Kisah Salman Al-Farisi Ketika Masuk Islam

 Kisah Salman Al-Farisi Ketika Masuk Islam

Kisah Salman Al-Farisi Ketika Masuk Islam (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Siapa yang tidak mengenal Salman Al-Farisi r.a. adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw. yang memiliki keahlian dalam strategi peperangan.

Kemampuannya dalam strategi dan taktik menghadapi musuh terbukti ketika Madinah al-Munawarah diserang pada peristiwa Perang Khandaq.

Sebelum memeluk agama Islam, Salman Al-Farisi adalah pemeluk agama Majusi karena ia ia memiliki latar belakang keluarga terpandang di Persia.

Kisah keislaman Salman Al-Farisi bermula ketika ia mulai merasakan rasa keingintahuan terhadap sosok sang pencipta.

Awal Mula Salman Al-Farisi Mencari Kebenaran

Pada suati hari, ayah Salman Al-Farisi meminta ia untuk mengerjakan sejumlah tugas di perkebunan miliknya.

“Anakku, hari ini aku ada kesibukan di luar rumah, bisakah engkau menggantikan tugasku di perkebunan?” pinta ayahnya kepada Salman.

“Tentu saja, ayahku,” jawab Salman.

Tugas dari ayahnya tersebut merupakan awal dari perjalanan Salman Al-Farisi dalam pencarian kebenaran.

Ia pun berangkat menuju  kebun milik ayahnya. Diperjalanan, Salman pun mulai berfikir bahwa inilah saatnya ia memulai perjalanan spiritualnya setelah sekian lama ia selalu dikurung oleh ayahnya dari kehidupan dunia luar.

Dalam perjalanan menuju ke perkebunan, Salman melewati gereja Nasrani dan melihat orang-orang Nasrani sedang melaksanakan ibadah. Ia pun menjadi penasaran dan segera masuk ke dalam gereja tersebut.

Di dalam gereja, ia melihat bagaimana cara orang-orang Nasrani beribadah dan memiliki ketertarikan dengan cara ibadah yang mereka lakukan.

Salman semakin penasaran dan tak beranjak dari gereja tersebut hingga matahari terbenam. Ia melupakan tugas yang ayahnya berikan kepadanya untuk mengurusi perkebunan.

Setelah kembali kerumah, ayahnya bertanya kepada Salman bagaimana pekerjaan yang ia lakukan di perkebunan.

“Bagaimana pekerjaan hari ini diperkebunan, wahai anakku, apakah semuanya dapat engkau selesaikan?” tanya ayah Salman.

“Maafkan anakmu ini wahai ayahku, ketika dalam perjalanan menuju perkebunan, aku bertemu dengan orang-orang Nasrani yang sedang beribadah. Ketertarikan muncul dalam benak hatiku dan aku pun menyaksikan bagaimana mereka beribadah,” jawab Salman kepada ayahnya.

“Apa?” kata ayah Salman dengan terkejut.

“Wahai anakku, tak ada kebaikan dalam agama itu karena agama yang kau anut sekarang yaitu agama nenek moyangmu (Majusi)  jauh lebih baik daripada apa yang mereka anut (Nasrani),” jelas ayahnya.

“Tidaklah demikian wahai ayahku, agama mereka jauh lebih baik daripada agama kita,” bantah Salman Al-Farisi.

Ayah Salman yang merasakan ketakutan apabila Salman Al-Farisi meninggalkan agama leluhurnya yang secara otomatis akan membuat Salman meninggalkan rumahnya menutuskan untuk menguncinya di rumah dan tidak memperbolehkan ia untuk pergi kemanapun.

Salman dikunci dengan rapat dengan rantai terikat kedua kakinya agar ia tidak bisa melarikan diri.

Namun gejolak batin yang ia rasakan memancar secara deras dan menyebabkan ia mencari berbagai macam cara agar ia bisa pergi dari rumahnya.

Hingga pada suatu ketika, Salman Al-Farisi meminta kepada pembantunya untuk pergi mengantarkan pesan kepada orang-orang Nasrani agar memberikan informasi tentang kabilah dagang yang pergi ke Syam.

Berangkatlah pembantunya secara sembunyi-sembunyi ke gereja Nasrani untuk mengantarkan pesan tersebut.

Beberapa hari kemudian, Salman mendapatkan jawaban kapan kafilah dagang berangkat ke Syam.

Maka berangkatlah ia ke Syam bersama kafilah dagang pada hari yang ditentukan setelah pembantunya membantu Salman melepaskan rantai di kakinya.

Setelah tiba di Syam, Salman Al-Farisi bertemu dengan seorang pendeta Nasrani. Kemudian Salman memperkenalkan dirinya.

“Aku adalah seorang Majusi, Dengan kesadaranku, aku ingin menjadi seorang Nasrani. Izinkanlah aku memberikan diriku untuk melayani, belajar dari engkau, dan beribadah bersama engkau,” kata Salman kepada pendeta tersebut.

“Baiklah, Aku akan membantumu belajar agama Nasrani,” jawab pendeta kepada Salman.

Setelah itu, Salman Al-Farisi menjadi pemeluk agama Nasrani. Ia menjadi pelayan sekaligus murid teladan di gereja tersebut.

Akan tetapi tak lama kemudian Salman Al-Farisi menemukan kenyataan bahwa pendeta memiliki sisi gelap yang merusak.

Pendeta itu adalah seorang koruptor. Ia memerintahkan para jemaah untuk bersedekah, tapi hasil sedekah itu digunakan hanya untuk memperkaya diri sendiri.

Ketika pendeta itu meninggal dunia dan umat Nasrani berkumpul untuk menguburkannya, Salman Al-Farisi berpidato di depan para jamaah itu.

“Aku tidak melihat kebaikan dalam diri pendeta yang baru saja kita kuburkan hari ini,” kata Salman Al-Farisi dalam pidatonya yang membuat semua jama’ah terkejut.

“Wahai Salman, apa yang kau katakan?” bantah seorang jama’ah seraya bertanya-tanya.

“Kalian akan terkejut bila aku tunjukkan buktinya, sama seperti keterkejutan yang aku alami sewaktu menemukan bukti keburukan pendeta itu.”

“Apa yang kau temukan?” tanya orang-orang yang semakin penasaran.

“Aku menemukan dalam gereja itu ada sebuah bunker yang berisi tujuh guci,” kata Salman Al Farizi.

“Guci-guci itu berisi emas dan perak hasil dari sedekah yang kalian sumbangkan.”

Semua jama’ah sangat terkejut dengan pernyataan Salman Al-Farisi itu. Mereka berbondong-bondong menuju gereja dan membuktikan apa yang dikatakan Salman Al-Farisi.

Dan benar saja mereka menemukan harta melimpah dalam bunker tersebut.

Setelah berhasil membuktikan keburukan pendeta itu, Salman Al-Farisi pergi untuk mencari orang saleh lainnya.

Ia mengunjungi berbagai tempat sampai bertemu dengan seorang pendeta yang saleh.

Pendeta tersebut berkata kepada Salman, “Pergilah engkau ke Jazirah Arab! Di sana telah datang seorang Nabi yang memiliki kejujuran, yang selalu berbuat kebaikan dan tidak memakan sedekah untuk dirinya sendiri.”

Salman Al-Farisi yang mendengar perkataan tersebut berencana pergi ke Arab.

Pada saat itu, pedagang dari Bani Kalb sedang mengadakan perjalanan dagang ke negeri Arab. Salman Al-Farisi memberikan uang yang dimilikinya agar diizinkan ikut dalam rombongan tersebut.

Pertemuan Salman Al-Farisi dengan Nabi Muhammad Saw.

Para pedagang itu setuju untuk membawa Salman. Sayangnya, ketika mereka tiba di Wadi al-Qura, antara Syam dan Madinah, para pedagang itu mengingkari janji.

Salman Al-Farisi dijadikan seorang budak dan dijual kepada seorang Yahudi.

Ketika menjadi budak orang Yahudi itu, Salman Al-Farisi diajak pergi ke Yatsrib (Madinah).

Di Madinah itu, Salman Al-Farisi bertemu dengan rombongan Nabi Muhammad saw. yang baru hijrah dari Makkah.

Kemudian Salman Al-Farisi dibebaskan dengan uang tebusan yang dikumpulkan oleh Nabi Muhammad.

Salman Al-Farisi sangat gembira sekali. Ia bisa bertemu langsung dengan seorang Nabi yang diceritakan oleh pendeta itu.

Ia menemukan kebenaran dari perkataan pendeta itu. Nabi Muhammad Saw. mengumpulkan harta dari orang-orang untuk menebus dirinya dari seorang Yahudi.

Nabi Muhammad tidak menggunakan harta sedekah itu untuk kepentingannya sendiri.

Kegemberiaan lain yang tidak kalah penting bagi Salman Al-Farisi adalah ia diterima dan diakui sebagai bagian dari kaum muslimin di tengah-tengah kaum Muhajirin dan kaum Ansor yang disatukan sebagai saudara.

Salman adalah orang pertama yang memeluk agama Islam dari luar dua golongan itu.

Setelah masuk Islam, Salman Al-Farisi terus berkontribusi dalam dakwah Nabi Muhammad saw. hingga Nabi Muhammad wafat.

Salah satu kontribusi besarnya adalah pada Perang Khandaq. Strategi membangun parit di sekeliling kota Madinah berhasil melindungi Madinah dari invasi kaum kafir Quraisy beserta sekutu-sekutunya. []

Muhammad Ahsan Rasyid

Muhammad Ahsan Rasyid, magister BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sukarelawan. Tinggal di Yogyakarta, dapat disapa melalui Email: rasyid.ahsan.ra@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *