Kisah Pengalaman Achmad Djajadiningrat Saat Nyantri di Pesantren

 Kisah Pengalaman Achmad Djajadiningrat Saat Nyantri di Pesantren

 Ketika Perbedaan Itu Terbatas antara Para Ulama Saja (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Dalam sejarahnya, dunia pesantren sesungguhnya sangat dekat dengan kehidupan para bangsawan di Nusantara. Salah satunya kisah pengalaman Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1877-1943) yang memiliki memoar tak terlupakan saat dirinya nyantri di pondok pesantren.

Ia tercatat sebagai salah seorang tokoh menak (bangsawan lokal) Sunda yang pernah menjabat sebagai bupati Serang, bupati Batavia dan juga anggota volksraad. Achmad Djajadiningrat menuliskan memoar perjalanan hidupnya dalam bahasa Belanda berjudul “Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat”.

Menurut pakar filologi Islam, A. Ginanjar Sya’ban, memoar tersebut diterbitkan pada tahun 1936 di Batavia. Versi terjemahan bahasa Indonesia dari memoar tersebut berjudul “Kenang-kenangan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat” (Balai Pustaka, 1936), lalu “Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat” (Paguyuban Keturunan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, 1996).

“Dalam memoar itu, Achmad Djajadiningrat mengisahkan pengalaman didaktisnya yang ia dapatkan di masa remajanya saat belajar di lembaga pendidikan Islam tradisional atau pesantren. Pada akhir dekade 1880-an, Achmad belajar di Pesantren Karundang, salah satu pesantren tua di wilayah Serang (Banten),” tulis Ginanjar Sya’ban dalam catatannya yang diunggah di akun Facebook pribadinya, dikutip Jumat (16/7/2021).

Di pesantren tersebut lanjut Ginanjar, Achmad Djajadiningrat juga berkawan dengan Rd. Moehammad Isa b. Rd. Asta Soetaningrat (1873-1940), yang di kemudian hari menjadi penghulu besar Serang, lalu kepala pengadilan agama tinggi Batavia.

Menjalani Kehidupan Santri

Saat nyantri, Achmad yang merupakan anak seorang menak pun menjalani kehidupan ala santri. Di sana ia mempelajari kitab-kitab dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam tingkat dasar, seperti fikih, tauhid, dan tata bahasa Arab.

“Namun demikian, ketika baru saja sampai pada pelajaran kitab “al-Âjjurûmiyyah” (dalam ilmu tata bahasa Arab), ia harus pulang disebabkan sakit. Achmad mengatakan bahwa sebenarnya ia enggan untuk meninggalkan pesantren karena hatinya sudah sangat terpaut dengan kehidupan di dalamnya dan juga sangat menikmati akan ilmu-ilmu yang ia pelajari di sana,” ungkap Ginanjar.

Ginanjar menambahkan, saat berada di rumahnya itu, ayah Achmad, Rd. Aria Natadiningrat menerima surat dari kakaknya, yaitu Rd. Adipati Soetadiningrat, agar memasukkan Achmad ke sekolah “Belanda” yang baru saja dibuka di Pandeglang.

“Dalam buku memoar tersebut, Rd. Adipati Aria Achmad Djajadiningrat juga banyak menyertakan foto-foto Pesantren Karundang beserta dengan teks keterangan di bawahnya. Hal ini tentu sangat menarik, karena di sana Achmad memberikan kepada kita gambaran yang hidup dan cukup utuh terkait potret kehidupan pesantren di Tatar Sunda pada masa peralihan akhir abad 19 dan awal abad 20,” jelasnya.

Misalnya, terdapat foto bangunan pesantren dengan keterangan “En pondok van de pasantren te Karoendang. In mijn tijd was het gebouw van bamboe, thans is het van steen, alleen de dakbedekking is nog steeds van atap (Bangunan pondok di pasantren Karoendang. Dulu bangunannya terbuat dari bahan bambu, sekarang dari batu, hanya atapnya saja yang masih terbuat dari “atap” [injuk])”.

“Terdapat juga foto yang menggambarkan suasana sungai yang airnya jernih dan mengalir di samping pesantren. Di sungai itulah para santri berwudhu dan juga membersihkan diri. Tertulis keterangan pada foto tersebut: “Het beekje bij de pasantren van Karoendang, waar de santri’s zich vijfmaal daags ritueel wasschen (Sungai di pasantren Karoendang, tempat para santri membasuh diri untuk ritual [shalat] lima kali sehari)”,” sambungnya.

Romandhon MK

Peminat Sejarah Pengelola @podcasttanyasejarah

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *