Konsumsi Obat Penunda Haid Saat Haji dan Puasa? Begini Hukumnya!

 Konsumsi Obat Penunda Haid Saat Haji dan Puasa? Begini Hukumnya!

Menunaikan ibadah haji bagi para calon jemaah haji wanita usia subur, terdapat halangan haid yang dapat menyebabkan tertundanya rukun haji yaitu thawaf (mengelilingi ka’bah).

Perkembangan ilmu kedokteran menawarkan obat menunda haid dalam pelaksanaan haji. Sehingga dapat melakukan thawaf dan rukun haji lainya bersama di Mekkah, serta dapat sholat arba’in di Madinah sebagaimna yang diinginkan. Tanpa terhalang haid, sehingga calon jemaah haji dapat menunaikan ibadah haji dengan sempurna.

Adapun aspek hukumnya terdapat berbagai pendapat para ulama. Syekh Mar’i Al Maqdisy Al-Hanbali, Syaikh Ibrahim bin Muhammad (keduanya ahli fiqih madzhab Hanbali) dan Yusuf Al- Qardawy (ahli fiqih Kontemporer) berpendapat bahwa wanita yang mengkhawatirkan hajinya tidak sempurna,maka dia boleh menggunakan obat menunda hainya. Alasan mereka adalah karena wanita itu sulit menyempurnakan hajinya, sedangkan teks atau dalil yang melarang menunda haid itu tidak ada.

Selain itu Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang komisi fatwanya pada tahun 1984  menetapkan, bahwa untuk kesempurnaan dan kekhusukan seorang wanita dalam melaksanakan ibadah haji hukumnya adalah mubah (boleh) para fuqaha’ (ulama ahli fiqih) mayoritas sependapat menunda haid untuk berhaji dengan obat-obatan. Hal ini sebagaimana dasar kaidah fiqhiyyah yang menyatakan, pada dasarnya segala sesuatu hukumnya mubah sampai ada dalil yang melarangnya.

Fakta ini mendorong banyak jamaah Haji wanita untuk menggunakan obat penunda haid, dengan tujuan agar mereka dapat menunaikan manasik hajinya dengan nyaman dan mengoptimalkan ibadah di kedua Masjid tersebut. Keinginan ini tentu patut diapresiasi, namun sebelum jamaah haji memutuskan untuk mengkonsumsi obat tersebut, perlu memikirkan dua hal penting:

  • Aspek medis.
  • Aspek legalitas hukum syar’inya.

Dari aspek medis, telah terbukti dalam banyak kasus, penggunaan obat ini dapat mengakibatkan efek samping yang patut dipertimbangkan, diantaranya: nyeri di payudara, rasa mual, sakit kepala. Tentu ini dapat mengganggu kekhusyukan ibadah. Terlebih pada banyak kasus, obat penunda haid juga dapat menyebabkan haid tidak teratur, atau menyebabkan munculnya pendarahan kecil yang terus menerus, atau flek-flek darah atau kehitaman. Kondisi ini tentu kontradiksi dengan tujuan awal penggunaan obat ini.

Dari sisi tinjuan hukum Syar’i, para ulama’ telah berbeda pendapat dalam masalah ini:

Pendapat Pertama: Madzhab Maliki, penggunaan obat semacam ini tidak dapat dibenarkan,walaupun darah haid tertunda, namun tetap saja wanita tersebut dianggap sedang tidak suci. Terutama bila keluarnya darah haid hanya tertunda beberapa hari, kurang dari batas minimal masa suci seorang wanita. Minimal ada dua alasan yang diutarakan oleh ulama’-ulama’ Mazdhab Maliki :

  • Wanita yang memiliki kebiasan dalam urusan haid dan masa suci, kemudian mengalami keraguan tentang masa haidnya, maka ia wajib untuk berpedoman dengan kebiasan yang telah ia jalani sebelumnya.
  • Dari aspek medis, penggunaan obat semacam ini dapat menimbulkan efek buruk bagi kesehatan dan kenyamanannya dalam menjalankan ibadah, sedangkan telah jelas larangan melakukan tindakan yang dapat merugikan atau membahayakan diri sendiri.

Pendapat Kedua: Menurut madzhab Syafii dan juga Hambali, penggunaan obat semacam ini dibenarkan secara Syar’i. Ada beberapa dalil dan alasan yang menjadi pijakan pendapat ini, diantaranya:

  • Hukum asal suatu tindakan atau barang yang terbukti bermanfaat adalah halal, sampai ada dalil yang mengharamkannya. Dan penggunaan obat penunda haid terbukti bermanfaat bagi wanita muslimah, sehingga dapat menjalankan ibadah haji atau umrah atau puasanya dengan lebih mudah tanpa terhalangi oleh haid.
  • Menunaikan rangkaian manasik ibadah haji, bersama rombongannya lebih ringan dibanding menjalankannya sendiri terpisah dari rombongan.
  • Maslahat penggunaan obat penunda haid lebih dominan dibanding mafsadatnya (keburukannya), sebagaimana jumlah wanita yang benar-benar mendapatkan kemudahan dalam menjalankan ibadahnya lebihbanyak dibanding yang gagal atau menanggung efek samping dari penggunaan obat tersebut. Dalam kaedah ilmu fiqih, hukum suatu masalah dikaitkan dengan kondisi yang dominan bukan dengan kondisi yang bersifat kasuistis.
  • Status haid berkaitan dengan keluarnya darah haid, sehingga bila darah haid tidak keluar, baik akibat dari minum obat penahan haid atau sebab lainnya, maka wanita tersebut tetap dianggap dalam kondisi suci. Allah Ta’ala berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itukotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”. (QS. Al Baqarah ; 222)

Pada ayat ini, dengan jelas Allah Ta’ala mengaitkan hukum haid dengan keluarnya gangguan, yaitu darah haid bukan dengan masanya. Dengan demikian, bila darah haid tidak keluar, maka tidak ada alasan untuk menganggap wanita dalam kondisi tidak suci. Dan secara fakta, ia benar benar dalam kondisi suci dari darah haid, sehingga secara hukum asal ia berkewajiban dan juga sah untuk menjalankan berbagai ibadah dan termasuk menunaikan seluruh rangkaian ibadah haji, tanpa terkecuali Thawaf mengelilingi Ka’bah dan lainnya.

Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad membuat fatwa tentang permasalahan di atas:

Bahwa kedua pendapat di atas sejatinya dapat di gabungkan, sehingga saling melengkapi, terutama bila masing-masing fatwa diterapkan pada kondisi yang tepat:

  • Bagi wanita yang secara medis dan atas keterangan ahli medis yang profesional dapat mengalami gangguan kesehatan atau bahkan terbukti penggunaan obat tersebut malah mengacaukan siklus haidnya, maka ia terlarang bahkan bisa sampai pada derajat haram untuk menggunakan obat penunda haid, sebanding dengan kadar gangguan yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan obat tersebut, berdasarkan kaedah ilmu fiqih yang berbunyi:

دزء الوفاسد هقدهعل جلب الوصالح

Artinya: “Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan.”

  • Bagi wanita yang kondisi fisiknya prima dan menurut keterangan tenaga medis yang berkompeten penggunaan obat tersebut tidak menimbulkan gangguan yang berarti, maka boleh menggunakanya demi memudahkan dirinya untuk menunaikan seluruh rangkaian manasik hajinya tanpa terganggu oleh siklus haidnya. Hal ini dikarenakan hukum segala sesuatu yang bermanfaat halal hingga datang dalil yang mengharamkannya.Dan pada kondisi ini, tidak ditemukan dalil yang melarang penggunaan obat penunda haid.
  • Sepatutnya kaum wanita tidak boleh sembarangan menggunakan obat ini sebelum berkonsultasi dengan ahli medis yang berkompeten, untuk mendapatkan rekomendasi yang akurat tentang potensi resiko penggunaan obat dan jenis yang tepat untuk dirinya. Dengan demikian, resiko penggunaan obat penunda haid dapat diminimalisir. Terlebih lagi pelaksanaan manasik haji, sering kali membutuhkan kondisi fisik yang prima.
  • Walaupun penggunaan obat penunda haid dibolehkan pada kondisi kedua, sebagaimana dijelaskan di atas, namun dewan fatwa lebih merekomendasikan kaum wanita untuk tidak menggunakannya, dengan beberapa pertimbangan berikut:
  • Menghindari efek samping obat penunda haid yang dapat mengganggu konsentrasi jamaah haji dalam menjalankan manasik hajinya.
  • Syari’at Islam telah mengajarkan solusi yang mudah dan sangat fleksibel bagi jamaah haji wanita bila mengalami siklus haid di saat menunaikan rangkaian manasik haji, mengingat haid adalah kodrat setiap wanita dewasa.

Dan diantara wujud rahmat Allah, pahala ibadah haji wanita yang haid tidak berkurang hanya karena ia mengalami siklus haid di tengah-tengah ia menjalani rangkaian ibadahnya. Sebagaimana yang dialami oleh Umum Mukminin Aisyah Radhi Allahu Anha yang awalnya hendak berumrah secara terpisah dengan hajinya, tamattu’, namun karena mengalami haid maka beliau terpaksa menggabungkan umrah dengan hajinya dalam satu kali thawar, qiran. Ketika beliau suci dari haidnya Rasulullah bersabda kepadanya:

يَسَعُكِ طَىَافُكِ لِحَجِّكِىَعُوْسَتِكِ

Artinya: “Thawaf yang telah engkau lakukan berlaku untuk haji dan umrahmu sekaligus”. (HR. Muslim)

Haid itu kodrat ilahi atas kaum wanita, sehingga menjalani kodrat ilahi dengan lapang dada dan menjalani solusi yang diajarkan dalam syari’at bagi wanita tentu lebih mencerminkan sikap berserah diri kepada kehendak Allah, baik kehendak-Nya secara kodrat alamiyah ataupun kehendak-Nya yang tertuang dalam tuntunan syari’at, sebagaimana yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri beliau tercinta ‘Aisyah radhiallahu ‘anha di atas.

Sumber:

  • Demikian dijelaskan oleh Al Hatthab Al Maliki dalam kitabnya Mawahibul Jalil Li Syarhi Mukhtashar Al Khalil (1/538)
  • Keputusan Dewan Fatwa Perhimpunan Al-Irsyad tentang Haji

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *