Kritik atas Ideologi Islam Garis Keras ala Habermas

 Kritik atas Ideologi Islam Garis Keras ala Habermas

Kelompok Muslim Australia Serukan Perubahan Penggunaan Istilah Terorisme Guna Kurangi Stigma (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Beragam kasus intoleransi yang mucul beberapa waktu terakhir adalah bukti nyata yang kerap mengatasnamakan agama Islam. Misalnya, peristiwa pengeboman Gereja Ketederal di Makassar, Zakiah Aini dengan gagah beraninya seorang diri mendatangi Mabes Polri berbekal pistol.

Kemudian lagi, pembakaran masjid Jemaah Ahmadiyah di Kalimantan Barat. Beberapa waktu lalu, tragedi penendangan sesajen di daerah Lumajang di kawasan Semeru yang menggegap-gemparkan publik maya. Mungkin beberapa insiden ekstrimisme-terorisme lainnya ada yang tak terhitung banyaknya.

Pendeklarasian diri sebagai jundullah, yang siap mati kapan pun dengan dalih menumpas kemaksiatan yang merajalela. Berebut menjadi martir berbekal bom yang melilit di tubuh dengan harapan dapat meraih surga dengan ditemani bidadari-bidadari cantik rupawan nantinya.

Dari potret peristiwa tersebut, salah satu faktornya adalah bermula dari sikap merasa paling benar, paling otoritatif, dan tentu saja merasa paling autentik yang sesuai manhaj ar-rasul. Diakui atau tidak, hal tersebut juga dilatarbelakangi ideologi yang disokong yang mempengaruhi jalan hidup yang ditempuh.

Dalam hermeneutika filosofis Gadamer, hal seperti ini disebut fusion of horizon, atau menyatunya horizon-horizon pengalaman pembaca dengan batas wilayah teks dari hasil pembacaan hingga muncul suatu tindakan. Hal ini tidak lepas dari konsepsi pra-struktur memahami yang dipengaruhi oleh Martin Heidegger.

Seseorang membaca teks yang sama boleh jadi melahirkan pemahaman yang berbeda sesuai konteks sejarah dirinya. Baik itu dipengaruhi lingkungan sosial serta intelektualnya maupun problem sosial yang menimpa akan melahirkan ragam pemahaman yang beragam pula.

Konsep “Kecurigaan” Habermas

Segala ragam rupa persolan di atas, akan ditilik dengan meminjam gagasan seorang pemikir brilian asal Jerman, Jurgen Habermas. Akan teramat menarik jika problematika ini didedah dengan teori komunikasinya yang masih terus dikaji dan ditelaah hingga kini.

Hal menarik dari konsepsi pemikiran Habermas adalah “kecurigaan”. Kecurigaan di sini bukan dalam arti pesimis terhadap suatu hal, melainkan sikap kritis untuk menanggapi beragam hal.

Dengan kata lain sebagai bentuk upaya kehati-hatian dengan anggapan “jangan-jangan ada suatu kepentingan di balik ini dan itu”. Sebab, baginya tidak ada sesuatu pun yang lepas dari kepentingan. Baik itu dalam konteks politik, pasar, dan bahkan agama sekalipun. (lihat, Budi Hardiman, 2015, p. 215)

Habermas mengonsepsikan apa yang disebut sebagai the world of ethics dan the world of morality. The world of ethics secara sederhana dapat dipahami begini, “setiap individu atau kelompok memiliki cara yang berbeda, mempunyai tolok ukur kebenaran yang berbeda, dan tentu memiliki indikator “kesalihan” yang berbeda pula.”

Terkadang “salih” menurut aliran A, tapi “thalih” bagi yang lain. Begitupun sebaliknya. Sementara “The world of morality” dapat dipahami secara simpel adalah “menekankan ke arah universal yang dapat diterima satu sama lainnya”.

Terpenting yang perlu digarisbawahi adalah “setiap individu maupun kelompok memiliki tolok ukur kebenarannya tersendiri.”

Pandangan Habermas Terhadap Pelaku Ekstremisme

Namun jika ditarik pada lingkup yang lebih luas dalam konteks ke-Indonesiaan yang plural, bagaimana dari setiap sudut pandang yang berbeda tadi dapat menuju pada “the world of morality”. Untuk mencapai hal itu, menurut Habermas mencapai hendaknya melakukan konsensus dengan melalui tindakan komunikatif dengan cara yang rasional dan diskursif, bukan dengan cara politis atau kekuasaan.

Kembali pada pelaku ekstremisme-terorisme atas nama agama, apakah mereka sadar jikalau itu keluar dari batas akal sehat yang menghalalkan segala cara walau memberangus banyak nyawa? Tidak, bahkan tetap bersikukuh menganggap hal itu benar menurut versinya. Sebagaimana diyakini dan menemukan dalil teologis yang melandasinya.

Kehilangan kontak dengan realitas yang lebih luas lantaran tertutup dengan indoktrinasi ideologis mereka sehingga yang menyadari bahwa hal tersebut salah adalah lingkaran luar dari mereka. Kembali menurut Habermas mereka telah mengalami “Komunikasi yang terdistorsi secara sistematis.”

“Secara sistematis” di sini dengan kata lain adalah bila distorsi yang dimaksud itu menjauhkan atau bahkan mengisolasi para pelaku dari akal sehat (Budi Hardiman: 2015, p. 221). Sebagai contoh kecil, jika ada orang yang gila berhimpun menjadi komunitas orang gila.

Maka orang-orang gila yang berkumpul tersebut tidak sedikitpun menyadari tindakan kegilaan yang dilakukan. Malah yang menyadari kegilaan mereka adalah di luar lingkaran mereka.

Terorisme Buah dari Indoktrinasi Ideologis

Begitupun tindakan terorisme bukan merupakan kebenaran yang dihasilkan dari proses rasionalisasi akal sehat, melainkan proses atau efek-efek indoktrinasi ideologis. Dalih memberantas kemungkaran yang merajalela dengan cara yang anarkis hingga meletus aksi terorisme yang melayangkan nyawa begitu saja menemukan dalil teologis yang menurutnya benar.

Ketika ini telah terjadi, mereka tidak akan menyadari bahwa jalan yang mereka tempuh dengan berebut menjadi martir melalui bom bunuh diri adalah perbuatan salah.

Bahkan akan memahami sebaliknya sebagai perbuatan mulia dan kelakuan terpuji. Tentu saja titah suci menuju kesalihan karena rela mati membela Tuhan dan agamanya yang akan berbalas surga nantinya. Ini yang disebut Marx sebagai “Falsches Bewuβtsein” atau jika dilokalisasikan menjadi “kesadaran palsu”.

Habermas juga mengamini apa yang dikatakan Marx, dan ingin menggeser ideologi parsial-partikular (ethics) ke ideologi universal (morality) berdasar good reason yang diperoleh dari discursive rationality yang mengandaikan konsensus sebagai kebenaran pengetahuannya.

Habermas menuliskan begini dalam bukunya yang bertajuk Moral Conciousness and Communicative Action (1990: p. 89);

Discursive ethic based communication

1) Every subject with the competence to speak and act is allowed to take part in a discourse.

2) a. Everyone is allowed to question any assertion whatever. b. Everyone is allowed to introduce any assertion whatever into the discourse. c. Everyone is allowed to express his attitude, desires, and needs.

3) No speaker may be prevented, by internal external coertion.”

Setiap individu maupun kelompok bebas berkehendak apa pun dan bagaimana pun sejauh tidak memunggungi prinsip universalitas. Akan tetapi ketika menginjakkan kaki pada ranah kehidupan bersama, mau tidak mau, tetap harus tunduk dan menjunjung tinggi universalitas yang dapat diterima bersama.

Untuk mencapai hal itu, sekali lagi saya tekankan bahwa cara-cara yang baik bagi habermas diperoleh melalui cara-cara rasional dan diskursif. Puncaknya jatuh pada konsensus, bukan dengan cara-cara politis/kekuasaan.

Andai saja pemaksaan dalam pengejawantahan Islam garis keras terus berlangsung dengan menekankan pada aspek eksklusifitas dengan menolak beragam kebudayaan yang ada. Dengan tudingan bid’ah dan perbuatan syirik, atau pemaksaan ideologi khilafah dalam tubuh NKRI.

Mungkin dalam beberapa hal benar adanya, untuk mencegah atau meminimalisir kemusyirikan. Namun, sudikah kiranya warga negara Indonesia yang plural ini menerimanya?

Mewujudkan Masyarakat yang Saling Memahami

Diakui atau tidak, Muslim yang eksklusif dan ideologi khilafah dalam penerapannya ini bersifat parsial-partikular. Tentu hanya bisa diterima bagi kelompok tertentu saja, tapi tidak bagi lainnya.

Perdebatan panas mengenai ideologi negara telah lalu, yang melahirkan pancasila sebagai konsensus final yang memayungi segala aspek keragaman yang ada di Indonesia.

Pun terkait keanekaragaman budaya lokal dan ragam budaya yang hidup berdampingan telah mencapai konsensusnya. Dengan merujuk pada teori kebenaran ala Habermas “discoursive-rational-agreement/consensus” yang menekankan adanya konsensus.

Dengan demikian, ideologi yang parsial sebisa mungkin mengarah pada yang lebih universal agar terwujud penerimaan kolektif yang dapat melahirkan masyarakat yang saling memahami satu sama lainnya.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *