Kisah Matinya Kaum Tsamud dan Kaum Nabi Hizqil Akibat Wabah yang Mematikan

 Kisah Matinya Kaum Tsamud dan Kaum Nabi Hizqil Akibat Wabah yang Mematikan

Wabah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Bicara tentang wabah yang mematikan, sebenarnya tahun 1800-1600 SM yang lalu Allah SWT. pernah menimpakan penyakit menular yang akut dan mematikan seperti ini kepada kaum Tsamud, yaitu kaumnya Nabi Shaleh dan Bani Israil, kaum Nabi Hizqil. Kisah dua kaum ini diabadikan Allah dalam QS. Hud ayat 61-68 dan QS. al-Baqarah ayat 243. Berikut keterangannya:

Dalam QS. Hud ayat 61-68 ini mengisahkan tentang kekafiran, keangkaramurkaan dan kebangkangan yang dilakukan oleh kaum Tsamud kepada Nabi Shaleh. Puncak kedurhakaan kaum Tsamud adalah konspirasi mereka untuk membunuh unta Nabi Shaleh. Dalang dari konspirasi ini adalah Qudar bin Salif dan Mistha’ bin Mahraj bin Mahya.

Mereka berdua dibantu oleh dua perempuan bernama Shaduq binti Mahya dan Unaizah binti Ghanim bin Mijlaz. Shaduq menawarkan dirinya (untuk dizinai) secara gratis, sedangkan Unaizah menawakan kepada Qudar agar ia memilih satu dari keempat anak perempuannnya jika berhasil membunuh unta Nabi Shaleh.

Maka dengan semangat yang menggebu-gebu, Qudar dan Mistha’ meminta bantuan tujuh pimpinan kaum Tsamud lainnya yang bernama Da’ma, Da’im, Harma, Harim, Dab, Shawab dan Rayyab untuk memuluskan rencana membunuh unta Nabi Shaleh. Unta Nabi Shaleh pun berhasil dibunuh dengan cara disembelih.

Setelah disembelih, daging unta tersebut dibagi-bagikan ke seluruh warga yang berjumlah 1500 KK. Sebagaimana keterangan dalam tafsir Marah Labid dan Tafsir Alquran al-Azhim.

Pembunuhan unta secara tragis yang dilakukan oleh kaum Tsamud, membuat Nabi Shaleh marah dan berucap: “tamatta’u fi darikum tsalasata ayyam”. Artinya, silahkan kalian bersenang-senang di rumah kalian selama tiga hari. Maka dari itu, setelah peristiwa tersebut Allah akan menurunkan siksa atas kalian.

***

Perkataan Nabi Shaleh membuat murka sembilan dedengkot kaum Tsamud sehingga mereka berkongsi untuk membunuh Nabi Shaleh. Namun sebelum berhasil membunuh Nabi Shaleh, mereka mati karena tertimpa reruntuhan batu ketika naik ke sebuah gunung.

Peristiwa itu membuat kaum Tsamud lainnya merasa geram dan emosi. Mereka menuntut balas atas kematian pimpinan mereka. Tekad kaum Tsamud untuk membunuh Nabi Salih terus membara.

Namun sebelum niat mereka terlaksana, mereka merasakan perubahan warna kulit di wajah mereka selama tiga hari. Hari pertama (Rabu) wajah mereka menjadi kuning (yang menandakan wajah mereka menjadi pucat).

Di hari kedua (Kamis), mereka mengalami perubahan warna kulit di wajahnya kembali, yakni memerah (yang artinya mengalami demam tinggi). Akhirnya di hari ketiga (Jum’ah), wajah mereka menjadi hitam (kritis). Hari keempat (Sabtu) datanglah petir dan gempa yang menghancurkan mereka.

Kisah penyakit yang diderita kaum Tsamud, menurut dr. Ahmad Ramali (dokter sekaligus peneliti tentang masalah-masalah keagamaan terutama ayat-ayat Alquran yang terkait masalah medis) adalah penyakit sampar yang sangat ganas yang penularannya melalui unta yang membawa virus pestis.

Wabah Tha’un yang Membunuh Kaum Nabi Hizqil

Kisah kematian kaum Nabi Hizqil disebut dalam QS. al-Baqarah ayat 243. Dalam Qashash al-Anbiya’, dikisahkan bahwa pasca wafatnya Kalib bin Yofana, urusan Bani Isra’il setelah Nabi Yusa’ diserahkan kepada Nabi Hizqil bin Budzi bin Ajuz.

Nabi Hizqil adalah salah satu nabi yang namanya tidak disebut dalam Alquran. Beliau diutus oleh Allah untuk Bani Israi’il setelah wafatnya Nabi Musa, dengan mukjizat berupa kemampuan menghidupkan orang yang sudah meninggal.

Nabi Hizqil diutus oleh Allah untuk Bani Israil yang berdomisili di kota Dawardan. Suatu ketika, wabah tha’un (wabah penyakit menular) menyerang kota ini. Penyakit menular yang mematikan tersebut meresahkan dan menghantui seluruh penduduk kota itu. Mereka takut terserang penyakit menular yang akan membuat mereka mati sia-sia, hingga pada akhirnya mereka keluar untuk meninggalkan Dawardan dengan keyakinan dapat lari dari kematian.

Tiga puluh ribu orang (ada yang mengatakan empat ribu) dari Bani Israil bereksodus meninggalkan kota Dawardan, menuju dataran rendah (lembah Afih) yang mereka yakini aman dari penyakit menular itu. Dengan angkuh dan sombongnya, mereka merasa bisa melawan kematian dari penyakit menular tersebut.

Namun, takdir berkehendak lain. Allah mengutus dua malaikat ke lembah itu. Salah satu malaikat berada di atas lembah, dan satunya lagi di bawahnya. Kedua malaikat tersebut berteriak hingga matilah seluruh penduduk Dawardan dengan kondisi mayat tergeletak dan bergelimpangan.

***

Waktu berlalu cukup lama, lalu lewatlah Nabi Hizqil di antara mayat-mayat itu. Beliau mencoba memikirkan bagaimana cara Allah menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Kemudian Allah memberi wahyu kepada beliau:  “Berserulah ayyatuha al-izham inna Allah ya’muruki an taktasi lahman (wahai tulang belulang, Allah memerintahkanmu agar dilapisi daging).

Dengan izin Allah, tulang-tulang itu terlapisi daging dan darah pun mengalir di antara daging dan tulang-tulang mereka. Kemudian berserulah lagi, “ayyatuha al-ajsad, inna Allah ya’muruki an taqumi (wahai jasad, Allah memerintahkanmu untuk berdiri). Lalu berdirilah mereka dan hidup kembali seperti semula.

Imam Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari memberikan penjelasan rinci tentang masalah ini. Beliau membaginya menjadi tiga kondisi. Pertama, jika tujuan keluar dari tempat yang terkena tha’un adalah lari dari wabah, maka yang demikian dilarang sebagaimana penjelasan dalam hadis.

Kedua, jika tujuannya adalah bekerja atau yang lainnya, maka hal ini dibolehkan. Sebagaimana dijelaskan oleh imam al-Nawawi bahwa keluar dari tempat terjadinya wabah dengan tujuan bekerja, maka bukan termasuk larangan.

Ketiga, jika keluar dengan niat bekerja sekaligus berniat agar selamat dari wabah, maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut saya (imam Ibnu Hajar) tujuan yang demikian diperbolehkan, dan ini adalah mazhab Umar bin al-Khattab.      

Dari kisah ini banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Pertama, bergantunglah kepada Allah. Jangan seperti Bani Israil yang meyakini bahwa keluar dari tempat terjadinya wabah adalah cara yang paling tepat untuk menghindari kematian, tanpa bergantung dan memohon keselamatan kepada Allah.

Apa yang mereka lakukan justru membawa mereka pada kematian. Kedua, intruksi pemerintah untuk lockdown, sosial distancing dan PPKM adalah sesuai dengan konsep dan ajaran Alquran. Wallau’alam.

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *