintahan Presiden Xi Jinping.

“Saya mendorong kepada setiap warga Uighur lainnya untuk membela orang yang mereka cintai. Tetap kuat dan terus berjuang sampai akhir. Jangan menyerah,” katanya.

Pada bulan Juli, Shohrat Zakir, gubernur Xinjiang, mengatakan bahwa ‘lebih dari 90 persen’ dari mereka yang berada di ‘pusat pelatihan’ telah dibebaskan.

Pengumuman itu mendorong warga Uighur yang berada di luar China untuk membuat kampanye di jejaring media sosial dengan tagar #provethe90% agar pemerintah China membuktikan klaim tersebut.

Pejabat Cina lainnya juga mengatakan bahwa warga Uighur yang menjalani “pelatihan” diizinkan untuk ‘meminta waktu istirahat’ dan ‘sesekali pulang ke rumah mereka masing-masing’.

Adiljan Abdurihim, sekretaris Komite Uighur Norwegia, merasa ragu tentang klaim dari pemerintah China itu.

“Kami pernah mendengar sejarah yang sama, tetapi kami ragu bahwa itu sepenuhnya benar,” katanya kepada Al Jazeera.

“Bisa jadi ini adalah taktik baru untuk membungkam proses kesaksian yang sedang berlangsung, yang sedang kami coba dorong dari orang-orang yang terkait untuk ungkapkan,” lanjutnya.

Di antara beberapa komunitas Uighur yang ada di Norwegia, Abdurihim mengatakan kalau mereka telah mengumpulkan pernyataan dari 80 keluarga yang kerabatnya telah ditahan oleh pemerintah China.

Abdurihim juga mengatakan bahwa banyak akademisi Uighur di Xinjiang, yang juga termasuk dalam anggota Partai Komunis, telah ditarget secara khusus oleh pihak berwenang karena latar belakang ‘intelektual’ mereka.

Menurut laporan berita dan artikel lain tentang Uighur, pemerintah China bahkan telah menciptakan istilah khusus ‘bermuka dua’, untuk menggambarkan mereka yang dianggap tidak sepenuhnya loyal kepada negara.

Di antara mereka adalah Hemdulla Abdurahman, yang ditahan pada bulan Januari 2019 di Urumqi.

Menurut putranya, Yashar Hemdulla, yang sekarang sedang mengasingkan diri di Norwegia, Abdurahman telah bergabung dengan Partai Komunis lebih dari 30 tahun yang lalu.

Yashar mengatakan bahwa dia mengetahui tentang penahanan orang tuanya itu dari orang lain karena dia telah kehilangan kontak dengan mereka sejak setahun yang lalu.

Ibunya, Rayhan Hamut, juga tidak mau mengabari dia tentang apa yang terjadi karena takut akan hukuman dari pemerintah.

Yashar mengatakan bahwa ayahnya bekerja sebagai ahli bahasa di salah satu komite pemerintahan, membantu melestarikan bahasa Chagatai dan Gokturk yang berbasis di Turki.

Abdurahman rupanya juga menyampaikan informasi bahwa saudara lelakinya, Abdulla dan keluarganya, telah ditangkap karena membaca Al-Quran dan sholat.

Pada awal tahun 2018, ada laporan bahwa China telah melarang anak-anak Muslim mengambil kelas untuk mempelajari Al-Quran dan menghadiri acara-acara keagamaan.

Masjid-masjid juga dilaporkan dilarang mengumandangkan adzan, sementara puasa juga dilarang selama bulan Ramadhan.

Pada bulan Juli, 20 negara di Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah menandatangani surat yang isinya mengecam perlakuan terhadap warga Uighur, mendesak China untuk ‘tidak melakukan penahanan secara sewenang-wenang’ dan tentang pembatasan kebebasan bergerak dan beragama.

Sebagai tanggapan, Beijing telah mengundang kepala bagian HAM dari PBB, Michelle Bachelet, datang mengunjungi Xinjiang untuk melihat bagaimana ‘pusat-pusat pelatihan’ membantu usaha negara untuk membasmi ‘ekstremisme’.

Bachelet baru-baru ini mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia masih ‘merencanakan detailnya’ dan belum menentukan tanggal untuk kunjungan itu.

Tangen, seorang pakar dari China, mengatakan bahwa Beijing ingin melaksanakan dan menyelesaikan program pelatihan itu ‘secepat mungkin, saat dimana kondisi ekonomi sedang tidak menentu’.

“Penahanan ini tidak dimaksudkan untuk menyiksa warga Uighur, karena justru dengan menyiksa akan menjadi cara yang paling manjur untuk menjadikan mereka menjadi radikal. Jika warga Uighur berpikir bahwa mereka telah ditarget secara tidak adil, budaya mereka sedang dimusnahkan, dan bahwa mereka dipaksa masuk ke dalam satu jenis sistem budaya, pasti akan ada perlawanan. “

Namun dia juga mengatakan bahwa ‘hanya sejarah yang bisa menjawab’ apakah kebijakan terhadap warga Uighur akan ‘bermanfaat atau tidak’.

Adapun Yashar, Muslim Uighur yang telah mengasingkan diri ke Norwegia, keputusannya untuk meninggalkan tanah air dan orang tuanya 10 tahun yang lalu adalah keputusan yang sangat sulit.

Dia mengatakan bahwa sebagai anak tunggal, dia menanggung lebih banyak rasa sakit dengan menghilangnya sang ayah, tetapi dia tidak akan menyerah dan tetap berharap agar ayahnya, Abdurahman, dibebaskan.

“Insya Allah,” katanya.

Sumber : Aljazeera.com

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *