Konsepsi Wara’ dan Tamak dalam Perspektif Tasawuf

 Konsepsi Wara’ dan Tamak dalam Perspektif Tasawuf

Khazanah Penyair Palestina: Tawfiq Ziad

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sekali waktu, Ali bin Abi Thalib yang telah menjabat sebagai khalifah ke-IV datang berkunjung ke salah satu masjid di wilayah Basrah.

Kedatangannya sembari mengusir orang-orang yang bercerita ngawur, tidak berdasar dan memiliki pendengar di dalam masjid.

Sampailah Ali bin Abi Thalib di salah satu sudut masjid. Ia bertemu dengan sekelompok orang yang duduk menyimak mendengar cerita dari anak kecil. Ali bin Abi Thalib pun datang.

“Hai anak, aku akan bertanya kepadamu dua persoalan. Jika kamu dapat menjawabnya, aku akan membiarkanmu bercerita kepada kumpulan orang itu. Tetapi jika engkau tidak memberikan jawaban yang benar, maka aku akan mengeluarkanmu dari masjid seperti yang lainnya”, ucap Ali bin Abi Thalib kepada anak kecil tersebut.

Anak kecil itu pun bersedia menjawabnya. Khalifah ke-IV bertanya tentang apa yang menjadi sebab keselamatan dan kerusakan sebuah agama.

Si anak pun menjawab,

“Yang dapat menyelamatkan adalah sifat wara’, dan yang membinasakannya adalah sifat tamak.”

Ali bin Abi Thalib membenarkan jawaban tersebut dengan simbol senyum puas merekah.

Anak yang bersua, lantas dilempar pertanyaan dan memberi jawaban pada Khalifah ke-IV ini belakangan kita kenal sebagai Hasan Basri.

Seorang sufi yang dikenal dengan konsepsi ajaran tasawuf, yang dapat ditiru sebagai jalan mendekatkan diri kita kepada-Nya.

Konsepsi tasawuf yang lamat-lamat membersihkan jiwa manusia dari berbagai percik kotoran.

Cerita ini kita dapati pada buku lawas yang luput tidak terbaca oleh kaum akademisi, peneliti, pemerhati, maupun pengamal ajaran tasawuf dewasa ini.

Buku yang dimaksud berjudul Pendidikan Sufi: Sebuah Upaya Mendidik Akhlak Manusia (1970). Buku yang saya rasa perlu terbaca sampai khatam, termasuk mereka yang mengumbar ayat agama tetapi telah keranjingan tayang di depan layar media.

Padahal di dalam buku yang ditulis Aboebakar Atjeh ini telah disinggung bahwa manusia dapat terjerumus keburukan dengan tidak percaya pada Tuhan dan atau mencintai dirinya sendiri.

Tidak percaya pada Tuhan memicu munculnya sikap ateis, baik samar maupun jelas. Sedangkan mencintai diri sendiri menumbuh-suburkan sikap jumawa kepada liyan, termasuk dalam hal ini mengejar popularitas di media sosial.

Untuk terhindar dari keburukan ini, Aboebakar Atjeh menukil cerita persuaan Hasan Basri kecil dengan Ali bin Abi Thalib di atas. Sikap wara’ yang berarti menahan diri, kehati-hatian dari barang tidak jelas menjadi langkah pertama yang mesti ditempuh.

Laku ini memang tidak mudah. Sebab pada prosesnya nanti, sekian syahwat keburukan mesti diminimalisir atau malah diharuskan untuk dihilangkan.

Kutipan di buku yang berbunyi sebagai berikut,

“Hawa nafsu atau sjahwat inilah jang atjapkali menggiatkan kehidupan manusia, tetapi jang atjapkali juga menumbuhkan dua sebab kerusuhan dunia, jaitu kekufuran terhadap Tuhan dan tjinta diri jang berlebih-lebihan. Oleh karena itu ajaran Sufi ingin mematikan sjahwat itu atau menguranginja …”

Barangkali kita hari ini justru kerap bersua atau malah menjadi pelaku dari sifat yang memicu kerusakan di dalam agama Islam; sebagai pengamal sikap tamak. Kepemilikan barang yang cukup kadang membuat kita tidak puas.

Pun kedudukan yang dimiliki tidak menumbuhkan banyak syukur. Lebih-lebih segala yang bukan menjadi haknya diambil begitu saja tanpa ada rasa sesal, salah, apalagi meniatkan diri untuk bertobat.

Saya rasa sikap tamak ini tidak hanya menghancurkan agama Islam, tetapi juga jadi tabungan yang dapat merusak diri secara pelan-pelan.

Karena bukan tidak mungkin orang yang mulanya dikenal baik tidak neko-neko, berubah menjadi orang yang serakah tanpa mempertimbangkan orang-orang di sekitarnya. Begitu.

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *