Kisah Kiai Bisri Syansuri Bikin RUU Tandingan

 Kisah Kiai Bisri Syansuri Bikin RUU Tandingan

kiai bisri

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Salah satu pendiri NU, Kiai Bisri Syansuri pernah memiliki kisah membuat RUU tandingan tentang perkawinan untuk melawan RUU perkawinan milik pemerintah.

Dilansir dari NU Online, pada tahun 1972 pemerintah membuat RUU Perkawinan. Namun secara keseluruhan dinilai jauh dari ketentuan-ketentuan hukum agama sehingga tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya.

Untuk itu Kiai Bisri Syansuri kemudian bersama kiai-kiai lain mempelopori dengan membuat RUU tandingan. Andrée Feillard, dalam bukunya “Nu Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna” menjelaskan isi RUU tandingan tersebut.

RUU Para Ulama

Adapun RUU rancangan para ulama yang dimotori Kiai Bisri Syansuri tersebut berisi meliputi antara lain:

Pertama, Perkawinan bagi orang Muslim harus dilakukan secara keagamaan dan tidak secara sipil (pasal 2: NU berhasil memenangkan pendapatnya)

Kedua, masa ‘iddah. Saat istri mendapatkan nafkah setelah diceraikan harus diperpendek. Pemerintah mengusulkan satu tahun, sedangkan NU minta tiga bulan karena menuntut seorang dari Muslimat. Kemudian suami berhak rujuk kembali kepada istri selama masa ‘iddah itu. Tidak ada perkecualian diberlakukan bagi wanita usia lanjut.

Ketiga, pernikahan setelah kehamilan di luar nikah tidak diizinkan. NU cukup berhasil dalam arti definisi anak yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan.

Keempat, pertunangan dilarang karena “dapat mendorong ke arah perzinahan. NU berhasil, pasal 13 ini dihapus.

Kelima, Anak angkat tidak memiliki hak yang sama dengan anak kandung. Dalam hal ini NU berhasil; pasal 42 mengatakan bahwa anak yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan.

Keenam, penghapusan sebuah pasal dari rancangan undang-undang yang diajukan yang menyatakan bahwa perbedaan agama bukan halangan bagi perkawinan. Pasal 11 ini dihilangkan dan tidak disinggung.

Ketujuh, batas usia yang diperkenankan untuk menikah ditetapkan adalah 16 tahun, bukan 18 tahun bagi wanita 19 tahun bagi pria dan bukan 21 tahun. Pada pasal 7 ini, NU berhasil.

Kedelapan, penghapusan pasal mengenai pembagian rata harta bersama antara wanita dan pria karena dalam Islam “hasil usaha masing-masing suami atau istri secara sendiri-sendiri menjadi milik masing-masing yang mengusahakannya”. Pada pasal ini, NU berhasil.

Kesembilan, NU menolak larangan perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan sebagai anak angkat dan orang tua angkat atau anak-anak dari orang tua angkat. Pasal ini disempurnakan menjadi hubungan sebagai anak angkat tidak dilarang, tetapi disinggung pula soal hubungan persusuan.

Kesepuluh, NU menolak larangan melangsungkan perkawinan lagi antara suami-istri yang telah bercerai. Dalam pasal 10 ini, NU berhasil.

Perlawanan NU dalam RUU Perkawinan di awal Orde Baru tersebut tidak terlepas dari Kiai Bisri Syansuri ahli fiqih yang telah matang, bersama kiai-kiai NU lain.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *