Kontekstualisasi Nilai Kebangsaan Dalam Islam

 Kontekstualisasi Nilai Kebangsaan Dalam Islam

Oleh:  Muhammad Hazballoh Da’in

HIDAYATUNA.COM – Agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin memberi analogi tentang hubungan antara negara dengan agama. Agama adalah asal dari seluruh implementasi aturan tuhan, sementara negara dengan kepemerintahan adalah jaminan atas keberlangsungan ritual keagamaan. Tanpa adanya penjaga maka agama akan sia-sia. Sedangkan Negara tanpa adanya agama akan mengalami kerusakan dan akan dipenuhi pertikaian.[1]

Pentingnya sebuah Negara telah disampaikan dalam sejarah perjuangan Rasulullah Saw. ketika beliau membentuk tatanan sosial masyarakat dengan macam-macam agama di bawah bendera negara Madinah, dengan beberapa perjanjian yang disepakati bersama. Hal ini tersirat dalam pasal pertama Piagam Madinah:

انهم امة واحدة من دون الناس.

“Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lain”.

Setiap manusia yang hidup dan bertempat tinggal di Madinah merupakan satu keluarga yang sama-sama memiliki hak kehidupan bernegara, seperti terjaminnya keselamatan dari musuh-musuh yang menyerang Madinah. Rasulullah Saw. telah mengajarkan untuk saling bahu membahu atas dasar kebangsaan atau kenegaraan, karena bagaimanapun juga, keamanan Madinah saat itu merupakan komponen utama untuk keberlangsungan agama Islam, di tengah ancaman serangan mendadak dari musuh-musuh Islam.

Saat ini upaya untuk mengontekstualisasikan nilai-nilai kebangsaan dalam Islam merupakan kebutuhan urgen demi menjaga keutuhan negara. Belum lagi banyak sekali pemuda-pemuda yang minim ilmu Agama mengecam semangat bela negara. Mereka menganggap sia-sia untuk mempertahankan NKRI yang diklaim tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Islam mengenal pertama kali kata bangsa dari firman Allah Swt :

{يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ } [الحجرات: 13]‎

(Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah Swt. ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal)

Allah Swt. menciptakan manusia dengan bangsa dan suku yang berbeda, kata “شُعُوبًا  ” menurut beberapa ulama’ merupakan bukti diakuinya sistem negara-negara modern yang terbagi menjadi negara bangsa.

Fungsi utama dalam menanamkan spirit kebangsaan adalah demi wujudnya kestabilitasan negara yang juga menjadi salah satu langkah paling efektif untuk menjamin berlangsungnya praktek keagamaan. Kebangsaan sendiri juga merupakan benih-benih mempertahankan persatuan. Islam sendiri telah memerintahkan untuk selalu menjaga persatuan. Sebagaimana firman Alloh swt :

“وَاعْتَصِمُواْ بِحَــــــــــبْلِ اللّهِ جَمِــــــــــــــــيْعاً وَلاَ تَفَـــــــــرَّقُواْ وَاذْكُــــرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْــتُم بِنِعْمَتِــــــــــــهِ إِخْــــــــوَانًا”.  }ال عمران : 103{

 “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermu­suh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadi­lah kamu karena nikmat-nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.”. QS. Ali Imran : 103

Allah Swt. memerintahkan umat islam untuk selalu berpegang teguh dan mengembalikan seluruh permasalahan kepada ketetapanNya, dan Ia melarang wujudnya pertikaian yang akan melahirkan perpecahan, bahkan dalam ayat tersebut, Allah Swt. kembali mengingatkan akan kesengsaraan yang dirasakan manusia ketika terkungkung dalam pertikaian serta permusuhan.

Hal demikian jika dikontekstualisasikan di Indonesia dengan melihat kemajemukan dan pluralitasnya, menuntut untuk adanya sikap toleransi, tidak hanya sebatas antar umat Islam namun juga kepada seluruh warga negara Indonesia, apapun agamanya. Karena jika terjadi peperangan sangat mustahil ritual kegamaan akan terlaksana dengan sempurna, hanya dengan menjaga persatuan kita dapat tetap menjaga syi’ar agama Islam. Cukup kita ambil pelajaran dari peperangan yang terjadi antara negara-negara Islam di timur tengah, bagaimana tujuan awal yang terlihat mulia berubah menjadi penghalang tersebarnya agama Islam bahkan sampai merusak citra Islam yang rahmatan lil-‘Alamin.

Spirit inilah yang berusaha di terapkan dalam salah satu semboyan bangsa. Dimana ketika sudah terikat dalam ikatan satu bangsa satu tanah air maka tidak perlu adanya perbedaan-perbedaan yang justru dapat memunculkan benih-benih kebencian. Meski agama, ras dan suku berbeda namun untuk keberlangsungan Negara yang akan berkaitan dengan kebebasan dalam melaksanakan ajaran agama, tidak dapat dibenarkan tindakan-tindakan yang merusak eksistensi bangsa.

Modal utama untuk dapat menerapkannya adalah wujudnya toleransi, Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama memiliki arti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda, atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi dalam beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Namun, hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi, baik dari kaum liberal maupun konservatif.

Sedangkan untuk multikulturalisme juga sangat diperlukan di Negara Indonesia yang penuh dengan macam budaya. Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.

Perbedaan yang telah tuhan tetapkan haruslah diakhiri dengan “لِتَعَارَفُوا”, seperti yang direkam dalam firmanNya. Karena bagaimanapun juga semua itu merupakan keniscayaan Tuhan. Begitu juga dalam menyikapi persatuan bangsa, meski berbeda tidak ada alasan untuk tidak bersama dalam satu Negara berbangsa[2]

Atas dasar itulah keamanan negara menjadi salah satu poin yang ada dalam Piagam Madinah, perihal seluruh lapisan masyarakat harus saling bahu-membahu untuk menjamin keselamatan Negara, hal demikian terdapat dalam pasal 44:

وان بينهم النصر على من دهم يثرب.

“ Mereka (pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib”.

Nabi mengajarkan kepada seluruh penduduk madinah, baik yang beragama Islam ataupun tidak, untuk selalu menghadapi marabahaya secara bersama-sama, karena adanya keterikatan sebagai satu penduduk madinah, begitu juga jika diterapkan di Indonesia, adanya keterikatan sebagai satu bangsa mengharuskan bagi seluruh penduduknya untuk selalu bersama dalam mempertahankan keutuhan negara.

Berbangsa juga berarti harus siap untuk mematuhi pemimpin bangsa, demi mempertahankan eksistensi sebuah negara. Manusia atau rakyat sebagai subyek dalam negara memiliki posisi yang sangat penting, karena pada dasarnya negara beserta pemerintahnya dibentuk oleh rakyat dengan kesadarannya menyerahkan amanah kepemimpinan itu kepada pemerintah untuk mengatur dan mengelola negara, sehingga berbagai kebutuhan rakyat akan terpenuhi, baik kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmani. Dengan demikian kekuasaan penuh sebuah negara ada di tangan rakyat, tetapi rakyat harus mematuhi berbagai kebutuhan demi tercapainya cita-cita bersama.

Hal ini sesuai dengan keterangan surat an-Nisa ayat 59 yang memerintahkan manusia (rakyat) untuk mematuhi pemimpin (pemerintah) yang tidak lain adalah bagian dari rakyat itu sendiri:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللَّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً . (النساء 59)

” Hai orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah rosul(nya), dan ulil amri diantara kamu. Lalu jikakamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada allah (al-quran) dan rosul (sunnahnya),jika kamu benar-benar beriman kepada allah dan hari kemudian demikian lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS.al-Nisa:59)

Oleh karena tugas utama bagi rakyat adalah kesetiaan kepada pemerintah. Kesetiaan merupakan harga mati. Bukan demi keluhuran pemerintah, tetapi demi tercapainya cita-cita bersama dan kemajuan negara. Sebuah hadits menerangkan :

“من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية (رواه مسلم)”

” Barangsiapa yang meninggal, tanpa pernah melakukan baiat (janji loyal pada pemimpin), ia mati secara jahiliyah” (HR. Muslim)

Kalau ketaatan terhadap negara bersifat mutlak, sebaliknya kesetiaan rakyat kepada pemerintah tidaklah buta. Kesetiaan itu hendaknya selalu dipertimbangkan, karena seringkali pemerintah mengkhianati kepercayaan yang diberikan oleh rakyat kepadanya. Jika demikian kesetian itu perlu ditinjau kembali. Hadits Riwayat Muslim menerangkan :

“على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره الا أن يؤمر بمعصية فان أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة”

” Umat muslim wajib mendengarkan dan taat (kepada pemimpin), kecuali diperintah berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat maka tidak ada kewajiban mendengarkan dan taat”

Artinya, loyalitas dan ketaatan rakyat kepada pemerintah hanya terbatas pada permasalahan yang bersifat positif dan tidak melanggar syariat. Apabila terbukti pemerintah telah jauh melenceng dari tatanan syariat atau dengan jelas-jelas memerintahkan rakyat untuk taat dalam kemaksiatan hingga taraf kekufuran yang nyata maka, di sinilah rakyat harus menyiapkan pemerintah yang baru, dengan tanpa melakukan tindakan radikalisme dan lebih fokus untuk menciptakan generasi pemimpin-pemimpin yang dapat memajukan bangsa.

Sudah bukan waktunya umat Islam mempertentangkan keabsahan semangat bela negara, apalagi jika kita menengok politik Internasional yang selalu menjadi ancaman atas keberlangsungan Islam di Indonesia, jika terjadi perpecahan. Mereka akan dengan mudah memberikan vonis bersalah kepada umat Islam di Indonesia seperti terjadi pelanggaran HAM. Maka demi semua tujuan mulia ini, membela negara dengan mewujudkan persatuan, merupakan satu-satunya jalan untuk membela agama di era negara berbangsa.


[1]Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, juz 1, hal 17, cet. Dar al-Hadits.

[2] Wahbah Musthafa al-Zuhayli, at-Tafsir al-Munir, juz 26, hal 248, Maktabah Syamilah.

Santri Pondok Pesantren Ahmada Al-Hikmah Purwoasri Kediri

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *