Konsep Kafa’ah dalam Pernikahan Menurut Fikih Klasik

 Konsep Kafa’ah dalam Pernikahan Menurut Fikih Klasik

RKUHP Perzinahan dan Kumpul Kebo (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Pernikahan menjadi salah satu yang urgent untuk dibicarakan oleh masing-masing individu. Sebab pada fase tersebut, seseorang akan menjalani babak baru dalam kehidupan yang berbeda. Pun akan dijalankan sepanjang hayat dalam menemani dan bersama seseorang untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.

Ikatan pernikahan merupakan unsur utama dalam terciptanya tatanan masyarakat yang bahagia. Selaras dengan apa yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya cukup disebut UUP) dalam mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan hal tersebut, maka tidak hanya rukun dan kriteria pemilihan calon yang harus menjadi pertimbangan dalam melakukan penikahan bagi individu. Lebih dari itu, upaya dalam memperoleh keharmonisan pasangan untuk menjalankan kehidupan lebih baik dalam berumah tangga juga menjadi pertimbangan individu.

Dalam upaya mencapai terbina dan terciptanya suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah warrohmah, Islam menganjurkan akan adanya kafa’ah atau kesepadanan antara calon suami istri. Kafa’ah sendiri adalah keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.

Pentingnya Memilih Pasangan yang Tepat

Berdasarkan konsep kafa’ah, seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan hidupnya dengan mempertimbangkan segi harta, keturunan, kecantikan, agama, maupun hal yang lainnya. Adanya berbagai pertimbangan terhadap masalah-masalah tersebut dimaksudkan agar dalam kehidupan berumah tangga tidak didapati adanya ketimpangan dan ketidak cocokan.

Selain itu, secara psikologis seseorang yang mendapat pasangan yang sesuai dengan keinginannya akan sangat membantu dalam proses sosialisasi menuju tercapainya kebahagiaan keluarga. Proses mencari jodoh memang tidak bisa dilakukan secara asal-asalan dan soal pilihan jodoh sendiri merupakan setengah dari suksesnya perkawinan.

Masalah kafa’ah dalam pernikahan menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama fikih klasik. Masing-masing ulama’ fikih klasik mempunyai barometer dan batasan yang berbeda mengenai masalah ini. Dalam hal ini, Amir Syarifuddin menyatakan bahwa apabila disimpulkan hal-hal yang dianggap dapat menjadi ukuran kafa’ah menurut ulama’ fikih klasik selain, yaitu sebagai berikut:

Ulama Hanāfī

Ulama Hanāfī lebih menekankan kafa’ah dalam perkawinan pada aspek: nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan, Islam yakni yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam, hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan.  Kemerdekaan dirinya,  diyanah atau tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam; dan kekayaan.

Ulama’ Malikī

Ulama’ Malikī lebih menekankan kafa’ah dalam perkawinan pada aspek: diyanah, kualitas keberagamaan dalam Islam; dan bebas dari cacat fisik.

Ulama’ Syāfi’ī

Ulama’ Syāfi’ī lebih menekankan kafa’ah dalam perkawinan pada aspek: kebangsaan dan nasab, kualitas keberagamaan, kemerdekaan diri; dan usaha atau profesi.

Ulama’ Hanbalī

Ulama’ Hanbalī lebih menekankan kafa’ah dalam perkawinan pada aspek: kualitas keberagamaan; usaha atau profesi perkerjaan; kekayaan; kemerdekaan diri (hurriyah); dan kebangsaan.

Terlepas dari berbagai pendapat dari para ‘ulama. Standar kafa’ah dalam pernikahan bukanlah menjadi sah atau tidaknya pernikahan.

Pilihan individu ketika memilih pasangan pun berbeda-beda. Istilah “sekufu” yang selalu menjadi pembahasan seseorang menuju pernikahan. Tidak lain sebagai salah satu upaya dalam menciptakan keharmonisan sebuah keluarga yang diridhoi oleh Allah Swt.

Muallifah

Mahasiswa S2 Universitas Gajah Mada, Penulis lepas

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *