Kisah Perjalanan Hidup Imam Al Ghazali
HIDAYATUNA.COM – Imam Al Ghazali lahir tahun pada 450 Hijriah dan wafat pada 505 Hijriah /1111 Masehi di Thus. Mengenai tempat kelahirannya, ada yang menyebut di daerah Thus dan di daerah Ghazalah (dekat Thus) di Khurasan (wilayah Iran). Karena berasal dari daerah Ghazalah, lebih dikenal dengan nama Al Ghazali.
Nama lengkap Imam Al Ghazali, ada beberapa versi mengenai nama lengkap diantaranya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Thusi Al Ghazali dan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazali. Gelarnya yang paling popular adalah Hujjah Al Islam.
Menurut B.B Mac Donald, kebesaran Imam Al Ghazali di Dunia Islam dapat disejajarkan dengan Augustinus atau Thomas Aquinas di Dunia Kristen. Nama besar Imam Ghazali ini menarik perhatian umat Islam untuk memberi nama bayi mereka dengan Ghazali. Kita sering menemukan orang disekitar kita, saudara atau tetangga kita yang bernama Ghazali, misalnya ada KH. Ghozali (pendiri Pesantren Sarang Rembang yang wafat pada 1856 Masehi), Effendi Ghazali (Pakar Ilmu Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia), Abdul Moqsit Ghozali (Pengajar di Institut Agama Islam Ibrahimy, Pesantren Sukorejo Situbundo) dan lain-lain.
Di Mesir juga ada cendikiawan muslim produktif yang bernama Muhammad Al Ghazali. Di antara karyanya adalah Aqidah Al Muslim, Khuluq Al Muslim dan Laisa min Al Islam (tokoh dari Mesir yang menulis lebih dari 60 kitab ini wafat pada 1998 Masehi).
Bagaimana membedakan karya dari kedua Ghazali ini yang sama-sama ditulis dalam Bahasa Arab (Ihya’ Ulum Al din ditulis dengan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali), sedangkan nama tokoh dari Mesir dengan nama yang mirip ini ditulis dengan Muhammad Al Ghazali. Dengan demikian, jika hanya disebut (Al Ghazali) ada dua kemungkinan yang dimaksud Abu Hamid Al Ghazali (W. 505 Hijriah /1111 Masehi) atau Muhammad Al Ghazali (1998).
Karena itu, perlu lebih cermat jika membeli buku yang ditulis oleh orang yang bernama Ghazali. Sebab, tidak hanya satu orang pemilik nama yang berakhiran Ghazali.
Imam Al Ghazali berasal dari keluarga yang religius, taat beragam. Ayahnya bekerja sebagai pemintal (pembuat benang wol) dan penjual wol untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ayah Imam Ghazali hidup sederhana sebagai bentuk pengamalan tasawuf. Dia dikenal sebagai orang yang sangat mencintai ulama dan berharap anak-anaknya kelak menjadi ulama. Ketika ada waktu luang, ayahnya Imam Ghazali mengunjungi para ulama untuk sekedar duduk bersama, mendengarkan nasihat-nasihat mereka. Terkadang ayah Imam Ghazali menangis mendengar nasehat para ulama tersebut.
Ayah Imam Al Ghazali sangat hormat kepada para ulama dan selalu berdoa agar anaknya menjadi seperti orang-orang yang mengaguminya. Doa ayah Imam Ghazali ini di kabulkan Allah Swt. keduanya anaknya menjadi ulama besar di antaranya Imam Ghazali dan Ahmad Al Ghazali. Sayangnya, ketika anak-anaknya menjadi ulama besar, orang tua Imam Ghazali tidak dapat menyaksikan keberhasilan anaknya. Dia telah menghadap sang Khaliq sebelum anak-anaknya dewasa menjadi ulama besar.
Meski ayahnya sendiri yang mengajarkan langsung untuk belajar membaca Al Qur’an kepada Imam Al Ghazali semasa kecilnya. Kemudian, Imam Ghazali berguru kepada teman ayahnya yang menjadi Sufi besar yang bernama Ahmad bin Muhammad Al Rizkani. Sebelum ayah Imam Ghazali meninggal telah menitipkan anaknya yang bernama Imam Ghazali kepada tokoh tersebut.
Kepada tokoh tersebut, Imam Al Ghazali mempelajari Al Quran, Hadist, Fikih, Riwayat hidup para tokoh sufi dan menghafal syair-syair tentang mahabbah (cinta) kepada Allah Swt.
Selanjutnya Imam Al Ghazali masuk ke sebuah sekolah yang menyediakan beasiswa bagi para muridnya. Ditempat ini Imam Ghazali berguru kepada Imam Yusuf Al Nasjj yang juga seorang tokoh sufi. Kemudian Imam Ghazali meneruskan studinya ke Jurjan untuk memperdalam pengetahuan Bahasa Arab dan Bahasa Persia serta ilmu-ilmu keislamnya lainnya. Diantaranya gurunya di Jurjan adalah Imam Abu Nashr Al Isma’ii. Lalu Imam Ghazali melanjutkan rihlah ilmiahnya ke Nisapur dan masuk Madrasah Nizhamiyah.
Ketika itu Madrasah Nizhamiyah adalah lembaga pendidikan yang paling terkenal dunia islam. Madrasah ini didirikan oleh Wazir (perdana Menteri) Nizham Al Muluk sehingga dinamakan Nizhamiyah. Termasuk guru Imam Ghazali di Madrasah ini adalah Imam Al Haramain yang juga dikenal dengan nama Imam Al juwaini. Imam Al Haramain ini termasuk ulama besar aliran Asy’ariyah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) dan menjadi pimpinan (menjadi rektor dalam istilah kampus) Madrasah Nizhamiyah.
Imam Al Ghazali juga pernah belajar ke Thus selama tiga tahun. Dalam bidang tasawuf, bersama dengan guru Imam Ghazali adalah Imam Yusuf Al Nasjj dan Imama Al Zahid Abi’ Ali Al Fadl bin Muhammad bin Ali Al Farmudzi Al Thusi. Lalu dalam bidang hadist, Imam Al Ghazali belajar dengan guru-guru yaitu Abu Sahl Muhammad bin Ahmad Al Hifsi Al Maruzi (mengajarkan kitab Shahih Al Bukhari). Abu Fath Nashr bin Ali Bin Ahmad Al Hakimi Al Thusi, Abu Muhhamad bin Ahmad Al Khuri, Muhammad bin Yahya bin Muhammad Al Suja’I Al Zu’zini, Al Hafizh Abu Fityan Umar bin Abi Al Hasan Al Ruwaisi Al Dahastani, dan Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi.
Dengan berguru dari beberapa ulama, pengetahuan Imam Al Ghazali semakin luas dengan belajar Madrasah Nizhamiyah. Kecerdasan Imam Ghazali menarik perhatian Imam Al Haramain. Akhirnya Imam Ghazali dijadikan sebagai salah satu pengajar yang di gantikan atau membantunya mengajar (menjadi asisten dosen dalam istilah kampus).
Karir Imam Al Ghazali semakin menanjak setelah ditinggal wafat sang gurunya bernama Imam Al Haramain. Selepas gurunya ini wafat, Imam Ghazali pergi ke daerah Nisapur untuk menjumpai Wazir Nizham Al Muluk (Pendiri Madrasah Nazhamiyah), Sultan Alp Arselan anaknya (Malik Syah), mendapatkan sambutan yang hangat dari pemerintah dan banyak juga ulama yang hadir untuk menyambutnya.
Lalu Imam Al Ghazali dipercaya mengajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad dulu sebagai asisten dari Imam Al Haramain sejak 484 H. Banyak murid yang berguru kepada Imam Ghazali dari kalangan ulama maupun dari pemerintahan. Di Madrasah Nizhamiyyah diperkirakan ada sekitar 300 hingga 400 ulama yang pernah belajar kepada Imam Ghazali, sehingga mendapatkan perhatian besar dari murid-muridnya. Di antaranya
- Qadli Abu Nashr Ahmad bin Abd Allah bin Abd Al Rahman Al Khamsani Al Bahuni (544 Hijriah).
- Al Imam Abu Fath Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Burhan Al Ushuli (544 Hijriah).
- Abu Manshur Muhammad bin Ismail bin Al Husain bin Al Qasim Al Athari Al Thusi Al Waidz (573 Hijriah).
- Abu Sa’id Muhammad bin As’ad bin Muhammad Al Nauqani yang dijuluki Al Sadid (544 Hijriah).
- Abu Abd Allah bin Abd Allah bin Tumarat yang dijuluki Al Mahdi (548 Hijriah).
- Abu Hamid Muhammad bin Abd Al Mulk Al Jauzaqani Al Asfirayani (548 Hijriah).
- Abu Abd Allah Muhammad bin Ali bin Abd Allah Al Iraqi Al Baghdadi (548 Hijriah).
- Abu Sa’id Muhammad bin Ali bin Abd Allah Al Iraqi Al kurdi (548 Hijriah).
- Abu Imam Abu Sa’id Muhammad bin Yahya bin Manshur Al Naisaburi (548 Hijriah).
- Abu Thahir Ibrahim bin Al Muthahar Al Jurjani (513 Hijriah).
- Dan Abu Abd Allah Al Husain bin Nashr bin Muhammad Al Juhani Al Mushi (522 Hijriah).
Lima tahun lamanya beliau mengajar di Madrasah Nizhamiyah (484-489 Hijriah / 1090-1095 M). Kemudian tokoh ini merasa tidak tenang, ada kegaduhan, ragu-ragu apakah yang dilakukannya telah benar atau salah. Kegaduhan atau keragu-raguan ini timbul setelah Imam Al Ghazali mendalami ilmu Kalam yang di ajarkan Imam Al Juwaini.
Akhirnya pengembara Imam Al Ghazali mencari kebenarannya dengan ilmu tasawuf setelah panca indranya tidak selalu benar yang digambarkan seperti karyanya yang berjudul Al Munqidz min Al Dlalal yang merupakan gambaran proses beliau mencari kebenarannya. Ilmu tasawuf yang berdasarkan kalbu atau hati dapat menenangkan kegelisahan jiwa yang dialaminya.
Pada 1095 Masehi, tokoh ini meninggalkanya Madrasah Nizhamiyah. Imam Ghazali mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya ditinggalkan setelah diberi bekal secukupnya. Sepuluh tahun lamanya Imam Ghazali menjalani hidup Zuhud, menikmati kehidupan dunia seperlunya dan berpindah-pindah tempat.
Hingga orang-orang tidak lagi mengenal dia yang sebenarnya adalah seorang besar dan pengajar lembaga pendidikan ternama di Madrasah Nazhimyah. Kemudian Imam Al Ghazali melakukan uzlah atau menyendiri di Masjid Damaskus. Lalu ulama besar ini pindah ke Baitul Maqdis dan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah serta berziarah ke makan syuhada dan tempat bersejarah.
Selanjutnya beliau pindah ke Iskandariyah (Alexandria) Mesir. Pada 1105, Imam Al Ghazali kembali ke Baghdad untuk mengajar kembali ke sekolahan tersebut. Ini dilakukan karena permintaan untuk memenuhi Fakr Al Muluk, putra Nizam Al Muluk. Namun tidak begitu lama mengajar yang kedua kalinya di sekolahan itu yang sudah membesarkan namanya dan kembali ke daerah asal kelahirannya, membentuk pengajian halaqah. Kegiatan ini dilakukan beliau hingga wafat pada 505 Hijriah / 1111 Masehi.