Latah Dalil Al-Qur’an dan Sunah
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pernahkah Anda mendengar seseorang ketika merespon amaliah saudaranya atau pernyataan saudaranya seraya mengatakan, “Mana dalilnya?”
Atau yang lebih ekstrem, ketika berbeda dengan amalan atau pernyataannya langsung divonis sebagai amalan yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah.
Dalam benaknya, amalan ibadah atau muamalah harus jelas tersurat dalam teks Al-Qur’an atau sunah. Jika tidak, maka amalan tersebut bertentangan dengan keduanya bahkan tak jarang disebut sebagai ahli bid’ah.
Kembali pada Al-Qur’an dan sunah memang sudah menjadi kewajiban. Sebagai seorang muslim, segala aktivitas dari mulai bangun tidur, jual beli, bekerja, berumah tangga, menjalin hubungan masyarakat, ibadah kepada Allah Swt dan sebagainya harus mengikuti aturan-Nya. Muslim mempunyai sumber agung yaitu Al-Qur’an dan sunah.
Tetapi dalam memahami keduanya jangan sampai salah kaprah. Alih-alih menginginkan manusia kembali pada Allah, nyatanya yang menjadi lawan bicaranya malah enggan untuk mendengarkan apa yang disampaikannya karena keburu memvonis tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah terhadap suatu perbedaan.
Jika Al-Qur’an dan sunah difahami sebagai dua sumber hukum agama Islam, itu benar. Tetapi dalam konteks amaliah atau pendapat hukum para ulama, tentunya itu semua berbicara tentang suatu kesimpulan hukum dari penggalian hukum (istinbath al-ahkam) yang bisa jadi berbeda dalilnya.
Mengenai dalil itu sendiri, tidak terbatas hanya pada Al-Qur’an dan sunah saja, namun ada dalil lain, baik itu yang disepakati atau diperselisihkan untuk digunakan dalam menyimpulkan suatu hukum apakah halal, haram, makruh, sunah atau mubah.
Argumentasi kelompok yang selalu memvonis tidak sesuai Al-Qur’an dan sunah kepada saudaranya ketika ada perbedaan amaliah atau pendapat hukum sangatlah rapuh.
Coba saja ajukan suatu pertanyaan, bagaimana hukum gelatin dari babi?
Jika mereka mengharamkan, mana dalil yang jelas tentang pengharamannya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah?
Bukankah teks pengharaman babi dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 3 itu pada dagingnya?
Sementara gelatin babi terbuat dari kolagen yang diambil dari tulang atau kulit babi.
Jumhur ulama mengharamkan apa yang diambil dari babi, baik itu lemak (lard) ataupun gelatin dengan menggunakan dalil qiyas.
Kesimpulan hukumnya, gelatin yang digunakan dalam memproduksi suatu makanan misalnya, maka makanan tersebut haram untuk dikonsumsi.
Kesimpulan hukum ini, meski tidak diambil dari nash yang secara jelas menyebut gelatin haram, bukan berarti tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah.
Karena kesimpulan itu juga merujuk pada sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an, hanya saja dalam mengambil kesimpulan hukumnya menggunakan dalil qiyas.
Contoh lainnya, Rasulullah saw pernah bersabda, “La Yushaliyanna ahadukum al-ashra illa fi Bani Quraizhah.”
Arti dari sabda tersebut adalah jangan sekali kali kamu melaksanakan salat asar kecuali di Bani Quraizhah. Ucapan itu disampaikan kepada para sahabat yang hendak melakukan perjalanan.
Ketika itu waktu asar hampir habis, sementara perjalanan ke Bani Quraizhah masih jauh, para sahabat yang berpegang pada makna tersurat hadits Nabi saw melaksanakan shalat ashar sebagaimana yang disabdakan Nabi, yaitu di Bani Quraizhah meski malam hari.
Sementara, sahabat lain memaknai hadits tersebut adalah perintah Nabi supaya perjalanan dipercepat sehingga bisa melaksanakan shalat asar di Bani Quraizhah, namun karena waktu asar hampir habis, para sahabat ini melakukan shalat asar di perjalanan.
Apa yang dilakukan oleh sebagian sahabat yang melaksanakan shalat asar di perjalanan tentunya tidak sesuai dengan makna tersurat hadits di atas, tetapi apakah berani menyebut mereka bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunah?
Tentu tidak, karena Nabi pun membenarkan keduanya, baik itu sahabat yang melakukan shalat asar di Bani Quraizhah ataupun sahabat yang memilih shalat ashar di perjalanan.
Contoh di atas hanyalah gambaran mengenai kesimpulan hukum yang berbeda dengan makna tersurat dalam nash namun bukan berarti kesimpulan hukum itu bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunah.
Dari kedua contoh di atas, tentu kita perlu merefleksikan diri bahwa untuk mengambil suatu kesimpulan hukum dari Al-Qur’an dan sunah itu memerlukan berbagai disiplin ilmu.
Disiplin ilmu itu merupakan perangkat ijtihad yang dimiliki oleh para ulama, maka ketika kita mengambil pendapat para ualama, bukan berarti kita mengambil pendapat yang tidak ada dasarnya.
Pemahaman yang salah kaprah masih terjadi dimasyarakat terkait hal ini. Padahal ketika kita mengambil pendapat dari suatu kitab fikih misalnya, bukan berarti tidak ada dasarnya atau tidak sesuai Al-Qur’an dan sunah.
Karena kitab-kitab fikih disusun oleh para ulama sesuai dengan peruntukannya. Ada kitab yang memang disusun untuk pemula, di mana didalamnya tidak disuguhkan dalil Al-Qur’an maupun sunahnya.
Ada pula kitab fikih yang disusun dengan ayat Al-Qur’an dan sunah, bahkan dengan penjelasan cara mengambil suatu kesimpulan hukumnya.
Dari sini kita bisa ambil kesimpulan. Pertama, jangan menjadi orang yang ‘latah dalil Al-Qura’n dan sunah’ sampai sampai menuding pendapat para ulama bertentangan dengan Al-Quran dan sunah.
Kedua, suatu kesimpulan hukum yang tidak sama dengan makna tersurat Al-Qur’an ataupun sunah bukan berarti tidak diambil dari kedua sumber hukum tersebut.
Ketiga, bersikap toleran terhadap perbedaan pendapat atau amaliah, apalagi dalam masalah fur’u.
Wallahu’alam. []