Laknat Malaikat Terhadap Istri yang Menolak Ajakan Suami Bersetubuh

 Laknat Malaikat Terhadap Istri yang Menolak Ajakan Suami Bersetubuh

Bolehkah Gaji Suami Diberikan Kepada Istri Semua? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Dalam kehidupan berumah tangga, suami semestinya bisa memosisikan istrinya sebagai mitra (partner) yang seimbang dan sejajar. Bukan hanya sebagai pelengkap hidup dan pemuas seks semata.

Seorang suami punya tanggung jawab membantu pekerjaan istri, dan sebaliknya, istri harus turut serta membantu memikul beban tanggungjawab untuk meringankan suaminya. Suami jangan seenaknya sendiri memperlakukan istri tak manusiawi baik dalam pekerjaan rumah, apalagi urusan ranjang.

Ia tidak boleh menuntut hak “pelayanan istimewa” tanpa memedulikan kondisi fisik dan atau psikis sang istri, dengan dalih hadis Nabi. Seperti yang terdapat dalam Sahīh Bukhari, Bab Zikr al-Malāikat, No. 2998.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ ,قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Musaddad telah menceritakan kepada kami, Menceritakan kepada kami Abu ’Awanah dari al-A’masy dari Abu Hazm dari Abu Hurairah, ia berkata. Rasulullah saw. Bersabda, ”Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur kemudian si istri enggan memenuhi ajakannya, maka sepanjang malam itu para Malaikat akan melaknat istri itu hingga subuh.”

Analisis Historis (Asbāb al-wurūd)

Menurut Sa’id Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, hadis di atas tidak ditemukan asbab al-wurūd-nya secara khusus (asbab al-nuzul mikro). Tetapi menurut mereka dimungkinkan ada kaitannya dengan budaya pantang ghilah (bersetubuh dengan istri yang sedang hamil atau menyusui) yang dilakukan oleh bangsa Arab Jahiliyyah.

Bagi orang Arab dulu, ghilah adalah sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Nabi pernah bermaksud untuk melarang tradisi ini, namun akhirnya beliau urungkan.

Terutama saat beliau mengetahui bahwa ghilah yang dilakukan oleh bangsa Romawi dan Persia tidak berdampak buruk pada anak-anak mereka. (HR. Imam Muslim)

Pantang ghilah bagi masyarakat Arab saat itu tidak menjadi masalah karena bagi mereka ada kebolehan untuk berpoligami tanpa adanya pembatasan jumlah maksimal istri yang boleh dinikahi. Tradisi poligami tanpa batas ini diubah aturan dan keberlakukannya oleh Islam.

Masalahnya, jika budaya pantang ghilah tetap dipertahankan, sementara poligami hanya boleh maksimal empat istri, maka ghilah dirasa cukup memberatkan mereka. Walhasil, hadis di atas disampaikan oleh Nabi Muhammad sebagai solusi atas kesulitan yang dirasakan para kaum laki-laki Arab Muslim, dan untuk menghilangkan budaya tersebut.

Lalu bagaimana pandangan ulama’ tentang hadis di atas?. Mari kita simak penjelasannya!

Kelompok Islam Tekstualis-Skripturalis

Hadis di atas oleh kelompok tekstualis-skripturalis ditanggapi secara sinis. Menurut mereka, pelayanan seksual istri terhadap suami menjadi keharusan yang tak dapat ditawar-tawar lagi.

Di mana pun, kapan pun dan sesibuk apa pun, sang istri tidak boleh menolak ajakan suami. Pandangan kelompok tekstualis ini didasarkan pada hadis yang berbunyi:

Bila seorang suami mengajak istrinya (untuk bersetubuh), maka penuhilah dengan segera sekali pun sang istri sedang sibuk di dapur.”

Dengan berdalih hadis ini, mereka berpandangan bahwa melayani kebutuhan seksual suami adalah kewajiban istri, dan mendapatkan kepuasaan seksual adalah hak suami. Istri hanya boleh menolak ajakan suaminya jika ia dalam keadaan haid dan nifas.

Meski demikian, istri tidak boleh menjauhi suaminya, karena suami juga punya hak untuk mencumbu istrinya, meskipun dalam kondisi haid atau nifas.

Kelompok Islam Moderat (Ahli Hadis)

Hadis tentang Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual Suami Istri memiliki matan yang sangat variatif. Hal ini pun cukup menyulitkan sebagian umat Islam untuk mengetahui substansi makna yang dimaksud oleh Nabi Muhammad Saw.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemaknaan yang utuh tentang hadis ini para ulama mencoba memberikan penjelasan dan pen-syarahan sebagai berikut:

Imam Nawawi misalnya, memberikan makna bahwa hadis ini merupakan dalil atau hujjah tentang keharaman seorang istri yang menolak ajakan suami. Apabila sang istri tidak mempunyai uzur syar’i dan alasan yang masuk akal.

Bahkan menurut beliau, haid bukan merupakan alasan yang krusial bagi seorang istri untuk menolak ajakan suami. Sebab suami masih punya hak untuk bersenang-senang selain dengan bersetubuh (seperti bercumbu dan lain-lain).

Sedangkan menurut Ibn Hajar laknat atas istri terjadi apabila penolakannya menyebabkan kemarahan pada suami. Sebaliknya, jika suami mau memahami kondisi istri, baik karena adanya uzur maupun karena suami tidak memaksakan haknya, maka laknat tidak akan terjadi.

Jadi, suami tidak boleh memaksa istri ketika dalam kondisi sakit, haid, nifas atau hal-hal lain yang menghalangi keinginannya untuk melakukan hubungan seksual. Sebab jika demikian, akan bertentangan dengan etika hubungan suami-istri.

Berbeda, jika suami sudah mengajaknya dengan baik-baik, sopan, penuh pengertian, tidak memaksa dan istri tidak sedang uzur baik karena haid, nifas atau alasan lainnya. Tetapi sang istri menolaknya, maka istri berdosa.

Kelompok Feminis dan Tokoh Gerakan Perempuan

Tokoh-tokoh gerakan perempuan atau kelompok feminis menganjurkan untuk memaknai ulang hadis tentang intervensi Malaikat di atas. Hadis tersebut tidak boleh dipahami bahwa istri yang menolak ajakan suaminya untuk berhubungan seksual akan dilaknat Malaikat.

Pada hakikatnya sang suami telah melanggar prinsip ­mu’asyarah bi al-ma’ruf, apabila memaksa istri untuk melayani keinginannya. Sedangkan istri dalam keadaan lelah, capek, bad mood atau lainnya.

Musthafa Muhammad ‘Imarah dan al-Syirazi, sebagaimana dikutip Alimatul Qibtiyah berpendapat. Ia mengatakan bahwa laknat malaikat hanya terjadi jika penolakan istri terhadap ajakan suami dilakukan dengan tanpa alasan yang jelas.

Sementara bagi al-Syīrazi, istri yang sedang bad mood, dipersilakan untuk menawar atau menangguhkannya sampai batas tiga hari.

Jika istri sedang sakit, maka tidak wajib baginya untuk melayani suami, sampai sakitnya benar-benar sembuh. Jika suami tetap saja memaksa kehendaknya, berarti suami telah berbuat aniaya.

Kesimpulannya, laknat malaikat terhadap istri yang menolak ajakan seks suami benar-benar terjadi jika sang istri menolaknya. Sementara ia tidak dalam keadaan uzur, apalagi suami telah mengajaknya tanpa ada paksaan sama sekali.

Akan tetapi, jika sang istri memiliki alasan jelas semisal karena sedang haid, nifas, lelah, bad mood atau alasan lain yang rasional. Maka istri diperkenankan untuk melakukan negosiasi dengan sang suami. Dalam kondisi demikian, laknat malaikat tidak akan terjadi.

 

 

Referensi:

Al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ’ala al-Muslim. Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2007.

Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Bukhari. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

Sa’id Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbab al-Wurūd. Yogyakrta: Pustaka Pelajar, 2001.

Hamim Ilyas, dkk., Perempuan Tertindas; Kajian Hadis-Hadis Misioginis (Yogyakarta: Elsaq Press, 2003)

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *