Kisah Penyesalan Syeikh Muhammad Al-Hariri
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Syeikh Muhammad Al-Hariri adalah murid sekaligus pengganti kedudukan Syeikh Junaid Al- Baghdadi.
Syeikh Muhammad Al-Hariri adalah seorang pengembara yang haus akan ilmu. Beliau pernah bermukim di kota-kota terpelajar dan juga pernah tinggal di Mekkah.
Sebagai seorang sufi yang sangat alim, beliau selalu berpuasa pada siang hari namun tak pernah terlihat berbuka.
Di malam hari kadang beliau pun melanjutkan untuk berpuasa.
Waktu malam ia habiskan untuk shalat, hingga punggungnya tidak pernah menyentuh pem- baringan untuk beristirahat.
Ketika berusia enam puluh tahun, beliau duduk di makam Qibtiyah dan ditanya mengenai keistimewaan yang pernah dijumpainya.
Kemudian beliau bercerita tentang sebuah peristiwa. Ketika itu, Syeikh Muhammad Al-Hariri sedang duduk di sudut ruangan.
Tiba-tiba, seorang pemuda yang tak bertutup kepala dan tak beralas kaki masuk dengan rambut terurai.
Wajahnya terlihat pucat. Pemuda itu terlihat mengambil wudhu dan shalat dua rakaat.
Sesudah itu, ia menundukkan kepala hingga masuk waktu Magrib. Pemuda itu shalat berjamaah dengan Syeikh Muhammad Al-Hariri.
Selesai shalat, ia kembali menundukkan kepalanya. Tepat pada malam harinya, Khalifah Baghdad mengundang kaum sufi untuk ceramah agama.
Ketika Syeikh Muhammad Al-Hariri hendak ber- angkat menuju istana, pemuda itu ditanya.
“Wahai, anak muda,” kata Syeikh Muhammad Al Hariri.
“Maukah engkau ikut bersamaku memenuhi panggilan Khalifah?”
“Aku tidak membutuhkan itu,” jawab si pemuda itu. “Yang aku inginkan adalah makanan darimu.”
“Jawabannya tak sesuai dengan harapanku. Dia justru menuntut sesuatu dariku,” kata Syeikh Muhammad Al-Hariri dalam hati.
Seketika itu, Syeikh Muhammad Al-Hariri pun tak memedulikannya. Pemuda itu ia biarkan saja.
Syeikh Muhammad Al- Hariri segera berangkat ke tempat pengajian yang diselenggarakan oleh Khalifah.
Sepulang dari pengajian itu, Syeikh Muhammad Al-Hariri kembali ke tempat semula, di sudut ruangan.
Pemuda itu seolah-olah sudah tidur, maka Syeikh Muhammad Al-Hariri pun mulai tidur.
Dalam tidurnya, Syeikh Muhammad Al-Hariri bermimpi melihat Rasulullah shalallahu alaihi wasalam.
Rasulullah bersama dua orang tua yang keduanya berkemilau cahaya.
Di belakangnya ada satu rombongan besar dengan wajah-wajah bersinar terang.
Syeikh Muhammad Al-Hariri pur pun diberi tahu bahwa itu adalah Rasulullah shalallahu alaihi wasalam yang didampingi Nabi Ibrahim a.s. di sisi kanan dan Nabi Musa a.s. di sisi kiri beliau.
Sedangkan rombongan di belakangnya adalah para Nabi yang berjumlah 124.000 orang.
Mengetahui hal itu, Syeikh Muhammad Al-Hariri segera menghampiri Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan berusaha menjabat tangannya.
Namun, beliau palingkan wajahnya yang mulia itu dari pandangan Syeikh Muhammad Al-Hariri.
Tiga kali Syeikh Muhammad Al-Hariri kembali mencoba memandang wajah Rasulullah, namun tiga kali pula beliau memalingkan wajahnya.
“Ya Rasulullah,” kata Syeikh Muhammad Al-Hariri. “Apa yang membuat engkau memalingkan wajah dari hamba?”
“Sungguh engkau telah berlaku kikir ketika ada seorang fakir dari golongan kami menginginkan makanan darimu,” sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam.
“Engkau telah membiarkannya dalam keadaan lapar malam ini.”
Seketika itu juga, Syeikh Muhammad Al-Hariri terbangun dengan hati yang diliputi ketakutan luar biasa.
Tubuhnya gemetar dan menggigil. Ketika dilihat, pemuda itu sudah tidak ada di tempatnya semula.
Syeikh Muhammad Al-Hariri segera mencarinya keluar. Ketika melihat pemuda itu, maka segera dipanggilnya,
“Hai anak muda,” kata Syeikh Muhammad Al-Hariri. “Demi Allah yang telah menciptakan dirimu, tunggulah sebentar. Ini makanan untukmu!”
Pemuda itu memandang Syeikh Muhammad Al-Hariri dan tersenyum padanya,
“Wahai Syeikh Muhammad Al Hariri,” kata Pemuda itu.
“Siapakah yang menginginkan sesuap makanan darimu? Mana bisa 124.000 nabi yang kau jumpai dalam mimpi itu menolongmu hanya dengan sesuap makanan?”
Setelah berkata begitu, pemuda itu menghilang di kegelapan malam. Syeikh Muhammad Al-Hariri termangu sendiri. Beliau sangat menyesal telah berpikir buruk kepada orang lain. []