Laku Ilmu dan Amal KH Abdul Karim Lirboyo

 Laku Ilmu dan Amal KH Abdul Karim Lirboyo

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Pendiri Pesantren Property Indonesia Bambang Ifnurudin Hidayat mempunyai program beasiswa untuk para santri di pesantrennya. (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Di Jawa Timur kita mengenal sekian pondok pesantren yang berdiri sejak negara ini belum mencercap kemerdekaan. Beberapa diantaranya hari ini telah menjadi pusat penyebaran ilmu agama Islam: nahwu shorof, hadits, tarikh, Al-Qur’an, fikih, bahkan juga tasawuf. Masing-masing pondok pesantren memiliki kecenderungannya, kendati santri yang datang dan mengenyam pendidikan di dalamnya berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang keluarga yang berbeda-beda.

Salah satu pondok pesantren itu adalah Pondok Pesantren Lirboyo. Pesantren ini dibabad oleh kyai alim di masanya, KH. Abdul Karim dengan nama kecil Manab. Ia lahir pada 1856 M dari pasangan suami istri, Abdur-Rohim dengan Salamah di Desa Diangan, Kawedanan Mertoyudan yang letaknya jauh agak keselatan dari riuh ramainya Kota Magelang. Manab merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Manap tumbuh dan besar dari keluarga sederhana: petani dan pedagang. Latar belakang keluarganya ini yang saya rasa memacu dirinya untuk terus mengail ilmu agama Islam dengan telaten dan sabar.

Karena lokasinya di Magelang, ia kerap mengenal dan mendengar penuturan arif dari kyai-kyai setempat yang menyembunyikan diri pasca perang Pangeran Diponegoro. Dari situ, Manab kecil ingin melalangbuana menjelajahi berbagai wilayah dan mendatangi guru untuk belajar. Keinginan tersebut disambut baik oleh Aliman, kakak Manab, yang kemudian mengajaknya untuk pergi berkelana menimba ilmu pengetahuan ke arah timur.

Dalam buku Petuah Kyai Sepuh (2010) yang digurat oleh Abu An’im, diceritakan bahwa, pesantren pertama yang menjadi lokasi menimba ilmu Manab kecil terletak di Dusun Gurah, Kediri. Di situ ia belajar ilmu-ilmu dasar agama Islam. Setelah itu secara berturut-turut ke pesantren yang berada di Cepoko daerah Nganjuk selama 6 tahun, kemudian ke pesantren Trayang di Kertosono, lantas ke pesantren Sono di Sidoarjo, dan pesantren Bangkalan di Madura yang diasuh oleh Kyai Kholil.

Pencarian keilmuannya tetap berlanjut kendati telah memperoleh restu dari Kyai Kholil Bangkalan untuk menyuarakan ilmu agama Islam. Kyai Manab lantas pergi ke Pesantren Tebu Ireng di Jombang selama tiga tahun, tempat sahabatnya KH Hasyim Asy’ari yang lebih dulu mendirikan pesantren. Di situ selain peroleh ilmu, Kyai Manab juga dijodohkan oleh KH Hasyim Asy’ari dengan putri KH Sholeh dari Banjar Melati, Kediri. Kala pernikahan berlangsung, Kyai Manab menginjak usia 50 tahun dan putri KH Sholeh, Nyai Khodijah berusia 15 tahun.

Pernikahan ini pada akhirnya membuka jalan dakwah Kyai Manab di Desa Lirboyo, Kediri. Kendati mulanya peroleh penentangan dari penduduk setempat dengan diganggu dan diusik karena, desa tersebut dikenal sebagai sarang penjahat, perampok, maling, dan perusuh. Namun lamat-lamat dakwahnya yang berat akhirnya disambut hangat oleh penduduk setempat. Kyai Manab lantas membangun langgar, kemudian dibesarkan menjadi masjid yang menjadi cikal bakal munculnya Pondok Pesantren Lirboyo yang sekarang.

Kyai Manab atau KH Abdul Karim wafat pada 21 Ramadhan 1374 H karena usia yang telah lanjut. Selain itu juga ditambah dengan syaraf di kakinya yang tidak berfungsi dengan baik sehingga membuatnya lumpuh. Hanya saja riwayat dari orang-orang terdekat yang membersamai sampai wafatnya, KH Abdul Karim melulu memohon doa pada siapa saja yang membesuk: “Aku dongakno mati iman lan diakoni santrine Kyai Kholil, sebab olehku golek ilmu awit durung baligh.”

Dari kisah hidupnya KH Abdul Karim ini, saya rasa ada semacam legitimasi konkret bagi siapa saja yang hendak beranjak dari hidupnya hari ini yang mungkin dirasa kurang beruntung. Mungkin karena tidak berasal dari keluarga tokoh, pejabat, atau orang berpengaruh. Mungkin juga merasa rendah karena berangkat dari keluarga petani dengan gaji yang tidak seberapa. Melalui pencarian ilmu pengetahuan, mobilisasi manusia ke arah yang lebih baik dapat dilakukan.

Di Al-Qur’an dan hadits sendiri, ada sekian redaksi yang dapat dijadikan sebagai pegangan ihwal pengembaran manusia dalam mengarungi luasnya ilmu pengetahuan. Misalnya seperti di Surah al-Mujadillah (58:11), di situ siapa saja yang berjalan pada jalan ilmu pengetahuan akan peroleh derajat yang lebih baik.

Di samping itu, saya rasa KH Abdul Karim juga menjadi prototipe keselarasan antara pencarian ilmu dengan mengejawantahkannya dalam bentuk pengamalan di keseharian. Di Suluk Martabat Sanga (1867) yang ditulis oleh Ronggasasmita, seseorang yang memiliki laku bebarengan antara ilmu dan amal ini menjadi tanda sebagai guru yang sejati. Demikian.

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *