Kisah Nu’aim bin Hammad dan Kitab Al-Fitan

 Kisah Nu’aim bin Hammad dan Kitab Al-Fitan

Menyoal Dua Kisah Menggugah yang Tidak Jelas Sumbernya (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sebagian penceramah begitu hobi berbicara tentang akhir zaman.

Apalagi di saat umat Islam berada dalam kondisi tertindas dan terzalimi seperti saat ini.

Maka pembicaraan tentang, diantaranya, akan datangnya Imam Mahdi Sang Penyelamat akan sangat ‘laku’.

Entah ini menjadi salah satu musalliyah (penghibur) di tengah kesedihan, kemarahan dan kekesalan terhadap kondisi yang ada, atau memang banyak orang yang suka mendengar ‘ramalan’ masa depan.

Tentu tidak sedikit hadits shahih yang bisa dijadikan pegangan tentang akhir zaman.

Namun hadits-hadits itu bersifat umum dan lebih banyak berupa isyarat-isyarat. Misalnya, di antara tanda kiamat itu banyak terjadi musibah, gempa bumi, perzinahan dan sebagainya.

Adapun hadits-hadits yang berisi tanda-tanda yang detail, menyebut nama, tahun, apalagi tanggal, atau sesuatu yang sangat kongkrit seperti keringnya sungai, terdengarnya suara, tampaknya cahaya dan sebagainya, sebagian besar hadits-hadits itu adalah lemah dan palsu.

Bahkan kalaupun haditsnya shahih cara memahaminya yang keliru, seperti hadits riwayat Muslim:

وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَضَ

Artinya: “Aku diberikan dua perbendaharaan ; merah dan putih…”

Oleh sebagian penceramah hadits ini dijadikan sebagai sinyal untuk bendera Indonesia yang berwarna merah putih.

Padahal pengertian merah dan putih dalam hadits itu adalah emas dan perak.

Hadits ini sebagai bisyarah (kabar gembira) dari Rasulullah Saw bahwa umatnya akan menaklukkan Kisra (penguasa Persia) dan Kaisar (penguasa Romawi), dan itu sudah terjadi.

Karena itu Imam Nawawi dalam mensyarahkan hadits ini menulis:

وهذا الحديث فيه معجزات ظاهرة وقد وقعت كلها بحمد الله كما أخبر به صلى الله عليه وسلم

Artinya:

“Hadits ini mengandung mukjizat yang luar biasa, dan semuanya sudah terjadi sesuai dengan yang disampaikan Nabi Saw, alhamdulillah…”

Kebanyakan rujukan orang-orang yang berbicara tentang akhir zaman adalah riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab al-Fitan karya Nu’aim bin Hammad (wafat 229 H).

Ia termasuk tokoh pertama yang mengumpulkan riwayat-riwayat seputar al-fitan, al-malahim dan sebagainya.

Ulama-ulama yang datang setelah itu seperti ad-Dani, Ibnu Katsir dan lain-lain banyak mengacu dan merujuk pada kitab karya Nu’aim ini.
Kita perlu mengkaji, sejauh mana kualitas Nu’aim sebagai seorang perawi? Apalagi riwayat-riwayat yang berkaitan dengan masalah tauhid atau akidah.

Ia bernama Nu’aim bin Hammad bin Mu’awiyah al-Marwazi al-Faradhi.

Ia banyak meriwayatkan hadits dari tokoh-tokoh terkenal seperti Abdullah bin Mubarak, Sufyan bin ‘Uyainah, Waki’ dan lain-lain.

Banyak tokoh-tokoh terkenal juga yang meriwayatkan hadits darinya seperti Imam Bukhari (didampingkan dengan yang lain), Abu Dawud, Tirmidzi dan lain-lain.

Para ulama mengakui keluasan ilmu Nu’aim dan banyak riwayatnya.

Tapi banyak riwayat belum tentu diterima oleh para nuqqad hadits.

Nu’aim dikenal sangat anti pada ahli ar-ra`y. Sikap antipati itu membuatnya tidak teliti dalam periwayatan hadits.

Di antara hadits munkar yang diriwayatkannya dalam hal ini adalah:

تَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى بِضْعٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، أَعْظَمُهَا فِتْنَةً عَلىَ أُمَّتِي قَوْمٌ يَقِيْسُوْنَ الْأُمُوْرَ بِرَأْيِهِمْ، فَيُحِلُّوْنَ الْحَرَامَ وَيُحَرِّمُوْنَ الْحَلاَلَ

Artinya:

“Umatku akan terpecah ke dalam tujuh puluh sekian golongan. Yang paling berbahaya terhadap umatku adalah orang-orang yang mengqiyaskan sesuatu dengan logika mereka, lalu mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.”

Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa hadits ini tidak punya asal sama sekali.

Hadits ini juga yang membuat para ulama hadits banyak yang menyangsikan kekuatan riwayat Nu’aim.

Al-Khatib al-Baghdadi bahkan mengatakan:

وبهذا الحديث سقط نعيم عند كثير من الحفاظ إلا أن يحيى بن معين لم يكن ينسبه إلى الكذب

Artinya:

“Gara-gara hadits ini jatuhlah Nu’aim dalam pandangan banyak huffazh, hanya saja Yahya bin Ma’in tidak sampai menisbahkan kebohongan padanya.”

Lebih parah dari itu adalah riwayat Nu’aim berikut ini:

عن أم الطفيل امرأة أبي بن كعب: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكر أنه رأى ربه في صورة كذا

Artinya:

“Dari Ummu Thufail isteri Ubay bin Ka’ab, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Saw menyebut bahwa ia bermimpi melihat Tuhannya dalam bentuk begini….”

Hadits ini sangat mungkar karena jelas mengarah pada tajsim. Imam Dzahabi bahkan berkata:

أحاديث كثيرة مكذوبة وردت في الصفات لا يحل بثها إلا التحذير من اعتقادها وإن أمكن إعدامها، فحسن

Artinya:

“Banyak hadits palsu yang berbicara tentang sifat Allah tidak boleh disebarkan kecuali untuk memberi peringatan agar tidak yakini. Bahkan kalau bisa dimusnahkan sama sekali tentu akan lebih baik.”

Yang tak kalah parahnya adalah Nu’aim terkadang me-washal-kan hadits-hadits yang mauquf.

Artinya, kalimat yang sesungguhnya adalah perkataan sahabat ia jadikan perkataan Nabi Saw.

Seperti hadits yang diriwayatkan Nu’aim bin Hammad dari Abu Hurairah secara marfu’:

لاَ تَقُلْ: أُهْرِيْقُ المَاءَ، وَلَكِنْ قُلْ: أَبُوْلُ

Artinya: “Jangan katakan ‘saya buang air’, tapi katakanlah ‘saya kencing’.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu al-Ahwash al-‘Ukbari dari Nu’aim, kemudian ia berkata: “Nu’aim ‘membuat’ hadits ini.

Aku katakan padanya,

“Jangan rafa’kan hadits ini karena ia perkataan Abu Hurairah (bukan hadits Nabi), kemudian ia me-mauqufkannya.”

Karena itu Ibnu Hammad ad-Dulabi berkata:

نُعَيْمٌ ضَعِيْفٌ. قَالَهُ أَحْمَدُ بنُ شُعَيْبٍ

Artinya: “Nu’aim lemah,” ini yang dikatakan Ahmad bin Syu’aib.

Kemudian ia (Ibnu Hammad) melanjutkan:

وَقَالَ غَيْرُهُ: كَانَ يَضَعُ الحَدِيْثَ فِي تَقْوِيَةِ السُّنَّةِ، وَحِكَايَاتٍ عَنِ العُلَمَاءِ فِي ثَلْبِ أَبِي حَنِيْفَة كَذَبَ.

Artinya:

“Yang lain mengatakan, “Ia (Nu’aim bin Hammad) memalsukan hadits untuk menguatkan sunnah (maksudnya pandangannya dalam akidah) dan cerita-cerita dari para ulama untuk memburukkan Abu Hanifah. Ia berdusta.”

Abu ‘Ubaid al-Ajurri mengatakan ada sekitar 20 hadits dari Abu Dawud dari Nu’aim bin Hammad yang tidak punya asal.

Imam an-Nasa`iy mengatakan: “Ia (Nu’aim bin Hammad) tidak tsiqah.”

Tentu kita tidak mengabaikan pengakuan ulama terhadap keilmuannya.

Karena itu Imam Dzahabi mengatakan:

نعيم من أوعية العلم لكنه لا تركن النفس إلى رواياته

Artinya:

“Nu’aim seorang yang berilmu, tapi jiwa tidak tenang menerima riwayat-riwayatnya.”

Terkait dengan kitab yang ditulis Nu’aim yang berjudul al-Fitan, dan yang merupakan referensi utama para pembicara akhir zaman, Imam Dzahabi menulis:

لاَ يَجُوْزُ لأَحَدٍ أَنْ يَحْتَجَّ بِهِ، وَقَدْ صَنَّفَ كِتَابَ (الفِتَنِ) فَأَتَى فِيْهِ بِعَجَائِبَ وَمَنَاكِيْرَ

Artinya:

“Seorang pun tidak boleh menjadikannya sebagai hujjah (pegangan dalam riwayat). Ia telah mengarang kitab al-fitan. Didalamnya ia muat hadits-hadits yang aneh-aneh dan mungkar-mungkar.”

والله تعالى أعلم وأحكم

[YJ]

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *