Kisah Perang Khaibar di Tahun Ketujuh Hijriyah

 Kisah Perang Khaibar di Tahun Ketujuh Hijriyah

Kisah Perang Khaibar di Tahun Ketujuh Hijriyah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Salah satu episode peperangan Nabi Muhammad saw. yang paling epik dalam mematahkan kekuatan Yahudi adalah perang Khaibar di tahun ketujuh Hijriyah.

Sebenarnya pertempurannya sendiri tidak dahsyat-dahsyat amat, namun tindakan merampas kebun-kebun kurma Yahudi yang selama ini jadi sumber pendanaan perang mereka itulah yang sangat brilyan.

Rupanya selama ini perlawanan Yahudi sangat mengandalkan kekuatan dana yang mengalir lancar dari hasil panen kurma Khaibar.

Bahkan sampai bisa menggerakkan 10 ribu pasukan musyrikin Arab untuk mengepung Madinah dalam perang Khandaq di tahun kelima hijriyah, semua karena ada aliran dananya yang begitu deras.

Tenaganya pakai tentara Arab, tapi sponsornya dari Yahudi. Makanya disebut perang Ahzab yang terdiri dari banyak kelompok musuh yang bersatu. Enemy of my enemy is my friend.

Disitulah Nabi SAW berpikir bagaimana mengambil alih kebun-kebun kurma Khaibar yang subur dan jadi sumber pendanaan abadi Yahudi selama ini.

Lalu terjadilah perang Khaibar yang epik itu. Kemudian jadilah kebun-kebun kurma itu jadi ghanimah yang dikelola secara istimewa dan unik.

Intinya sejak kebun-kebun kurma Yahudi diambil alih oleh Nabi SAW, nyaris semua bentuk perlawanan Yahudi sepanjang Sirah nabawiyah rontok dimana-mana.

Ibaratnya jantung sebagai pensuplai aliran darah sudah dicabut., maka tidak bisa lagi memompa aliran darah ke seluruh tubuh. Akibatnya tubuh jadi lunglai, letoy dan langsung terjungkal.

Sejak ditaklukkan dalam perang Khaibar, sudah tidak pernah lagi kita dengar para Yahudi berulah.

Mereka bukan dimatikan, tapi ibarat macan, mereka sudah dijinakkan dan dikurung dalam kerangkeng besi.

Mereka sudah jadi anggota kebun binatang, bahkan jadi macan sirkus. Jadi tontonan anak-anak yang lagi liburan ke Ragunan.

Tiap hari macan-macan jinak itu kita masih dikasih makan, tetap kita pelihara dengan lembut dan semangat mencintai makhluk hidup.

Dan jadilah hidup dan kehiduan mereka sepenuhnya tergantung belas kasihan dari Nabi SAW dan para khalifah muslimin sesudahnya.

Uniknya meski halal bagi Nabi SAW untuk membantai seluruh Yahudi Khaibar kala itu, tapi prinsip Islam itu pada dasarnya anti genosida.

Para petani kurma Yahudi itu tidak dihukum mati seperti pada perang Bani Quraizhah sebelumnya. Mereka dibiarkan hidup, bahkan tetap dipekerjakan di kebun-kebun kurma.

Bedanya kalau dulu yahudi-yahudi itu bertani di lahan milik mereka sendiri, kini mereka sekedar jadi buruh tani yang bekerja di ladang milik kaum muslimin.

Disitulah nantinya dikenal istilah muzara’ah dan muhaqalah alias bagi hasil antara  pemilik ladang dengan tenaga pekerja.

Yang lebih unik lagi adalah sikap Nabi SAW yang tetap memuliakan puteri kepala suku Yahudi Bani Nadir yang tertangkap jadi budak.

Sebagai budak tawanan perang, seharusnya perempuan budak  memang harus siap menerima nasib ketika tubuhnya dijual bebas dan dilelang di pasar budak.

Bisa jadi punya majikan yang  bergonta-ganti, resikonya harus siap disetubuhi oleh pemenang lelang begitu saja. KAlau sudah bosan, bisa dijual lagi di pelelangan berikutnya.

Pokoknya kasihan banget kalau ada pihak yang kalah perang, bukan hanya mati jadi bangkai dan hartanya dirampas, tapi juga nama baiknya dipermalukan.

Karena otomatis istri dan anaknya dipastikan akan jadi budak di pelelangan budak. Memang begitulah kekejaman hidup di abad ketujuh masehi.

Rupanya para shahabat yang awalnya menjadi majikan budak itu punya pikiran mulia. Sebab perempuan ini asalnya wanita mulia, nasib sial saja yang membawanya jadi budak karena kaumnya kalah perang.

Maka mereka serahkan budak perempuan kalah perang itu kepada Nabi SAW. Biar nasibnya nanti diselesaikan langsung oleh sang utusan Allah yang berhati mulia dan akhlaqnya Al-Quran.

Sebagai tuan pemilik budak, sikap Nabi SAW memang luar biasa. Budak perempuan itu tidak diperlakukan sebagaimana halnya budak, tetapi malah diajaknya bicara dari hati ke hati.

Perempuan budak itu tidak diperlakukannya sebagai tawanan, apalagi sebagai budak yang diperjual-belikan di pasar pelelangan budak.

Ternyata Nabi SAW menyentuhnya dari sisi kemanusiaan, bahkan dari perspektif hak-hak seorang puteri kepala suku. Meski sempat jadi musuh besarnya, tapi Nabi SAW tetap menghormatinya sebagai tokoh besar.

Maka sampai disini kita ganti sebutannya, bukan lagi budak perempuan, tetapi kita sebut dia sebagai puteri kepala suku.

Dan ternyata si puteri banyak mendapat pencerahan dari hasil diskusi dengan Nabi SAW.

Dari hasil obrolan itu sang Puteri jadi tahu lebih valid bahwa Nabi SAW yang selama ini digambarkan sedemikian buruk oleh sukunya, bahkan oleh ayahandanya sendiri, ternyata justru seorang dengan pribadi yang amat ramah, baik, menyenangkan dan amat manusiawi.

Sang Puteri baru tahu kalau  Nabi SAW itu ternyata amat sangat mencintai para nabi dari kalangan Bani Israil, seperti Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya hingga Isa.

Bahkan NAbi SAW banyak tahu banyak tentang kisah para leluhur Bani Israil, lebih dari apa yang dirinya ketahui sebagai Puteri kepala suku Yahudi sekalipun.

Intinya sang Puteri langsung klepek-klepek kalau melihat kharisma Nabi Muhammad SAW. Bersama Nabi SAW, sang Puteri tidak merasa sebagai budak, tapi sebagai teman ngobrol yang banyak menghibur dan mengisi kekosongan jiwanya.

Ujung-ujungnya sang Puteri merasa tertarik dengan agama Islam, bahkan berakhir dengan keyakinan mantab untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.

Asyhadu anla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah.

Mendengar berita keislaman sang Puteri, Nabi SAW pun memberinya penghargaan besar. Bentuknya adalah hadiah berupa pembebasan dirinya dari status perbudakan.

Maka jadilah sejak itu sang Puteri naik kelas, kembali dari berstatus budak menjadi seorang manusia merdeka.

Semua atas kebaikan pribadi seorang Muhammad SAW, orang yang dulunya dianggapnya sebagai musuhnya.

Ternyata penghargaan yang Nabi SAW berikan tidak hanya berhenti sampai disitu saja.

Tidak berapa lama Nabi SAW melamar sang Puteri mantan Yahudi itu untuk naik derajat menjadi istrinya.

Ini namanya mendapat durian runtuh. Berapa banyak wanita shahabiyah yang muslimah dan shalihah yang mendambakan bisa menjadi istri Nabi SAW.

Dan sebanyak itu juga yang ditolak oleh Beliau.

Hanya wanita-wanita pilihan Allah yang beruntung saja yang bisa menjadi pendamping hidup seorang nabi akhir zaman.

Dan ini Nabi SAW sendiri yang datang melamarnya. Bodoh sekali kalau sampai menolak lamaran sang Nabi. Cukup masuk akal dan logis untuk menerima lamaran sang nabi.

Maka resmilah dirinya menjadi istri Nabi Muhammad SAW. Kedudukannya naik lagi di atas rata-rata para wanita muslimah, yaitu menjadi ibu dari kaum muslimin.

Tiba-tiba dirinya yang semula hanya budak yang sangat berpotensi diperjual-belikan sebagai komoditas pasar budak, kini naik derajat setinggi-tingginya bergelar ibu dari orang-orang muskmin (Ummul mukminin) radhiyallahuanha.

Berdiri sama tinggi sederajat dengan para istri nabi yang lain seperti Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, dan istri-istri lainnya, ridhanullahi alaihim ajmain.

Uniknya, dari semua istri Nabi SAW, hanya dia satu-satunya yang mantan seorang Yahudi, puteri kepala suku Yahudi kafir pimpinan suku Bani Nadir Huyay bin Akhtab.

Ayahnya mati sebagai kafir Yahudi. Tapi putrinya jadi istri Nabi SAW yang dimuliakan seluruh kaum muslimin.

Dia bernama Shafiyah binti Huyai Al-Akhtab radhiyallahu anha.  Masih keturunan Nabi Harun alaihissalam.

Sekali lagi terbukti bahwa tidak semua Bani Israil itu kafir. Banyak juga yang dapat hidayah dan masuk Islam, bahkan menjadi istri Nabi SAW.

Selain Shafiyah, ada juga tokoh Yahudi yang masuk Islam, seperti Ka’ab Al-Ahbar dan Abdullah bin Salam.

Di luar dari yang masuk Islam, sebagian Yahudi ada yang masih memegang agama lama, tapi datang menyerahkan diri kepada Nabi SAW bahkan minta perlindungan.

Mereka ini kemudian dilindungi oleh Nabi SAW dan dijamin keamanannya, sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah.

Mereka inilah yang dalam ilmu fiqih dikenal sebagai kafir dzimmi. Orang kafir yang hidup berdampingan dengan kaum muslimin dan dilindungi.

Selama 14 abad, keberadaan Yahudi selalu ada di bawah bayang-bayang para Khalifah muslimin.

Mereka adalah pihak yang lemah dan kalau tidak dilindungi oleh para penguasa muslim, boleh jadi sudah punah.

Lalu bagaimana sampai muncul Yahudi yang sekarang jadi kekuatan besar, nah nanti diteruskan lagi ceritanya dijilid dua (bersambung isnyaallah). []

Ahmad Sarwat

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *