Lebaran dan Keajaiban Bersedekah Kepada Orangtua
Oleh: Aziz Ahmad*
HIDAYATUNA.COM – Seperti sebuah ungkapan lama, kasih orangtua kepada anaknya bagaikan sinar matahari yang tak pernah lelah menyinari bumi. Kasih sayang orangtua ibarat mata air yang terus mengalir sejak kita dilahirkan sampai akhir hayat mereka, orangtua kita. Dalam puisinya, D. Zawawi Imron menggambarkan kasih sayang orangtua, terutama ibu, bagaikan mata air yang tetap lancar mengalir di tengah musim kemarau. Meski sumur-sumur kering dan dedaunan gugur bersama reranting mata air cinta ibu tetap mengucur deras mengasihi anak-anaknya.
Sebaliknya, kasih sayang anak kepada orangtua merupakan perkara yang perlu diupayakan, dilatih, dan dibiasakan. Betapa banyak kisah-kisah yang bertebaran di sekitar kita bagaimana seorang anak lupa kepada orangtuanya. Menitipkannya di panti jompo dan menunggu maut di sana. Setelah kesuksesan diraih, jangankan pulang sekadar menjenguk orangtua, menghubungi melalui telepon pun tidak dilakukan. Baim Wong dalam salah satu video berbaginya di Youtube, suatu hari bertemu dengan orangtua yang sedang membuka lapak di pinggir trotoar menjajakkan buku-buku bekas. Setelah ditanya, sang bapak yang berpakaian lusuh itu mengatakan kalau anak-anaknya telah meraih kesuksesan dan melupakan dirinya. Menurutnya, anak-anak itu sedang tersesat dari jalan Tuhan. Mereka, katanya, akan kembali suatu hari nanti. Jika pun tidak, itu artinya mereka belum menemukan jalan Tuhannya.
Kekuatan Memberi
Setiap agama menganjurkan kepada pemeluknya untuk berbuat kebajikan. Dalam hal memberi, di dalam Islam terdapat istilah zakat, infak, sedekah dan wakaf. Di dalam agama Budhha kita mengenal istilah dharma dan zedeka dalam bahasa ibrani. Di satu sisi, beberapa istilah tersebut mengacu kepada tindakan menyisihkan sebagian harta kita di jalan Tuhan; dan di sisi lain,berkaitan dengan pengorbanan. Di dalam Islam, kita diajarkan bahwa harta yang kita miliki semata adalah titipan Tuhan di mana terdapat hak orang lain di dalamnya. Oleh karena itu, Tuhan ‘mewajibkan’ untuk menyisihkan sebagian harta kita yang disebut dengan istilah zakat dan perintah yang bersifat sukarela yang disebut dengan sejumlah istilah yaitu infak, sedekah, dan wakaf.
Saya meyakini bahwa tindakan memberi, apapun bentuknya, memiliki kekuatan ganda. Kekuatan itu berjalan dua arah: kepada orang lain dan kepada diri kita sendiri. Selain meringankan beban hidup orang lain, tindakan kedermawanan itu juga menumbuhkan rasa kasih antara dua belah pihak: pemberi dan penerima. Jonathan Benthall, seorang Antropolog dari Inggris, menyatakan bahwa tindakan kedermawanan khususnya zakat memiliki fungsi moral untuk membersihkan harta dan hati serta fungsi sosial untuk memenuhi hak-hak kaum duafa. Dia menyebutnya dengan istilah financial worship, yakni ibadah dalam bentuk harta benda. Habib Quraish Shihab dalam salah satu video bersama putrinya Najwa Shihab juga menyatakan bahwa zakat bisa menjadi jembatan untuk mengentas kemiskinan dengan mentasharufkannya melalui program-program pemberdayaan umat.
Ramadhan tahun ini yang berbarengan dengan pandemic Covid-19 menjadi momentum yang tepat bagi kita untuk mengasah kedermawanan. Di rumah kontrakan, meskipun belum lunas membayar, rasa kedermawanan itu saya latih dengan memberikan makanan atau sayur mayur kepada pemilik rumah. Secara berkala saya juga memberikan aneka sayur dan lauk pauk kepada beberapa rumah tangga yang membutuhkan di sekitartempat tinggal. Ya, sekali lagi, semua itu saya lakukan untuk mengasah sikap kedermawanan atau dalam bahasa anak kampussebagai medium mengasah “jiwa sosial dan empati” saya. Entah kenapa, setelah berjalan beberapa lama, tiba-tiba terbersit dalam benak saya, “bagaimana ya keadaan orangtua di rumah?” “Mereka buka puasa dengan apa hari ini?” “Jika di sini saya bisa berbagi kepada orang lain kenapa saya tidak melakukannyakepada kedua orangtua di rumah?” “Jangan-jangan mereka sama membutuhkannya sebagaimana orang lain yang terdampak pandemi ini?”
Sungguh, pertanyaan-pertanyaan itu menampar dengan indah jiwa saya.
Pada hari berikutnya, saya belanja kebutuhan pokok, termasuk masker untuk dikirim ke rumah. Meski penghasilanku belum seberapa, saya sedikit memaksakan diri untuk secara berkala mengirimkan bahan kebutuhan pokok untuk orangtua di dusun. Ya, seperti di awal tulisan ini, memberi kepada orangtua merupakan sesuatu yang harus dilatih dan dibiasakan. Jika sejak awal, dengan penghasilan yang masih pas-pasan kita sudah membiasakan berbuat kebajikan seperti ini, insyaallah jika suatu ketika Tuhan memberikan kelimpahan rezeki kita bakal tetap melakukannya. Bahkan lebih dari hari ini.
Keajaiban Bersedekah
Dalam salah satu video pengajiannya, Gus Baha pernah menyampaikan bahwa kita hendaknya tidak perlu banyak pertimbangan dalam hal membelanjakan harta untuk orangtua. Tidak perlu banyak perhitungan apalagi diembel-embeli dengan keluh kesah bahwa orangtua kita menghabiskan banyak uang untuk berobat, misalnya. Sebaliknya, kita harus bersyukur kalau harta yang kita miliki dihabiskan untuk keperluan mereka. Dalam konteks yang lain, Gus Mus juga pernah berkata bahwa beliau tidak pernah melakukan shalat istikharah sewaktu mendiang sang Ibu masih hidup.
Ya, dengan kata lain, orangtua adalah pusaka kita. Sudah semestinya kita mensyukuri kehadiran mereka. Apalagi jikamasih hidup, hendaknya kita mensyukurinya dengan banyak berbuat baik kepada mereka. Sungguh, betapa banyak orang yang menyesali hidupnya lantaran sudah tidak ada kesempatan lagi untuk memuliakan orangtua. Betapa banyak orang menyesal lantaran kesibukan menumpuk harta dan tidak menyempatkan diri untuk pulang ke rumah sampai keduanya tiada. Harta yang kita miliki, yang kita tumpuk setiap hari, niscaya tiada guna dan menjadi kehampaan belaka saat kau temui orangtuamu pergi untuk selamanya dan kamu sudah tidak bisa berbuat baik lagi selama hidupnya.
Dengan bersedekah kepada orangtua, keajaiban pertama yang saya dapatkan adalah pupusnya egoisme diri. Kelancaran usaha, pendidikan tinggi yang saya raih, beserta sederet hal-hal yang kita banggakan tidak lain adalah berkat dari doa-doa yang tiada henti orangtua panjatkan. Bukankah kita ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa tanpa keduanya? Kedudukan, harta, karir, dan semua yang melekat dalam diri kita niscaya tiada arti tanpa restu keduanya, bukan? Jika pun kita sedang mengusahakan semua itu, kemudahan jalan untuk meraihnya niscaya akan dipermudah jika kita terus berbuat baik kepada keduanya agar doa-doa yang menembus langit tanpa hijab itu terus mengalir dan membaluri hari-hari kita.
Saya tidak perlu testimoni bagaimana dampak doa-doa itu dalam berbagai lini kehidupan saya, sebab itu nyata adanya! Orderan dagangan yang tiba-tiba menumpuk di tengah pandemi, kemudahan dalam menulis, bertemu dengan orang-orang baik, dan kejutan-kejutan lain dalam hidup ini acapkali diperantarai oleh doa-doa orangtua kita. Dan saya mengamininya.
Selamat hari raya Idul Fitri dan memperbarui kebaktian kepada orangtua!