Kisah Sya’wanah, Perempuan Saleh yang Takut kepada Tuhan

 Kisah Sya’wanah, Perempuan Saleh yang Takut kepada Tuhan

Seorang Guru Al-Qur’an di Turki Sumbangkan Seluruh Gajinya untuk Gaza (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dalam dunia tasawuf, tokoh perempuan terkadang tidak banyak disebutkan oleh khalayak. Bahkan ketika menyebut tokoh sufi perempuan, yang terlintas dalam benak kita hanyalah Rabi’ah Adawiyah.

Tokoh sufi perempuan tersebut cukup masyhur dengan kisah hidupnya sangat jauh dari kemewahan, bahkan memilih tidak menikah karena dekat dengan Tuhannya.

Alih-alih Rabiah menjadi salah satu tokoh sufi perempuan yang sering disebut-disebut sebagai orang yang menghindar dari kemewahan dunia, bahkan sangat tidak masuk akal untuk hidup sebagai manusia pada umumnya.

Kisah tersebut sering dibahas dalam kajian ataupun dari kabar satu ke kabar lainnya untuk menunjukkan betapa mulianya seorang sufi dalam mencintai Allah hingga tidak memikirkan dirinya sendiri.

Namun selain Rabi’ah, tokoh perempuan sufi lainnya adalah Sya’wanah. Sya’wanah Al-Ubullah diperkirakan hidup pada abad ke-8.

Disebut al-Ubullah karena ia tinggal di Ubullah, daerah di tepi sungai Tigris. Ia berasal dari Persia dan memiliki peran penting sebagai seorang sufi yang hidup pada abad pertengahan.

Berdasarkan beberapa tulisan yang menyebutkan bahwa ia dikagumi oleh Imam Al-Ghazali lantaran dikenal suka menangis karena Allah Swt.

Tidak hanya dikenal lantaran keimanannya kepada Allah, ia juga memiliki suara merdua dengan bacaan Al-Qur’an yang sangat bagus.

Dalam membacakan lantunan ayat suci Al-Qur’an, ia biasa berkhotbah melalui ayat suci tersebut dengan syair indah.

Berdasarkan kemampuannya itu, banyak orang berguru kepadanya serta mengikuti pengajian yang ia lakukan.

Seperti pada umumnya seorang sufi yang dikenal sebagai orang yang jauh dari kemewahan atau menghindarkan diri dari kehidupan duniawi, Sya’wanah juga hidup dengan sangat sederhana bahkan serba kekurangan.

Selama hidupnya, perempuan ini selalu menangis karena kecintaannya kepada Allah Swt.

Berkenaan dengan ini, al-Ghazali mengutip Yahya bin Bustam mengatakan bahwa ia sering menghadiri majelis Sya’wanah. Ia mengatakan,

“Aku akan menangis hingga air mataku kering, lalu aku akan menangis lagi hingga darahlah pengganti air mataku, dan tiada darah lagi yang mengucur dari tubuhku. Aku akan senantiasa menangis.”

Kebiasaan menangis yang dilakukan oleh Sya’wanah semata-mata merupakan tanda kecintaannya kepada Allah.

Kebiasaan tersebut pernah dikatakan oleh Sya’wanah, sebagai berikut,

“Mata yang dicegah untuk memandang Sang Kekasih dan sangat rindu memandangnya, maka tidak akan sempurna tanpa disertai tangisan.”

Melalui kebiasaan menangis itu, Mu’adz ibn Fadhl berkata,

“Sya’wanah banyak menangis hingga kami mengira dia akan buta karenanya. Ketika aku mengatakan hal itu kepadanya, dia menjawab: “Demi Allah, lebih baik bagiku menjadi buta di unia karena air mataku daripada buta di akhirat karena api neraka.”

Diketahui bahwa dalam kisah perjalanan hidupnya sebelum memilih untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan rasa cinta kepada Allah Swt, Sya’wanah merupakan perempuan yang setiap hari pergi ke tempat hiburan.

Pada suatu hari, ia bertemu dengan seorang pendakwah yang  menceritakan tentang sebuah tangisan para pendosa yang menyesali perbuatannya.

Singkat cerita Sya’wana merasa bahwa ia dirinya banyak melakukan dosa dan bertanya apakah Tuhan akan mengampuni semua dosanya itu.

Mendengar pertanyaan tersebut, sang pendakwah menjelaskan bahwa dosanya akan diampuni apabila melakukan taubat dengan sungguh-sungguh.

Berdasarkan pengalaman itu, Sya’wanah kemudian bertaubat dan menyesali segala perbuatan dalam dirinya.

Maka dari itu, ia menjadi orang yang terus menangis, memohon kepada Allah, bahkan membuang segala hal yang ada dalam hidupnya untuk menyembah kepada Allah.

Sya’wanah mengalami kebutaan yang disebabkan deraian air mata penyesalan. Hidupnya digunakan untuk mengabdi kepada Sang Maha kasih.

Seperti halnya Rabi’ah, yang memilih untuk tidak melihat dunia dari kacamata orang-orang pada umumnya dan memilih untuk menyatu dengan Sang Khaliq, Sya’wanah-pun demikian. Keduanya adalah tokoh sufi perempuan yang patut menjadi teladan.

Ia mencurahkan segala hidupnya untuk menggapan Kesempurnaan dan KeindahanNya. []

Muallifah

Mahasiswa S2 Universitas Gajah Mada, Penulis lepas

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *