Larik Historis Islamisasi di Banjar
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kita tahu di banyak literatur keislaman, ajaran agama Islam dapat menyebar melalui berbagai cara. Salah satunya peperangan.
Cara yang terbilang keras namun banyak menuai hasil yang memuaskan. Meskipun cara penyebaran ajaran melalui peperangan ini hanya boleh dilakukan jika kondisi memang memaksa demikian.
Sekian daerah muslim di negeri ini dulunya juga ada yang beriwayat dari peperangan. Meskipun ajaran Islam sendiri dalam konteks terjadinya peperangan, tidak melulu menempati posisi sentral.
Seperti misalnya peperangan di wilayah Banjar, Pulau Kalimantan di masa silam. Di peperangan tersebut, ajaran Islam mengejawantah dalam bentuk simbol pasukan Kesultanan Demak dari Jawa yang menganut agama Islam.
Idwar Saleh melalui karyanya Banjarmasih (1982) meriwayatkan kisah tersebut. Saat itu, Pangeran Samudra yang jadi pewaris sah peroleh tantangan dari Pangeran Tumenggung yang keranjingan dengan pangkat dan kekayaan. Keduanya masih saudara.
Pangeran Samudra merupakan cucu Maharaja Sukarama yang peroleh wasiat untuk memimpin kerajaan melalui Patih Aria Trenggana.
Sedangkan Pangeran Tumenggung adalah anak kedua dari Maharaja Sukarama yang membunuh kakaknya, Pangeran Mangkubumi karena iri pada kakaknya yang menduduki posisi raja selepas wafat ayahnya.
Pangeran Samudra kecil akhirnya diungsikan oleh Patih Aria Trenggana. Identitasnya disamarkan. Lokasinya juga disembunyikan menjauh dari pusat pemerintahan.
Cerita yang kita rasa lazim terjadi saat kontestasi perpolitikan merangsek masuk dengan cara yang tidak santun.
Pangeran Samudra pun menjadi nelayan dengan berpindah-pindah tempat; Serapat, Belandian, Kuin, Balitung dan Banjar.
Hanya saja saat berada di daerah Kuin dan Balitung, Pangeran Samudra dikenali oleh pejabat yang ada di sana.
Pejabat tersebut tidak melapor ke Pangeran Tumenggung, tetapi malah menyatakan dukungan dan mengangkat Pangeran Samudra sebagai raja. Mereka tidak ingin daerahnya membayar upeti lagi ke pemerintahan Pangeran Tumenggung yang korup.
Mendengar gerak politik yang hendak menggulingkan pemerintahannya, Pangeran Tumenggung bergegas mengambil sikap.
Ia mengirimkan pasukannya ke sekitar Sungai Barito dan di Hujung Pulau Allak dengan senjata lengkap. Pertempuran pun meletus tanpa ada pihak yang menang atau kalah. Pecahnya pertempuran ini terjadi pada masa 1526 M.
Tapi karena kecerdikan Pangeran Samudra yang meminta bala bantuan dari Kerajaan Demak, pertempuran di hari selanjutnya akhirnya dimenangkan oleh pihak Pangeran Samudra.
Kekuasaan lantas diambil alih. Pangeran Samudra bersama pasukannya yang berjumlah sekitar 40.000 orang, akhirnya mengikrarkan diri mengucap syahadat sebagai tanda masuk ke agama Islam.
Peristiwa ini juga menandai diangkatnya Pangeran Samudra sebagai Sultan Banjar yang pertama dengan pusat pemerintahan di Banjarmasin.
Di masanya ini, agama Islam yang berkiblat pada Kerajaan Demak disebarluaskan ke masyarakat setempat.
Bahkan nilai yang dipegang juga mengacu pada ajaran Islam milik Kerajaan Demak.
Setelah Sultan Banjar pertama wafat, posisinya digantikan oleh Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah.
Sultan Rahmatullah lantas memindahkan ibukota kerajaan ke wilayah Martapura pada 1612 M. Di masa pemerintahannya, tidak terlalu ada polemik baik di dalam maupun di luar kerajaan.
Hanya saja Syaifuddin Zuhri melalui karyayanya Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (1981) mencatat, tepat sebelum Sultan Rahmatullah naik tahta, wilayah Banjar pernah menjalin jaringan dengan Sunan Giri yang ada di Gresik.
Karena saat Sunan Giri datang ke pelabuhan Banjar, tindakannya selain bersedekah membagi barang kepada kaum papa, juga berdagang antar saudagar muslim.
Kemudian ketika Sultan Tahlillah (1700 M-1745 M) naik tahta, sekian problem internal kerajaan mulai merangsek masuk.
Modusnya sama yakni ada pihak yang merasa layak memegang kendali pemerintahan. Barangkali di periode ini, kekuasaan Kerajaan Banjar sudah meluas dengan sumber daya kapital yang tebal.
Baru setelah Sultan Tamjidillah (1745-1778 M) menjadi raja, relasi dengan pihak kolonial mulai dibuka.
Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menggalang dukungan supaya posisinya sebagai raja semakin kuat, membuka kerja sama di bidang ekonomi, serta memulai babakan kolonialisasi di wilayah Kerajaan Banjar dan sekitarnya.
Babakan yang mungkin luput tidak terbayangkan akan memperumit, memperburuk dan mengakhiri kekuasaannya sendiri. Wallahula’alam. []