Konsep Mengenal Diri ala Imam Ghazali

 Konsep Mengenal Diri ala Imam Ghazali

Tingkatan Orang Berpuasa Menurut Imam Ghazali: Berpuasa Secara Lahiriyah dan Bathiniyah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sebagai penentu masa depan bangsa Indonesia, para pemuda masa kini diharapkan mampu menjawab tantangan-tantangan global sesuai bidang yang diminatinya serta mampu mengimplementasikan ilmu yang ia miliki.

Sehingga terdapat konsekuensi logis bahwa pemuda Indonesia diharapkan memiliki semangat belajar tinggi dan pantang menyerah.

Permasalahan mental health yang hari ini masif dialami oleh kalangan anak muda tidak hanya disebabkan oleh faktor lingkungan dan keluarga, tapi faktor internal menjadi hal paling krusial dalam problem kesehatan mental.

Untuk itu, marilah kita membahas konsep mengenal diri ala Imam Al-Ghazali.

Dalam kitab kimiyaus Sa’adah, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa selain Allah, yang paling dekat dengan seseorang adalah dirinya sendiri.

Seseorang tidak akan mampu menaklukkan sesuatu apabila ia tidak mengenali dirinya siapa, untuk apa ia berada dan apa yang ingin ia tuju selanjutnya.

Ketidaktahuan akan diri sendiri menyebabkan seseorang mengalami ketidakstabilan dalam  secara jasmani dan rohani.

Di sini, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ketidakstabilan yang terjadi dalam pikiran dam batin berpengaruh pada kesehatah jasmani seseorang. Faktor yang membedakan antara hewan dan manusia terletak pada akal.

Seseorang yang tidak dapat mengendalikan alam pikirannya akan berujung pada munculnya insting hewani, Imam Al-Ghazali menekankan bagaimana seseorang akan maju apabila hanya mengandalkan insting hewani yang bersumber dari hasrat dan hawa nafsu.

Hawa nafsu akan menjerat seseorang hingga pada jurang frustasi dan kehilangan rasa percaya diri.

Maka dari itu, Imam Al-Ghazali menjabarkan dua tahapan bagi seseorang untuk memulai mengenal dirinya. Yaitu menyadari hakikat diri sendiri dan menyadari hakikat adanya Allah sang pencipta.

Menyadari Hakikat Diri Sendiri

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa seseorang harus menyadari hakikat diri sendiri, baik secara jasmani dan ruhani atau hati.

Sadar secara jasmani merupakan konsep penyadaran terhadap pengalaman empiris seseorang dalam setiap tindakan. Seluruh panca indra yang ia miliki harus tekoneksi satu sama lain dan dapat dikendalikan dengan penuh.

Secara ruhani, seseorang harus mampu mengendalikan perasaan yang ia miliki terhadap sesuatu yang wajib, boleh dan dilarang untuk ia lakukan.

Seseorang mampu melihat atau merasakan jasmani  yang ia miliki secara jelas.

Tapi seseorang tidak akan mudah memahami perasaan yang ia miliki karena bentuk secara fisik dari perasaan tersebut bersifat abstrak.

Beberapa orang akan merasa unggul apabila memiliki kemampuan fisik yang lebih, dan dari pihak yang lain muncul orang-orang yang merasa lebih maju apabila dianugerahi ilmu pengetahuan yang lebih banyak.

Kedua paradoks ini melahirkan penyakit kesombongan yang dapat merusak kesehatan pikiran dan hati  dan akan berpengaruh pada jasmaninya.

Kerusakan dalam pikiran dan hati seringkali menyebabkan tekanan luar biasa secara psikis yang mempengaruhi metabolisme tubuh.

Beban organ tubuh yang biasanya berfungsi sebagai healing yang menjaga kestabilan jasmani bekerja lebih ekstra.

Ekspektasi yang awalnya sederhana bertambah beberapa kali lipat karena faktor internal dan eksternal seseorang.

Maka dari itu hendaklah seseorang tidak mudah bersikap puas dan sombong terhadap apa yang ia miliki.

Serta dapat mengendalikan pikiran-pikiran jahat yang dapat menjerumuskan seseorang kepada jurang kehancuran.

Imam Al-Ghazali menjelaskan ada tiga hal yang membedakan jiwa yang sangat kuat dan jiwa yang tidak kuat atau biasa-biasa saja, yaitu:

  1. Apa yang dilihat orang lain hanya dalam mimpi, mereka dapat melihatnya secara nyata.
  2. Sementara kehendak orang lain hanya mempengaruhi jasad mereka, jiwa ini dengan kekuatan dan kehendaknya, bisa menggerakkan jasad orang lain.
  3. Jika orang lain mesti belajar dengan sangat keras untuk mendapatkan suatu pengetahuan, ia mendapatkannya melalui intuisi.

Untuk itu dalam memasuki tahap belajar, seseorang harus mampu mengenali hakikat seperti apa dirinya, bagaimana ia melangkah atau metode seperti apa yang cocok untuk ia gunakan.

Kebanyakan orang yang gagal menaklukkan dirinya karena mereka gagal menemukan formulasi yang cocok untuk mengendalikan dirinya sendiri atau secara utuh.

Menyadari Hakikat Adanya Allah Sang Pencipta

Manusia dapat disebut sebagai alam as-shaghir (mikrokosmos) karena seorang manusia memiliki semestanya sendiri yang harus dipelajari secara menyeluruh baik secara jasad dan ruh.

Dan tahapan yang paling tepat untuk menyempurnakan langkah pengenalan diri seseorang adalah mengenal Allah.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa puncak dari segala pengetahuan dan kebahagiaan adalah ma’rifat (mengenal Allah).

Ma’rifat merupakan konsep memahami rahasia-rahasia ketuhanan dan ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan.

Sebagaimana dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Ali Imran Ayat 190-191:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ .١٩٠

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ . ١٩١

Artinya:

” (190) Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.

(191) (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata),

“Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.”

Seorang hamba yang berusaha mengenal Allah secara mendalam, maka di hatinya hanya ada rasa syukur dan berserah pada sang pencipta. Bersyukur dengan apa yang dimiliki dapat memberikan energi positif secara rasional, batin dan jasmani.

Tidak terlalu terbebani oleh ekspektasi tinggi, tapi tetap bersungguh sungguh berusaha karena Allah semata.

Kemuliaan yang ditimbulkan atas rasa syukur, ikhlas dan berserah dapat menjernihkan hakikat manusia yang pada dasarnya lemah dan hina.

Seluruh tindakan, perkataan, dan tujuan yang akan dicapai bukan lagi berbicara tentang duniawi, tapi akhirat.

Sehingga dunia yang ia jalani dapat dihadapi serta mampu menyelesaikan problem mental illness yang ia rasakan. []

Muhammad Ahsan Rasyid

Muhammad Ahsan Rasyid, magister BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sukarelawan. Tinggal di Yogyakarta, dapat disapa melalui Email: rasyid.ahsan.ra@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *