La Galigo Karya Purba Saksi Kehebatan Leluhur Bugis
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Nurhayati Rahman dalam pengantarnya di buku La Galigo. Menurut Naskah NBG 188 menjelaskan La Galigo adalah karya purba yang merupakan saksi zaman. Tentang kehidupan sosio-kultural orang Bugis yang bersumber dari elemen-elemen kepercayaan lama orang Bugis sebelum menjadi muslim.
Ditulis dengan huruf lontara tua dan bahasa Bugis kuno (bahasa Galigo) yang sebagian kosa katanya telah mati. Bagian kata-kata yang sudah mati itu sudah tidak terpakai dalam bahasa Bugis saat ini. Itulah yang disebut oleh sebagian ahli sebagai Bahasa Galigo.
Mula-mula La Galigo dilisankan melalui tradisi lisan yang dihafalkan. Kemudian dituliskan setelah orang Bugis mengenal aksara.
Salah satu bukti bahwa ia berasal dari tradisi lisan lalu dituliskan bukan dari tradisi tulis ke lisan adalah penceritaannya yang sangat mendetail dan juga bentuk pengulangan-pengulangan. Baik kata, frase, kalimat bahkan paragrap yang merupakan bagian dari ciri tradisi lisan, yang disebut formula.
Formula ini merupakan salah satu alat pengingat bagi pencerita supaya plot jalan ceritanya runtut.
Oleh karena itu, apabila pembaca pemula La Galigo tidaklah mudah untuk memahami isi La Galigo tanpa memahami bahasa Galigo dan latar belakang sosial budaya yang mengitarinya. Hal itu disebabkan banyaknya istilah, kata dan kalimat bahasa Galigo yang betul-betul sangat sulit. Terutama bila menyangkut masalah ritual dan upacara-upacara yang berkaitan dengan kebudayaan dan kepercayaan dalam La Galigo.
Setting La Galigo
Setting utama dalam La Galigo terdiri atas tiga tempat yaitu; 1) Boting Langiq, Kerajaan Lagit, 2) Buriq Liu/Toddang Toja/Pe’re’tiwi, Kerajaan Bawah Laut, 3) Ale’ Lino/Kawaq, Dunia Tengah, tempat manusia.
Dunia langit dan dunia bawah laut dihuni oleh dewa yang disembah oleh manusia di dunia tengah. Segala sesuatu yang turun di langit disebut manurung (yang turun), sebaliknya segala sesuatu yang muncul dari bawah disebut tompoq (yang muncul).
Tokoh utama yang pertama turun dari langit dan menjelma menjadi manusia adalah La Togeq Langiq. Setelah di bumi namanya berubah menjadi Batara Guru, yang selanjutnya disapa dengan Manurungnge’.
Sementara itu, tokoh utama dari dasar laut yang muncul ke Ale’ Lino (Dunia Tengah) adalah We’ Nyiliq Timoq, permaisuri Batara Guru. Ia biasa disapa dengan Tompoqe’ ri Busa Empong (yang muncul dari busa air).
Hal itu lantaran saat pertama kali muncul ke dunia ia mengendarai busa laut. Seluruh pengikut dari kedua tokoh ini dianggap pula manurung dan tompoq.
Meskipun demikian, manurung dan tompoq, tidak selalu berhubungan dengan manusia tapi kadang-kadang merupakan benda-benda suci. Juga hal-hal yang dianggap terhormat, keramat, indah, baik, cantik dan sebagainya . Semuanya disimbolkan sebagai sesuatu yang tinggi dan menjadi rujukan dalam setiap aktivitas tokoh-tokohnya.