Kontribusi Nuruddin Zanki di Kota Yerussalem
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pejumpaan antara Islam dan Kristen sejak masa silam melulu menuai banyak polemik. Ada sekian pertempuran yang terjadi dengan memakan banyak korban jiwa, merusak fasilitas umum, membuat penduduk menderita, dan tentu saja memangkas-buang peradaban umat manusia yang tidak sejalan dengan si pemenang pertempuran.
Perang Salib misalnya. Dari banyaknya riset yang telah ditulis, secara garis besar, perang ini ditengarahi pada dominasi yang lebih di unsur politik-ekonomi ketimbang unsur agama.
Agama hanya menjadi legitimasi melalui seruan si pemegang kekuasaan bahwa, perang itu ada karena kehendak Tuhan yang mendorongnya.
Meskipun di banyak literatur Perang Salib versi penulis muslim, ada catatan setiap pemimpinnya menjadi muslim yang taat.
Sketsa Kecil Perang Salib
Perang Salib pertama terjadi pada 1095 M. Saat itu Paus Urbanus II menyerukan kepada orang Kristen agar mengangkat senjata di bawah pimpinan Peter de Hermit untuk melawan umat muslim. Namun usaha ini gagal.
Lantaran di sekitar wilayah Anatolia, mereka dicegat dan diserang oleh pasukan yang dikomandoi Kilij Arslan, pangeran dari pendiri Kesultanan Rum.
Kendati begitu, tiga tahun kemudian wilayah Anatolia berhasil dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Kristen (Hillenbrand, 2015: 70).
Mereka terus bertempur dan bergerak menuju Yerusalem. Kota yang memiliki nilai sejarah penting bagi tumbuh serta kembangnya agama-agama abrahamik.
Akhirnya di tahun 1099, pasukan Kristen di bawah pimpinan Godfrey berhasil masuk dan menguasai Kota Yerusalem.
Di titik ini, narasi tentang pembantaian disertai tindakan keji lainnya banyak kita dapati di literatur yang membahas atau menyinggung ihwal Perang Salib (Hillenbrand, 2015: 70).
Sekitar setengah abad kemudian, Imaduddin Zanki berhasil merebut kota Edessa dengan 28 hari pengepungan.
Jatuhnya kota Edessa ini membuat Paus Eugenius III menyerukan kembali Perang Salib II untuk merebut kota Edessa.
Akhirnya Raja Conrad III (Jerman) dan Louis VII (Prancis) bersama pasukannya turut serta dalam pertempuran ini.
Hanya saja ketika para pembesar dari kaum Kristen bersua, mereka malah memufakati untuk bergerak menuju kota Damaskus.
Hal ini ditengarahi oleh keberadaan kota Damaskus sendiri, yang memang lebih bernilai ketimbang hanya merebut kota Edessa.
Damaskus saat itu masih jadi salah satu kota penyumbang pemajuan bagi umat Islam.
Pilihan yang tanpa sadar, membuat mereka terpecah lantas urung dan tidak peroleh apapun, kecuali kehilangan banyak pasukan (Alatas, 2012: 253-272).
Hal itu karena Mu’inuddin Unur yang saat itu menjabat sebagai Amir di kota Damaskus, melakukan upaya dengan; menyurati kekuasaan Islam terdekat berisi permohonan bantuan pasukan, memperkuat benteng, menjaga jalan, dan yang tidak kalah penting ia memerintahkan pasukannya untuk menutup seluruh sumur yang diperkirakan sebagai lokasi mukim pasukan Kristen.
Upaya ini terbukti menuai hasil. Meskipun tercatat ada Syaikh Yusuf al-Findalawi (Imam Mazhab Maliki), Abd ar-Rahman al-Halhuli (Sufi), pasukan muslim, serta penduduk yang wafat saat pertempuran pecah di sekitar kota Damaskus.
Catatan Kiprah Nuruddin Zanki
Di masa kecamuk Perang Salib II sekira tahun 1146 M, Nuruddin Zanki dinobatkan untuk menggantikan ayahnya yang telah wafat, Imaduddin Zanki, sebagai pemimpin di kota Aleppo.
Misi pertama setelah ia diangkat adalah memperkuat posisinya di Syria.
Pria kelahiran 17 Syawal 511 H ini memang memiliki keterampilan mempimpin, militer, dan berpolitik yang melebihi para pendahulunya (Alatas, 2012: 335).
Maka tidak mengherankan ketika Amir dari Kesultanan Rum, meminta bantuannya untuk menyerang kota Marash yang masih berada di bawah kendali pasukan Kristen di Antioch, Raymond.
Kedua pasukan pun bersua di kota Inab dengan 5000 pasukan Raymond termasuk para asasin (Syalabi, 1993: 347) dan 6000 pasukan di kubu Nuruddin Zanki. Strategi perang saling diadu.
Sampai akhirnya di tahun 1149, pertempuran sengit keduanya meletus.
Pihak Nuruddin Zanki mendominasi pertempuran sampai akhirnya keluar sebagai pemenang.
Pertempurannya yang pertama ini membuat Nuruddin Zanki bergegas merebut kota-kota lain di sekitarnya, termasuk kota Damaskus pada 1154 M.
Karena ia menilai pada saat itu, meski penguasanya beragama Islam namun afiliasi yang dibangun cenderung memihak dan menguntungkan Kristen.
Di lain kesempatan, Nuruddin Zanki memperluas pengaruhnya ke wilayah Mesir yang dinilai juga jadi incaran pasukan Kristen di bawah pemimpin Yerussalem, Amalric.
Lantaran saat itu, Dinasti Fatimiyah mulai mengalami kemunduran. Khalifah yang sah masih muda dan wazirnya, Shawar memonopoli kekuasaan di dinasti tersebut.
Shawar dengan lihai meminta bantuan Nuruddin Zanki untuk menguatkan posisinya. Ia pun menyanggupi meski di awal ada rasa keraguan.
Akhirnya keraguan itu terbukti dengan memihaknya Shawar pada Kristen setelah posisinya menguat.
Pasukan muslim di sana, termasuk pasukan Nuruddin Zanki diperangi lantas diusir untuk keluar dari wilayah kekuasaan Dinasti Fatimiyah.
Strategi untuk merebut kembali Mesir dan sekitarnya ke bawah kendali Islam mulai disusun Nuruddin Zanki.
Sekira tahun 1167 M, di bawah pimpinan Syrkuh dan Salahuddin al-Ayubi, Nuruddin Zanki memerintahkan untuk merebut kembali kota Mesir.
Pertempuran pun meletus selama empat tahun. Tepat di tahun 1171 M, Nuruddin Zanki berkuasa penuh atas Mesir dan sekitarnya.
Keberhasilan ini membuat jalan untuk merebut kembali kota Yerussalem setelah bertahun-tahun berada di bawah kendali Kristen semakin terbuka lebar.
Hanya saja pria bernama lengkap Nuruddin Mahmud bin Imaduddin Zanki bin aq-Sunqur mesti menghembuskan nafas terakhirnya pada 15 Mei 1174 M.
Ambisi penaklukannya pun akhirnya dilanjutkan oleh Salahuddin al-Ayubi (ash-Salabi, 2013: 224).
Nama yang banyak dikenang oleh umat Islam konservatif utamanya, sebagai prototipe dari tokoh yang berhasil melawan kaum Kristen.
Pada akhirnya nama Nuruddin Zanki tidak lagi terdengar suarnya.
Lantaran yang berhasil mengembalikan kota Yerussalem ke pangkuan Islam adalah Salahuddin al-Ayubi.
Padahal bila kita cermati dengan jeli, nama Salahuddin al-Ayubi barangkali tidak akan mencuat kala Nuruddin Zanki tidak menunaikan strategi politik dan militernya. []